DPR RI Sahkan RUU TPKS, Menteri PPPA Paparkan Terobosan Baru

waktu baca 2 menit
I Gusti Bintang Darmawati, Menteri PPPA. (Setkab)

JAKARTA-KEMPALAN: Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah sah menjadi Undang-Undang (UU) pada Sidang Paripurna DPR RI (12/4) di Jakarta. Hal ini merupakan bagian untuk mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia.

Pengesahan itu ditanggapi dengan positif oleh I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang mengapresiasi komitmen, sinergi dan kolaborasi antara DPR RI, pemerintah, serta dukungan dari masyarakat.

“Apresiasi yang sebesar-besarnya atas sinergi, kolaborasi, dan komitmen yang baik dari pemerintah dan DPR RI, dan pendampingan yang luar biasa dari teman-teman masyarakat sipil. Akhirnya setelah penantian yang sangat panjang, hari ini RUU TPKS bisa kita sahkan,” ujarnya seperti yang dikutip Kempalan dari Setkab pada Rabu (13/4).

Ia mengutarakan, kehadiran UU tersebut merupakan wujud nyata adanya negara dalam upaya untuk mencegah berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban serta melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.

Menteri PPPA menuturkan, RUU TPKS telah melalui pembahasan intensif, baik di dalam pemerintah maupun antara pemerintah dan DPR. Penyusunan pandangan pemerintah dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), imbuhnya, melibatkan kementerian/lembaga yang bidang tugasnya berkaitan dengan substansi yang diatur dalam RUU TPKS.

“Dalam pembahasan yang berlangsung konstruktif, pemerintah maupun DPR RI telah berupaya secara optimal menyusun Undang-Undang yang komprehensif, tidak multitafsir, dan tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya,” tuturnya.

Menteri PPPA memaparkan, terdapat sejumlah terobosan yang ada dalam RUU TPKS.

Pertama, pengualifikasian jenis tindak pidana seksual, beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kedua, pengaturan hukum acara yang komprehensif, mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi.

Ketiga, pengakuan dan jaminan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual, yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.

Keempat, perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.

Usai pengesahan UU ini, pihak kementerian akan melakukan sosialisasi sekaligus koordinasi dengan pemerintah daerag agar aturan tersebut benar-benar dapat diterapkan untuk kepentingan terbaik bagi korban. (Setkab, Reza Hikam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *