Sebuah Pertaruhan

waktu baca 9 menit

KEMPALAN: Semakin mendekati hari H pernikahan,  hati Hera terasa makin sendu. Bukan karena masalah dia akan keluar biaya yang membuat tabungan yang cuma sedikit, menjadi terkuras. Bagi Hera itu hal yang tidak  begitu penting. Ada simbahnya yang siap menopang.  Dana terbesar utamanya untuk hidangan atau konsumsi seperti telor, daging, kentang dan sayur-mayur,  kelengkapan es buah atau es puter dan snack, non-beras, karena beras melimpah. Kostum Pengantin kedua mempelai khusus dibuatkan oleh pakdenya Hera yang seniman multi talenta itu.  Pakdenya Hera, sebagai pelatih tari jawa, bisa mendalang, bisa menjahit dan mendesign baju-baju untuk kostum aneka tarian klasik Jawa, seperti baju tari gambyong, tari Merak, tari Serimpi, tari Gambiranom, tari Minakjinggo dayun, tari Kelono,  Gatotkoco gandrung, Karonsih ,  dan lain- lain.Juga kostum tokoh wayang dari buto Cakil, buto-buto lain, jenis tokoh Anoman, sampai baju para ksatria dan baju para dewa juga punokawan. Setiap hari kemerdekaan tujuh belas Agustusan dan hari Kartini kostum bikinan  pakde sangat laris disewa anak-anak sekolah dan para penari. Pakde selalu mendesign sendiri dan membuatkan baju pengantin anak dan ponakan perempuannya jika menikah dengan adat Jawa.

Setelah selesai dipakai,  baju itu dijual ke butik atau sanggar rias pengantin.

Untuk periasnya Hera juga dapat free karena ada sepupu Hera diberi tanggungjawab menjadi perias pengantin. Hera hanya membeli bunga-bunga hiasan saja. Sepupu Hera sudah lama menawarkan keahlian meriasnya sebagai kadonya. Satu hal terpenting lagi adalah fotografer handal si mata sipit Martono, yang tidak mungkin ingkar janji, akan hadir sebagai Ceklek Boy, istilah para mahasiswa untuk tukang potret. Hera tidak khawatir untuk acara pernikahan, pasti meriah dan sangat membahagiakan simbahnya. Itu hal terpenting, kebahagiaan simbahnya karena punya hajat meriah di rumahnya.

Dahulu  waktu ibunya menikah, simbah hanya diam dan manut karena yang punya hajat para lurah satu kecamatan, mereka yang mengatur semuanya. Sekaranglah saatnya simbahnya berbahagia. Mantu cucu yang paling lama ikut simbah dari TK hingga kuliah,  dan paling tahu liku-liku perjalanan cintanya dengan putra pak camat,  Danang.

Hal lain yang penting bagi Hera adalah masalah psikologisnya. Yaitu sebagian kemerdekaannya akan hilang, itu yang membuat Hera merasa selalu tidak siap. Kemerdekaan jiwa, kemerdekaan hati, kemerdekaan bersikap itu ternyata sangat berharga, tapi Hera harus relakan sebagian hilang setidaknya dia ingin tetap merdeka jiwanya. Tujuan Hera menikah utamanya karena ingin punya anak. Dan Hera ingin tetap berkarir, walau sudah menikah. Hera bayangkan perjalanan rumah tangganya dengan Danang bisa dibaratkan seperti siput, jalannya pelan dan lamban. Karena baik Danang maupun Hera hanya sebagai karyawan biasa, rendahan. Hera ingin kelak anaknya mengenyam pendidikan yang baik dan berkualitas. Hera harus berpikir asuransi untuk pendidikannya. Semua serba perlu dana. Tapi baiklah yang terpenting bagi Hera adalah Hera oleh Danang diijinkan atau direlakan berkarir, itu saja. Tapi itupun agak sungkan Hera kemukakan kepada Danang. Tapi kelak jika sudah kepepet pasti akan dikemukakan.

Perhelatan pernikahan Hera digelar meriah. Ada beberapa konvoi mobil dari Jakarta, ada pula yang naik kereta. Semua kerabat dekat Jakarta turut mudik, muda-mudi karang taruna dan teman-teman mas Edi, mas Eko serta teman Hero, ada beberapa yang ikut  sekalian piknik ke Solo Jogya. Kecuali Raharjo dan Purnomo, mereka tidak hadir. Ini justru melegakan Hera. Hati Hera akan bertambah pilu jika mereka datang. Mas Bagas dan satu teman pers kampus hadir sehari sebelum pernikahan. Mas Bagas membawa kado. Hera sedih sebenarnya, tapi tidak diiperlihatkan. Mas Bagas tetap senyum tapi hatinya Hera tidak tahu mungkin sudah siap karena memang hanya berteman baik saja, hubungannya seperti adik dan kakak, yunior dan seniornya. Yang membuat persahabatan berbeda dengan yang lain adalah karena kesamaan wawasan dan visi dalam hidup.  Mas Bagas tidak terlalu lama ada di rumah Hera karena datangnya sudah agak sore. Memang lumayan menyita waktu jika perjalanan ke rumah Hera ditempuh dengan naik andong dari Delanggu. Mas Bagas memberiku kado jam Dinding. Philosopi jam adalah detakannya seperti jantung yang berdetak. Waktu itu urip dan urip itu urup dan urup itu berdetak. Hidup itu harus memancarkan cahaya,menyala menyinari dan menghangatkan sekitar. Itulah makna dari kado sang penyair Semarang yang nyeni itu dengan rambut gondrongnya.

Ijab kobul Hera digelar pagi-pagi jam 7.00 WIB. Hera sendiri heran kenapa harus sepagi itu?? Hal ini pernah Hera pertanyakan kepada mbak Kakungnya. Jawabnya “sangat” atau waktu yang baik ya jam segitu. Setiap orang dengan hitungan weton ‘sangat’ nya berbeda-beda. Ya sudah Hera manut saja. Ijab Hera hanya dihadiri bapak Hera, mbah kakung dan saksi. Tidak begitu sakral karena suasana masih sepi. Danang diantar naik motor oleh sahabat karibnya. Rombongan besar keluarga baru akan datang bersamaan acara serah-serahan dengan membawa hantaran lamaran, dengan acara prosesi penyematan cincin oleh orang tua kedua mempelai dari jari manis kiri ke jari manis kanan. Orang tua mempelai perempuan menyematkan ke jari kanan mempempelai laki-laki, begitu pula sebaliknya. Lalu dilanjutkan Acara simbolis menyampaikan hantaran yang diterima oleh simbah putri dari utusan pihak besan.

Rombongan pihak laki-laki ke pondok yang sudah disiapkan perias penganten laki-laki siap merias dan memakaikan kostum baju penganten bludru hitam dengan hiasan payet-payet yang etnik dan khas namanya baju Kepabron, dengan kuluk tinggi warna hitam seperti kuluk raja jawa. Begitu pula mempelai wanita kostumnya sama, bludru hitam dengan hiasan manik-manik dan payet indah artistik karya pakdenya Hera.  Dengan kostum Keprabon digelar rangkaian upacara adat, antara lain upacara panggih dan lempar gantal yaitu lempar sirih melangkahi pasangan kerbau. Sebelum Acara Adat dimulai lagi-lagi Hera dibisikkan pesan dari orang tua Danang bahwa Hera tidak boleh senyam-senyum seperti saat tunangan. Harus anteng dan sakral. Dalam hati Hera, tidak tahukah hai para orang tua, hati Hera sangat pilu,  bagaimana bisa Hera senyam-senyum lihat saja bukti difoto-fotonya nanti, bukti otentik penganten perempuan matanya mbrambang berlinang air mata yang ditahan agar tidak jatuh. Hera berlinang bukan karena sedih, bukan karena haru tapi lebih tepatnya gamang memasuki dunia baru, ingat  kebebasannya akan terenggut. Acara prosesi yang tidak kalah sakral adalah injak telor oleh penganten laki-laki lalu penganten perempuan membasuh kaki penganten laki-laki. Untuk prosesi ini Hera menolak, tidak mau melakukan. Sebelumnya Hera sudah berpesan kepada sepupunya yang merias utk acara injak telor Hera tidak ingin membasuhnya, sehingga perias sebagai pemandunya terpaksa yang membasuh. Acara mengalir begitu saja. Hera bersyukur tidak ada yang kasak-kusuk menganggap prosesi yang sebenarnya dilanggar itu suatu hal yang aneh.

Ada dua prosesi adat yang Hera menolaknya yaitu membasuh kaki dan sungkem pada mempelai laki-laki. Dan perias sepupunya yang baik hati itu mengiyakan. Sungkeman hanya kepada kedua orang tua saja. Di acara inilah Hera menangis, air matanya berlinang karena baru kali itu Hera sungkem kepada kedua orang tuanya dengan cara menyembah dan memeluk lutut kedua orang tua, diiringi tembang mocopat dengan lirik yang menyayat berupa ucapan terimakasih dan bakti sang anak  dan doa tulus dan harapan baik dari orang tua. Prosesi ini sungguh membuat hati pilu bukan hanya sang mempelai yang merasakan tapi juga para tamu. Lantunan merdu tembang Dandang Gulo seperti mengaduk perasaan, seorang anak pamit untuk memisahkan diri dari  keluarga dan akan mengarungi biduk rumah tangga yang pasti berat dan complicated. Usai sungkeman dilanjut prosesi timbangan dan kacar-kucur. Timbangan adalah fragmen dimana bapak penganten perempuan duduk diantar kedua mempelai, lalu ibu mempelai perempuan menanyakan apakah timbanganya sudah pas tidak berat sebelah? Lalu si bapak menjawab wah pas bu mantab seimbang. Sedang acara kacar-kucur melambangkan lelaki mencari nafkah dan memberikan kepada mempelai perempuan dengan cara menyuntak dan selendang sebagai tadahnya. Lalu dulangan yaitu suap-suapan, kedua mempelai saling menyuapi dan memberi minum. Setelah acara adat selesai, dilanjut sambutan dari wakil pemangku hajat berisi ucapan terimakasih kepada para tamu atas doa restu dan kehadirannya.  Acara tari-tarian klasik digelar saat keluar hidangan.

Tarian indah lemah gemulai, salah satu penari Gambir Anom andalan pakde adalah adik Hera sendiri. Tari minak jinggo oleh putri bungsu pakde, tari Gambyong dibawakan oleh gadis-gadis murid pakde dari Jakarta. Tari Karon sih oleh asisten pakde dengan salah satu gadis murid terbaiknya. Bersamaan itu  keluar hidangan yang diantar sajikan oleh para sinoman,pemuda-pemudi desa. Hidangan pertama teh manis dan snack. Lalu sop manten. Saat keluar hidangan sop manten ada sambutan ular-ular atau nasehat perkawinan disampaikan oleh sesepuh atau pak lurah. Hidangan berikutnya  nasi dengan lauk pauknya yang hanya sedikit-sedikit tapi lezat berupa sambel goreng kreni, sayur labu dan kerupuk udang. Diatas hidangan makan siang ada buah pisang, raja pesta. Terakhir es buah atau es puter. Sepanjang prosesi acara, Hera melihat Martono sibuk dengan perlengkapan fotografinya. Dan yang membuat Hera senang, Martono datang bersama mbak Pertiwi, mbak kosnya. Mereka nampak kompak.Juga teman-teman kampus dan teman kost datang menyewa mobil.

Sekitar jam 14.00 acara selesai semua tamu bersalaman dengan pengantin dan keluarga. Hera dan seluruh keluarga menguca syukur bahwa acara sudah berlangsung lancar meriah tidak ada halangan suatu apa.

Di kamar pojok depan dekat meja persegi tempat Hera biasa belajar dan diskusi jika ada teman-temannya, disitu Hera dan Danang akan tidur. Tamu kerabat masih banyak. Karena suasana lelah maka tidak mengkhususkan malam pertama, hal yang bisa dilakukan saat hati tenang dan mood. Ada sebuah kejadian misterius yang membuat hati makin tidak tenang. Yaitu saking banyaknya keris dirumah simbahnya, ada keris seragam beskap pakde-pakde sebagian berupa keris sungguhan yang ada isinya. Keris-keris itu oleh pakde diletakkan di lemari rak paling atas, dimana disitu juga ada keris milik mbah kakungnya Hera.

Suatu sore lepas magrib simbah Hera merasa kehilangan keris. Yang mengherankan kerangkanya masih tertinggal hanya bilah kerisnya yang tidak ada. Karena bagi simbah hal itu masalah penting, maka pakde-pakde bapak ibu turut mencarinya ditumpukan kostum-kostum pakaian tari dan lemari-lemari lain. Tetapi tidak diketemukan. Mendengar keributan itu Hera turut entah mengapa menyingkap bantal di tempat tidurnya, astaga di bawah bantal ada sebilah keris milik simbah kakungnya. Pertanyaan Hera sepanjang hidupnya, mengapa keris itu memilih bersembunyi dibalik bantal tempat tidur Hera?? Kenapa tidak dibalik bantal tempat tidur simbahnya? Atau tempat lain.  Keris itu Hera berikan kepada simbahnya lalu disimpan terpisah dengan ketis-keris lainnya.

Euforia perhelatan pernikahan sudah usai, Hera hanya satu minggu berada di desa begitu pula para tamu dan orang tua Hera, satu persatu balik ke Jakarta. Kembali pada tugas dan aktifitasnya masing-masing. Hera dan Danang sudah lega tahapan daur hidup manusia telah dilaluinya. Hera sudah mendapat rumah kontrakan sebuah pavilliun rumah tetangganya di Jakarta, hanya beda RT.  Pavilliun berukuran 4 meter kali 10 meter. Terdiri ruang tamu, ruang tidur, dapur kecil dan kamar mandi. Hera senang dan damai sementara tinggal di paviliun sewaan itu. Tabungannya sudah babis untuk diberikan kepada simbahnya buat menyumbang perhelatannya. Hera bersyukur simbahnya sangat bahagia, kebahagiaan simbahnya adalah kebahagiaannya juga.

(Prof Budi Santosa, PhD adalah Rektor Institut Teknologi Kalimantan, guru besar Teknik Industri ITS Surabaya & Dra. Hersis Gitalaras adalah pengusaha di Jakarta/bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *