Buku Waktu Tak Pernah Menipu
KEMPALAN: Setelah ditenggang kurun waktu tujuh tahun, persisnya sejak tahun 2016 saat buku kumpulan puisi tunggal saya yang pertama berjudul Tiang Tiang terbit, hari ini menyusul terbit buku kumpulan puisi tunggal saya ke-2: Buku Waktu Tak Pernah Menipu (BWTPM).
BWTPM berisi 60 puisi, yang lantas saya bagi menjadi 6 Bab. Apakah ‘pembabakan’ ini saya sengaja? Tidak!
Setelah saya amati, puisi-puisi saya pada BWTPM, menyiratkan beberapa nuansa.
Maka tersebarlah nuansa-nuansa itu ke dalam enam Bab, yaitu Bab I: Kampung Halaman (12 puisi); Bab II: Yang Tersisih (10 puisi); Bab III: Titian Kehidupan dan Percik Gelitik (13 puisi).
Bab IV: “Permainan” Kehidupan (7 puisi); Bab V: Kepada Kawan Kawan (8 puisi); Bab VI: Cerita Malam (9 puisi).
Supaya lebih bisa diketahui, syukur-syukur bisa menginspirasi, akan saya hadirkan masing-masing satu puisi setiap Bab-nya.
Dari Bab I: PASAR TURI
kawan, tentang pasar itu dulu kamu pernah bertanya:
“mana yang benar, gula yang dikerumuni kawanan semut atau lampu yang dikitari laron-laron?”
kini aku jawab:
“dua-duanya benar!”
betapa jubelan pedagang, makelar, kuli angkut, sopir taksi, tukang becak, pengais sampah, tukang copet — mengangkut, mengais, menggaet — manis rejeki di situ
tapi mengapa setiap jubelan itu semakin sesak melesak-lesak senantiasa setitik nyala berubah lidah panas menjilati dengan ganas melahap seluruh pasar menggeleparkan nasib orang-orang itu
seperti laron-laron terkapar oleh terang sinar
kawan, mungkin kini saatnya kamu jawab pertanyaan lama: “terbakar atau dibakar?”
(Maret 2013)
Dari Bab II: ORANG ORANG YANG DITOLAK PULANG
Ada berita mengguratkan luka Orang-orang yang ditolak pulang
Ada sejarah meneteskan darah
Orang-orang yang tersudut di tepi jurang
Siapa menyuruh saksi palsu
menghunjamkan tajam ke dada orang-orang itu?
Para pengintai terus mendalamkan lebam Menanahkan luka, menderaskan dendam : bacalah gejala, tajamkan waspada!
Orang-orang yang ditolak pulang
Yang tersudut di tepi jurang
Terus bertahan, tak ada pilihan
Mengabarkan tentang penjarah
Yang berkomplot dengan penetes darah !
(1 Februari 2021)
Dari Bab III: MENUNGGU KABAR
Termangu
Lama menunggu
Tak ada kabar
Jadi tak sabar
Masih dua centrang hitam
Kutatap layar dengan kelam
(Belum dibaca? Kemana?)
Lantas berubah dua centrang biru
Tampak ‘mengetik’ di zona hijau
“Semalam hujan deras. Aku baik-baik. Bebat luka sudah kulepas”
( _Alhamdulillah Wa Syukurillah_ )
Empat dekade lalu
Aku duduk dekat pintu
Lama menanti bunyi kring
Lantas pesawat berdering
“Jangan dulu pergi. Kutunggu di pelabuhan jam tujuh pagi”
Menunggu dia punya kabar
Sering dengan dada berdebar
Minggu ke-3 September 2018
Dari Bab IV: MENUJU SUMBER AIR
Orang-orang menuju sumber air berbeda-beda
Dalam barisan berjejer beraneka warna
Ada yang tahu mana yang bening
Ada yang merasa tahu mana yang bening
Ada yang tak tahu sama sekali mana yang bening
Suasana jauh dari hening
Desember 2016
Dari Bab V: BALAI PEMUDA
: _Endi, Yusman, Sulkan_
Puing-puing sisa kebakaran
Munculkan keping-keping kenangan
Sebagian sulit diingat
Sebagian terekam kuat
Paling kuingat Theresias peramal buta
Oedipus?
Siapa memerankannya?
Yocastha?
Mungkin Vera. Atau Thelma?
Creon?
Ohoi, Frans Limahelu!
Bagaimana kalau aku tetap Theresias?
Mungkin sempurna memerankannya
Dengan tubuhku semakin renta
Dan kedua mata setengah buta
Mari bersihkan puing-puing
Kita satukan kenangan
Dalam hari-hari latihan
Menuju pemanggungan !
(April 2013)
Dari Bab VI: SELEMBAR DAUN
Sekilas cahaya
Membilas selembar daun
O .. kuning warna!
Malam pun makin jauh
Sebentar lagi embun jatuh
Menjadi keemasan atau seperti warna peluh?
(Agustus 2019)
Buku kumpulan puisi ini berisi 96 halaman (xii + 84), diterbitkan Literasi Lohjinawi, cetakan I September 2023.
Mengapa diberi judul Buku Waktu Tak Pernah Menipu? Itu adalah salah satu judul puisi di buku ini. Lantas, mengapa selengkapnya tidak diturunkan di tulisan ini. Biar bikin penasaran? Mungkin…he-he-he.
(Amang Mawardi)