Standar Estetika Seniman

waktu baca 8 menit
Lena Guslina dalam tarian berjudul 'Magnitude Purba' di gua Sunyaragi, Cirebon.

KEMPALAN : Sekitar 35 tahun lalu kami beberapa kali bertemu di lapangan jurnalistik. Sosok berpostur gagah ini, jika berbicara senantiasa dengan bahasa yang terstruktur rapi, ber-gesture ramah, santun, dan dalam intonasi yang stabil.

Baru kemudian saya menyadari, kenapa bisa begitu, karena –boleh jadi– sebagai reporter RRI yang ber-stasiun di Surabaya –Mohammad Rohanudin– demikian yang sedang saya perbincangkan ini, biasa melakukan siaran langsung dari medan liputan. Ketika ber-on the spot, dia diharuskan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Tampaknya situasi tersebut lama-lama menggiringnya menjadi terbiasa berbahasa Indonesia yang taat aturan — kendati logat “bahasa ibu” masih sedikit terselip pada artikulasi nada. Saya pikir, justru di situlah menjadi ciri Rohan karena sertaan local jenius yang disadari atau tidak ikut memperkaya khasanah budaya Tanah Air.

Terakhir saya ketemu dengan sosok ini sekitar 10 tahun lalu di salah satu ruangan corporate secretary Bank Jatim, Jalan Basuki Rachmad 98-104, Surabaya. Terlihat aura antusiasnya saat bertemu teman lama.

Belakangan, sekitar 6-7 tahun lalu, saya mendengar dia menjadi Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI (Radio Republik Indonesia) di Jakarta, dimana posisi itu dijabatnya pada 2016-2021.

Saat menerima informasi tersebut, saya membatin: pantas kalau dia jadi orang pertama di lembaga penyiaran itu, mengingat bekal pengalaman empiris broadcast radio sudah puluhan tahun dimilikinya, didukung sikapnya yang tegas disertai sopan santun dan keramah-tamahan.

Di sisi lain, dalam keseharian, sikap egaliternya tampak menonjol. Ditambah dia sangat menghargai perbedaan pendapat.

Lantas kami dipertemukan kembali saat wartawan yang penggiat seni Kris Maryono pensiunan jurnalis RRI Stasiun Surabaya, mengajak wartawan yang penyair Toto Sonata dan saya untuk membentuk komunitas Warumas (Wartawan Usia Emas). Komunitas ini berkutat di dunia literasi, khususnya dalam penerbitan buku antologi puisi.

Sejak diluncurkan pertama kali buku antologi puisi Warumas berjudul ‘Kutulis Puisi Ini’ bertepatan dengan Hari Pers Nasional tahun 2022 di Surabaya, kami nyambung lagi. Karena Rohan juga terlibat dengan kegiatan tersebut. Tetapi hingga saat ini, kami belum pernah bertemu secara offline. Karena sejak menjadi pejabat di ranah komunikasi itu, dia lebih banyak bermukim di Jakarta.

Dan sejak bertemu kembali dengan saya kendati bukan di wilayah jurnalistik melainkan di ranah sastra, sosok yang dilahirkan di Sumenep pada 19 September 1957 ini, sering berdiskusi seputar seluk beluk puisi melalui jejaring medsos.

Yang bikin surprised saya, Mohammad Rohanudin –kini Dewan Pengawas RRI– selain membagikan puisi-puisinya, juga videonya saat sepanggung dengan Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri serta sejumlah penyair lain dalam acara pembacaan puisi.

Pada event sastra lain lagi, Rohan menunjukkan videonya satu panggung dengan penyair “celurit emas” D. Zawawi Imron dan beberapa penyair dalam event berbeda.

Juga pernah sepanggung dengan penyair yang juga pelukis, yaitu Acep Zamzam Noor.

Dari puisi-puisi karyanya yang dikirimkan melalui WhatsApp, saya mencoba menemukan pemahaman, ternyata ada sebagian yang berorientasi naratif denotatif (dimensi tunggal) dalam balutan kalimat-kalimat tegas nan indah.

Ada juga beberapa puisi yang mengesankan kontemplatif konotatif (dimensi majemuk). Salah satunya yang berjudul ‘Aku’ :

AKU

semalam aku harimau lapar
pagi ini aku cenderawasih
menidurkan sayapku di pundakmu

Karena puisi ‘Aku’ ini berdimensi majemuk, tentu banyak orang mengartikan secara tidak tunggal. Mungkin ada yang memahami sebagai puisi yang tidak jauh-jauh dari eksotika seksualitas.

Namun puisi ini bagi saya adalah “patriotisme” dengan dua karakter dalam satu jiwa.

Karakter pertama disimbolkan hewan macan : gagah perkasa. Karakter kedua antitesa dari macan, yaitu burung cenderawasih : indah dan sarat kelembutan.

Patriotisme macan akan zonk jika tidak diimbangi dengan keindahan dan kelembutan, yang bisa jadi hal “keindahan dan kelembutan” ini berkaitan dengan kepekaan terhadap nilai-nilai humanisme.

Sementara kata di pundakmu adalah subtitusi dari ‘Ibu’. Atau boleh jadi: publik, rakyat, masyarakat.

Apa artinya gagah perkasa berkuasa, jika tak memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana kredo yang diyakini banyak wartawan bahwa puncak dari jurnalisme adalah : kemanusiaan.

Dia, “lelaki itu”, adalah transformasi kegagahan dan kelembutan yang boleh jadi tunduk kepada Ibu Pertiwi yang tersimbolkan : di pundakmu.

Puisi-puisi karyanya banyak terhimpun dalam buku kumpulan puisi tunggal ‘Bicaralah yang Baik-Baik’.


Seputar satu setengah tahun lalu, saya membaca postingan Jil Kalaran mantan wartawan Memorandum dan Surabaya Post yang kini sutradara film dokumenter, di Facebook : Jika kamu tak punya gelisah, jangan jadi seniman.

Saya pikir Jil benar. Karena kegelisahan itu sumber kreativitas seniman.

Karena gelisah melihat ketidak-adilan di depan mata, “Sang Burung Merak” melahirkan puisi-puisi pamflet yang gagah dan indah.

Disebabkan melihat seorang anak kecil yang mengasong di bawah patung Pancoran hingga larut malam, seorang musisi balada gelisah, lantas melahirkan lagu indah menyayat, menggedor batin siapa saja yang mengaku mencintai nilai-nilai universal itu, yakni : kemanusiaan!

Demikian juga barangkali yang menggelayut di benak Mohammad Rohanudin.

Tentu setiap kegelisahan itu melahirkan karya seni dengan “disiplin” berbeda-beda. Kegelisahan Rohan kali ini dimanifestasikan dalam vlog (video blog) channel ‘LvR’ (Live Visual Radio) YouTube miliknya. Dimana ‘LvR’ sudah menghasilkan 113 video dengan 9,18 ribu subcriber.

Pada mulanya channel ‘LvR’ menyiarkan rekaman suara dan gambar dari studio berjalan (bisa jadi dari kendaraan truk yang dimodifikasi), kemudian di-YouTube-kan. Setidaknya jika itu saya lihat tayangan-tayangan awal channel ini.

Lantas terjadi divergensi sehingga liputannya terpolarisasi secara heterogen, tetapi tegak pada “jangkar” seni kontemporer. Kalau pun pada awal tayang terselip satu-dua nuansa pop, mungkin itu secara tidak sengaja menjadi bagian dari proses.

Barangkali ada yang bertanya, kok belum ada 10.000 subcriber? Jika muncul pertanyaan seperti ini ya wajar saja. Dengan catatan, itu kalau “medan garapan” channel YouTube mengarah seni yang berorientasi ke industri. Misalnya musik pop atau seni yang bersifat klangenan lainnya.

Sementara channel yang digarap Rohan ceruk segmentasinya “sempit”, yaitu seni komtemporer dengan “irisan-irisan” : seni musik, seni rupa, seni tari, dan cabang seni lainnya yang jumlahnya tak sebanyak tiga cabang seni yang saya sebut itu. Namun pilihan seni kontemporer tampaknya disadari betul oleh Rohan bahwa jika ditangani dengan serius akan mencuatkan eksotika luar biasa.

Lebih dari 100 video yang dihasilkan ‘LvR’ dengan sebagian besar menampilkan kreativitas para seniman muda, akhirnya perhatian saya tersita oleh penari Lena Guslina. Selain skill menarinya yang oke, juga tampilannya yang tidak saja di arena indoor, juga menyatu dengan alam — outdoor : di pantai, di jalan berpanggung hutan mangrove, di bangunan-bangunan kuno, di reruntuhan gedung, di sela-sela keagungan candi, di emperan goa, dan masih banyak lagi yang mengeksplorasi keluasan dan keragaman ekspose outdoor itu.

Maka jika video-video yang menampilkan Lena Guslina alumnus Seni Tari STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung (sekarang ISBI/Institut Seni Budaya Indonesia) Bandung menyatukan gerak tubuhnya dalam jelajah panggung indoor maupun arena outdoor dalam judul-judul : Ambigu, Puisi Tubuh Perjalanan, Dancing With Colour, Segaris, Magnitude Purba, Saksi Bisu Benteng Pendem Ambarawa, dan masih ada sejumlah lagi — disitulah Mohammad Rohanudin paham betul bagaimana mengelaborasi potensi Lena Guslina.

Tentu elaborasi ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, mengingat sejumlah lokasi “eksploitasi dan eksplorasi” gerak keindahan tarian Lena Guslina berlokasi di sejumlah wilayah di Indonesia.

Dari sejumlah konten yang menghadirkan Lena Guslina yang pernah menjadi salah satu penari ‘Hutan Plastik” karya Sardono W. Kusumo, dengan karya-karyanya itu — saya menangkap jiwa kepenariannya yang gelisah, namun tampaknya ia tetap sadar dengan terus mengontrol agar tetap berada pada kumparan estetika.

Tetapi yang mengejutkan saya, nah ini dia — ternyata (pada perkembangannya) Lena Guslina juga melukis. Salahkah?

Bagaimana Lena meletakkan pilihan itu, menjadi seorang penari atau pelukis? Atau merengkuh keduanya?

Bolehkan ini disebut : sublimasi tiada putus? Dari seni tari nyambung ke seni rupa, dengan tetap menggenggam “keabadian” estetika?

Bisakah standar estetika Lena Guslina pada seni tari sama kental dan sublimnya dengan lukisan-lukisan karyanya?

Jika pertanyaan itu ternyatakan, maka saya mencoba melemparkan ingatan pada sosok musisi balada (almarhum) Leo Kristi Imam Sukarno. Ketika menonton pameran lukisan Leo di Galeri Dewan Kesenian Surabaya sekira tujuh tahun lalu, saya menangkap lukisan-lukisan karyanya mencuatkan estetika yang unik dalam corak abstrak.

Keunikan ini mungkin terbawa dari nyentriknya seniman troubador itu, sehingga warna dan garis yang dikomposisikannya melahirkan keliaran estetik.

Atau saya teringat oleh Moh Anis wartawan idealis peraih tiga kali Anugerah Prapanca simbol supremasi wartawan Jawa Timur, dimana Anis yang berlatar Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Surabaya ini juga dikenal sebagai penyair dengan puisi-puisi humanisme kontemplatifnya — terhimpun dalam buku kumpulan puisi tunggalnya ‘Sekarang Ada Senjang Panjang Bersatu dengan Petualangku’.

Sekitar tahun 2008-2009 (maaf, saya lupa persisnya) Anis menggelar pameran lukisan tunggal dengan tema daun. Mungkin Anis terinspirasi Surat Al An’am ayat 59, antara lain tertulis : tak ada satu daun jatuh yang tak diketahuiNYA.

Nah, Anis bisa menghadirkan komposisi daun dalam paduan warna dan garis yang indah dalam corak dekoratif.

Kalau tidak salah, setahun atau dua tahun kemudian, Anis kembali berpameran tunggal dengan tema kursi. Boleh jadi ini berkaitan dengan konotasi “tahta”. Kematangan Anis dalam skill makin terlihat kokoh.

Dalam dunia musik, semua orang mengakui puncak-puncak estetika Leo Kristi.

Dalam dunia jurnalistik idealisme dan prestasi Anis rasanya tak ada yang meragukan. Demikian juga kepenyairannya. Mungkin Anis lah sosok muda 23 tahun pada waktu itu –1977– yang pertama kali menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal, paling tidak saya amati di Surabaya.

Jadi, tidak mungkin Leo Kristi maupun Anis menurunkan reputasinya hanya dengan menghasilkan karya apa adanya. Saat mereka berpameran tunggal, skill melukisnya sudah matang yang lantas menyatu dengan standar estetika mereka sebelumnya.

Demikian juga saya melihat dua peristiwa pameran tunggal Lena Guslina : ‘Kumau Diriku’ dan ‘Titian Tubir’ — semuanya adalah cermin abstraksi gerak indah tarian Lena Guslina.

Pameran lukisan tunggal ‘Kumau Diriku’ diselenggarakan menandai 20 tahun kariernya sebagai penari dan koreografer. Prof. Bambang Sugiarto akademisi yang budayawan dalam momen podcast sehubungan dengan ‘Kumau Diriku’ antara lain menyebut : itulah “kenakalan estetika” Lena Guslina.

Sementara empu seni rupa Sunaryo membuka pameran tunggal ‘Titian Tubir’, dimana pameran itu juga diisi dengan diskusi sebagai bentuk tanggung jawab Lena sebagai seniman.


Jadi, baik Leo Kristi, Moh Anis, Lena Guslina, atau mungkin seniman-seniman lain yang secara sadar atau tidak, mengelaborasi dirinya dalam divergensi kesenimanannya, saya rasa tak akan nekad menurunkan reputasinya dengan menghadirkan estetika seadanya.

Dan, saya berharap bahwa karya-karya artistik channel ‘LvR’ yang dipandegani Mohammad Rohan ini, semoga akan terus menghadirkan sosok-sosok sekaliber Lena Guslina.

Amang Mawardi jurnalis senior dan penulis, tinggal di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *