BHS Sebut Kenaikan Tarif Angkutan Penyeberangan Jadi Tolok Ukur Kenyamanan dan Keselamatan

waktu baca 3 menit

Yogyakarta – Ketua Dewan Penasehat Gabungan Pengusaha angkutan sungai danau dan penyeberangan (Gapasdap) Bambang Haryo Soekaertono menyebutkan Peran angkutan penyeberangan atau ferry telah memberikan kontribusi sangat besar terhadap ekonomi yang ada di kepulauan kita.

Menurut anggota DPR-RI terpilih periode 2024-2029 bahwa nilai ekonomi yang dimunculkan oleh angkutan penyeberangan ini, tidak sebanding dengan nilai kecelakaan yang sekitar 0.02% yang dikatakan hampir zero accident , namun tarif yang berlaku masih dibawah standar harga perkiraan perhitungan Pemerintah.

“Padahal, Tarif ini dibutuhkan untuk keselamatan transportasi yang mana ini digunakan oleh masyarakat atau publik dan ini tidak boleh dikurangi” Tegas pemilik sapaan akrab BHS, dalam diskusi yang digelar Gapasdap, Rabu (11/9)

Dikatakan BHS, Harga satu nyawa publik ini, harganya tidak terhingga. Ini yang harus kita lindungi dan yang diminta oleh Gapasdap kenaikan tarif sebesar 30% yang hanya berdampak 0,4% dari nilai logistik. Namun,hal itu belum diseriusi Pemerintah.

Masalah tarif sudah jelas, kata BHS sudah ada formulanya sesuai PM 66 tahun 2019 dengan melihat adanya kenaikan inflasi, UMR harusnya bisa disesuaikan dan langsung direalisasikan.

Sebagai contoh, Perusahaan penyeberangan tidak bisa menggaji pegawai 3 bulan bayangkan. Mereka masih jalan, tetapi untuk gaji di cicil. Perusahaan besar armadanya 58 mati, jadi ini sudah warning. Mereka mengurangi standarisasi pertama kenyamanan, kedua keselamatan, dengan begitu maka publik berpotensi menjadi korban. Karena itu, pilihan kita tetap nahwa tarif harus bisa disesuaikan dengan perhitungan yang benar. Tegasnya

“Tadi juga dikatakan, Logistik performance Index (LPI) ada pada posisi 14%, tetapi ini jangan disalahkan dari sisi transportasi. Karena, masih ada komponen lain yang mempengaruhi ongkos logistik yakni persediaan, penyimpanan serta inventory dan Inventory ini adalah yang paling besar nilainya, begitu tidak ada barang, harga akan naik. Jadi ini, kata BHS, Gapasdap bukan sebagai penyebab dari angka logistik yang tinggi” Tegas BHS.

Lebih lanjut, alumni ITS Surabaya ini juga menyinggung sedikit mengenai kemacetan pelabuhan merak. Menurut BHS, kesalahan daripada penyedia infrastruktur prasarana Dermaga, sebab dermaga kita sangat kurang, 6 unit kapal dari dermaga.

“Akhirnya kita hanya mendapatkan tidak lebih dari 90 trip. Tetapi kemudian dirubah dari dirjen perhubungan laut, 4 unit kapal dari dermaga, menjadi 120 trip. Kalau 120 trip dari 90 trip tadi, kenaikan 25%. Kalau kemudian pada saat itu telah dilakukan, maka kita sudah bisa mengatasi permasalahan kemacetan yang ada di penyeberangan Merak-Bakauheni” Imbuh BHS.

Stakeholder industri angkutan penyeberangan sangat bergantung pada regulator, kedua fasilitator kepelabuhanan ketiga operator dan user atau konsumen.

“Regulator bersama dengan user, bisa mengatur user agar bisa hadir datang di pelabuhan itu sesuai dengan masa low session daripada kena macet. Mereka kena macet total akibat dari tidak adanya informasi, Fasilitator (Kepelabuhanan) baiknya merencanakan pembangunan dermaga baru, keuntungan ASDP hampir mendekati Rp1 Triliun, minta PMN juga bisa. Sehingga ASDP punya dua pasang dermaga, dengan ini terjadi penambahan 4 atau 6 unit kapal disitu maka akan terjadi kapasitas muat sekitar 20% lebih” Kata BHS.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *