Dan, Damai di Bumi!
KEMPALAN: Novel lawas ini diterjemahkan dari versi asli Bahasa Jerman ‘’Und fiede Auf Erden!’’ yang terbit pertama di Freiburg, Jerman pada 1904. Sudah berusia seabad lebih, tapi masih banyak dibaca orang di berbagai penjuru dunia. Sudah berusia seabad lebih, tapi masih relevan dengan kondisi saat ini.
Paus Fransiskus dalam khutbah Natal di Gereja Basilika Vatikan (25/12) berdoa agar umat manusia di seluruh dunia segera terbebas dari penyakit Covid-19 yang mematikan. Seperti biasanya, Paus juga menyampaikan pesan perdamaian dan menyatakan pentingnya dialog untuk menyelesaikan berbagai konflik di dunia.
Dalam pidato “Urbi et Orbi” atau pesan kepada dunia, Paus menyoroti meningkatnya polarisasi dalam hubungan personal dan internasional, dan mengatakan bahwa semua persoalan besar itu harus diselesaikan melalui dialog.
Paus menyerukan agar orang-orang dan pemimpin dunia saling berbicara dengan satu sama lain, alih-alih saling berkeras kepala. Dengan jarak yang semakin diperburuk dengan adanya pandemi Covid-19, kapasitas sosial manusia sedang diuji karena terdapat kecenderungan untuk menarik diri dan menghindari dialog.
Bagi Karl May, ada satu penyakit yang paling berbahaya sekaligus mematikan, yaitu prejudice atau syak wasangka, karena penyakit itu bisa menghancurkan persatuan umat manusia di seluruh dunia. Penyakit itulah yang harus dihancurkan kalau dunia mau damai.
Itulah pesan yang ingin disampaikan Karl May melalui ‘’Dan, Damai di Bumi!’’. Melalui tokoh Charlie yang menjadi representasi ‘’aku’’ Karl May berkeliling dunia, bertemu dan berbicara dengan berbagai karakter manusia di dunia. Charlie bertemu dengan karakter bangsa Eropa yang congkak dan merasa paling benar. Charlie mendalami karakter bangsa Timur yang kaya kebijakasanaan, dan Charlie melihat Islam sebagai potensi kekuatan yang sedang tidur.
Dengan gaya bertuturnya yang menawan, Karl May menunjukkan cara pandang bangsa Eropa yang keliru terhadap bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Edward Said menulis buku satu abad kemudian ‘’Orientalism’’ (2001), yang menggugat cara pandang Eropa yang sesat itu. Karl May mengungkap prejudice Eropa dengan cara bertutur, sedangkan Said merumuskannya menjadi teori sosial yang sampai sekarang dianggap paling valid.
Sebagian besar masyarakat Eropa mengganggap novel Karl May sebagai kemenangan Eropa atas bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa Eropa sebagai pembawa peradaban dan bangsa-bangsa lain di dunia harus berada di bawah kekuasaan Eropa—terutama agama Kristen.
Edward Said menyebutnya sebagai konsep ‘’white man’s burden’’, beban sejarah manusia kulit putih untuk menyebarkan peradaban ke seluruh dunia. Penjajahan kolonialisme Barat ke timur dianggap sebagai misi suci untuk memperadabkan Timur, padahal dalam praktiknya misi itu adalah misi penaklukan dan penghancuran.
Cara pandang yang keliru itulah yang coba dihapus Karl May. Tapi orang Eropa justru tidak bisa menangkap pesan itu. Karena itu Karl May menambahkan satu bab lagi untuk menegaskan bahwa tidak ada bangsa mana pun yang mengungguli bangsa lainnya.
Ada beberapa karakter tokoh inti dalam novel ini. Ada Sayyid Omar, seorang muslim asal Mesir, berprofesi gembala keledai yang setia dan pintar, terutama dalam hal memelajari bahasa asing.
Ungkapan Sayyid Omar menunjukkan potensi kekuatan Islam di negeri-negeri timur. Potensi ini menjadi kekuatan besar kalau sudah bangun dari tidur. ‘’Di Negeri Timur, terdapat banyak raksasa tidur. Salah satu raksasa yang saya maksud adalah Islam. Ia sedang tidur.’’
Ada juga gambaran positif mengenai bangsa Melayu. Semula orang Barat meremehkan bangsa ini. Tetapi, setelah berinteraksi pandangan itu berubah. “Betapa berbeda pandangan saya mengenai orang Melayu dulu dan sekarang, mereka orang terbaik di dunia, gagah, cerdas, bertenggang rasa, lembut, pemaaf, tidak egois, adil, dan terutama ramah. Makin lama saya makin yakin bahwa kita seharusnya mencontoh mereka”.
Dalam novel ini…