Gus Muhdlor: Sidoarjo Kota Pluralisme, Terbuka Terhadap Keberagaman Agama dan Budaya
SIDOARJO-KEMPALAN: Budaya adalah akar dari nilai-nilai adat istiadat, religi, dan tatanan norma sosial demi berlangsungnya tatanan kehidupan yang rukun dan damai. Akar budaya bangsa Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Menjaga kerukunan di tengah keberagaman budaya tidaklah mudah. Namun demikian, hal itu menjadi tanggung jawab bersama. Mulai dari pemerintah, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan dan juga tanggung jawab individual seperti peran tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Derasnya arus urbanisasi merubah daerah ini menjadi kota yang heterogen. Sidoarjo adalah kota pluralis; beragam kultur atau budaya yang datang dari berbagai daerah bisa diterima dengan baik.
Jumlah penduduk Sidoarjo sendiri menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sidoarjo tahun 2021 sudah mencapai lebih dari 2,2 juta jiwa. Mereka yang tinggal di Sidoarjo berasal dari berbagai suku, ada yang dari Papua, Bugis, Dayak, Minang, Ambon, Batak dan suku lainnya. Mereka hidup rukun berdampingan.
Untuk menjaga kerukunan itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo mempunyai wadah (tempat) sarana komunikasi bersama. Wadah itu bernama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Ada juga Forum Pembauran Kebangsaan (FPK).
Hubungan komunikasi antar agama dan suku terus dijalin dan dibangun lebih erat lagi oleh Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor. Ia mendorong semua elemen, khususnya peran FKUB dan FPK yang di dalamnya diisi para tokoh lintas agama dan suku untuk tidak lelah menjaga kebhinekaan.
“Pluralisme di Sidoarjo harus dikawal bersama. Kerukunan dan perdamaian diperjuangkan. Keberadaan organisasi lintas agama dan suku itu menjadikan khasanah budaya Indonesia tetap terjaga dengan baik dalam naungan Bhinneka Tunggal Ika,” terang Gus Muhdlor. Senin, (1/8/2022).
Ukhuwah Insaniyah (menjaga hubungan baik sesama manusia) lanjut Gus Muhdlor menjadi agenda utama. Meski perbedaan agama, suku, budaya dan golongan adalah sebuah realitas yang tidak bisa dihindari.
Gus Muhdlor yang baru saja menerima gelar kehormatan Kanjeng Raden Aryo Tumenggung (KRAT) dari Kraton Surakarta itu tidak menoleransi segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama dan golongan tertentu.
Oleh karenanya, putra KH. Agoes Ali Masyhuri itu berkomitmen menjadikan Sidoarjo kota yang aman, kondusif, terbuka dan toleran.
“Segala bentuk diskriminasi tidak boleh terjadi. Semua sama dihadapan negara. Kita hidup dalam bingkai NKRI dan Pancasila,” jelasnya.
Bupati alumni SMAN 4 Sidoarjo itu juga terbuka dengan seni. Termasuk menghargai peran tokoh seni dan budaya seperti Moenali Patah. Moenali adalah Tokoh seniman legendaris asal Sidoarjo yang malang melintang di dunia Ludruk dan Tari Remo.
Pernah suatu ketika, Uriati, putri dari Moenali Patah menceritakan bentuk apresiasinya Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor kepada Moenali Patah.
“Bapak sampean orang hebat, Sidoarjo bangga dengan Pak Moenali Patah,” tutur Uriati menceritakan pertemuan singkatnya dengan Gus Muhdlor.
Uriati bertekad meneruskan jejak sang ayah. Sampai hari ini, ia masih menjadi penari remo. Tidak jarang ia tampil pada acara resmi yang diselenggarakan Pemkab Sidoarjo.
Dibidang seni hadrah, Gus Muhdlor juga memberi perhatian serius. Perkembangan seni hadrah di Sidoarjo terus didorong. Hal itu dilakukan agar kesenian yang memakai alat terbang atau rebana itu digandrungi kaum muda. Karena, selama ini seni hadrah identik dengan kesenian yang didominasi orang tua.
Seperti seni hadrah ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia). Oleh Pemkab Sidoarjo kesenian tersebut sering dilibatkan saat menyelenggarakan kegiatan keagamaan. (Ambari Taufiq)