Prof. BUS vs Dokter Impor
KEMPALAN: Kebiasaan impor sudah menjadi budaya di Indonesia. Kita sudah tahu bahwa banyak komoditi yang dulu bisa kita penuhi dari produk dalam negeri, sekarang harus impor. Dulu Indonesia pernah swasembada pangan semasa Pak Harto. Sekarang beras harus impor. Dulu tidak terpikirkan bahwa garam harus impor. Sekarang kita harus impor garam dari Denmark, Jerman, dan Thailand.
Budaya impor menular ke sepak bola. PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) di bawah ketua umum Erick Thohir mengimpor nyaris seluruh pemain timnas dari Eropa. Dalam pertandingan terakhir melawan Filipina di penyisihan Piala Dunia 2026 Timnas Indonesia menurunkan delapan pemain impor sebagai starter dan hanya menampilkan tiga pemain produksi lokal.
Supaya tidak dibilang impor maka istilahnya diganti dengan naturalisasi. Katanya, hanya pemain yang punya darah Indonesia yang akan dinaturalisasi. Maka jadilah program naturalisasi masal, dan kita menyaksikan wajah-wajah bule berseragam merah putih. Bukan hanya pemain senior, pemain usia 16 tahun pun diimpor dari luar negeri.
Erick Thohir terlihat lebih asyik mengurusi sepak bola ketimbang mengurus BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang banyak merugi. Presiden Jokowi sering menonton pertandingan timnas dan sering senyum-senyum ketika timnas mencetak gol. Mungkin Jokowi lebih sering menonton bola ketimbang menyidak BUMN yang dipimpin Erick Thohir. Jalan pintas serba instan menjadi obat mujarab untuk mengatasi krisis bakat lokal untuk timnas.
Kolega Erick Thohir. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS) juga ikut-ikutan ketularan hobi impor. Bukan alat-alat kesehatan, obat-obatan, dan vaksin saja yang diimpor. Dokter pun diimpor dari luar negeri, dengan alasan Indonesia masih kekurangan belasan ribu dokter.
Tidak semua orang setuju dengan jalan pintas BGS ini. Salah satu yang tidak setuju ialah Prof. Dr Budi Santoso—sering dipanggil Prof. BUS—dekan Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya. Dengan tegas Prof. BUS mengatakan bahwa secara pribadi dan institusi dia tidak setuju impor dokter. Tidak pakai menunggu lama. Prof. BUS langsung dilengserkan.
Jasa besar Prof. BUS adalah menjadikan FK Unair sebagai salah satu yang terbaik di Indonesia dan peringkat internasionalnya meningkat terus. Tapi, itu tidak menjadi jaminan dia akan selamat dari pelengseran. Rektor Unair Prof. Dr Nasih memanggil Prof. BUS (1/7) dan dua hari kemudian Prof. BUS lengser.
Penolakan Prof. BUS terhadap dokter impor diduga menjadi penyebab utama pelengserannya, kendati pihak Unair tidak mengakuinya. Menkes BGS mengatakan Indonesia masih kekuarangan 12 ribu tenaga dokter ahli jantung anak-anak. Karena itu butuh dokter impor ahli jantung anak.
BGS tidak berbicara mengenai anak-anak Indonesia yang mengalami kuntet alias stunting yang masih jutaan jumlahnya. Kalau harus mengimpor tenaga asing bisa-bisa Budi Gunadi akan mengimpor ribuan ahli gizi dari luar negeri.
Pelengseran Prof. BUS memantik reaksi keras dari civitas akademi Unair. Ratusan orang berkumpul di depan FK Unair Kamis (7/4) untuk memprotes rektor dan menteri kesehatan. Tetapi, hampir pasti demo ini tidak akan mengefek dan jatuh pada deaf ears, kuping buntu. Impor dokter akan jalan terus, dan siapapun yang tidak setuju akan disingkirkan.
Dunia sudah mengglobal, dan Indonesia juga ikut-ikutan meliberalisasi sistem pendidikan dan juga sistem ekonominya. Dokter lulusan Indonesia sekarang dipaksa untuk bersaing dengan dokter asing. Dengan dibukanya kran impor doter asing maka akan membanjir dokter-dokter dari Singapura, Malaysia, Filipina, India, Asia Tengah, dan negara-negara pecahan Uni Soviet. Kualitas mereka sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi membanjirnya dokter impor akan mempersulit posisi dokter lokal yang sangat mungkin akan terlempar ke daerah-daerah terpencil.
Masa depan Indonesia dihadapkan pada persaingan terbuka di semua sektor ketenagakerjaan. Bukan hanya dokter, semua profesi dan pekerjaan pasti akan mendapat saingan dari pekerja impor. Karena itu, salah satu jalan paling strategis adalah memperbaiki kualitas lulusan perguruan tinggi di Indonesia supaya bisa bersaing dengan pekerja-pekerja impor. ()
Dhimam Abror Djuraid (Pengajar ilmu komunikasi Unitomo, Surabaya)