Berkenalan dengan Teologi Politik
KEMPALAN: Saya melihat daftar saya mengenai teologi politik yang berfungsi seperti kiasan “tangga Wittgenstein” dalam bukunya Tractatus. Begitu mahasisawa pascasarjana membaca dan memahami teks-teks penting ini, mereka harus “membuang tangga”-nya, boleh dikatakan seperti itu, dan mendekonstruksi semua yang telah mereka pelajari tentang teologi politik untuk menerangi masalah kontemporer mereka sendiri. Begitu mereka mencapai puncaknya, mereka bisa membuang tangganya.
Teks
Teks-teks penting dalam mempelajari teologi politik, ialah:
- Carl Schmitt: Political Theology, Roman Catholicism and Political Form, The Concept of the Political, dan Political Theology II.
- Erik Peterson, Theological Tractates.
- Jacob Taubes, The Political Theology of Paul.
Selain teks-teks esensial di atas yang mendorong perdebatan tentang ‘teologi politik’ di awal abad ke-20, saya dapat menyarankan enam teks penting lainnya di bawah ini yang mewakili arah kontemporer dari teologi politik pasca-Schmittian; namun, daftar ini tidak boleh dianggap sebagai daftar definitif. Dari perspektif pedagogis, saya melihat daftar saya tentang teologi politik berfungsi seperti metafora tangga Wittgenstein dalam Tractatus-nya. Begitu mahasiswa pascasarjana membaca dan memahami teks-teks penting ini, mereka harus “membuang tangga”, boleh dikatakan begitu, dan mendekonstruksi semua yang telah mereka pelajari tentang teologi politik untuk menerangi masalah kontemporer mereka sendiri. Begitu mereka mencapai puncak, mereka bisa membuang tangganya.
Carl Schmitt-lah yang pertama kali memprovokasi debat teologi politik selama hari-hari penuh gejolak di Republik Weimar sebagai bagian dari diskusi politik Katolik Jerman, tidak hanya di antara kaum konservatif dan liberal di Weimar Jerman, tetapi juga, dan lebih khusus lagi, di antara orang-orang Yahudi sezamannya, termasuk Jacob Taubes, Hermann Heller, Walter Benjamin, Leo Strauss dan Ernst Kantorowicz. Karya Schmitt yang berjudul Political Theology, Roman Catholicism and Political Form, dan The Concept of the Political adalah pengenalan terhadap perdebatan itu. Baik Peterson dan Taubes sama pentingnya dengan Schmitt karena mereka adalah kritikus awal atas karyanya, yang memaksa Schmitt untuk menjawab kritik Peterson dengan Political Theology II. Setiap siswa yang tertarik pada teologi politik harus membaca teks-teks ini sebagai titik awal.
Teks-teks yang sama pentingnya (dalam tatanan kronologis):
- Jacques Derrida, The Beast and the Sovereign, terjemahan dari seminar Derrida tahun 2001-2002;
- Gil Anidjar, The Jew, the Arab: A History of the Enemy, 2003;
- Giorgio Agamben, The Kingdom and the Glory: For a Theological Genealogy of Economy and Government, pertama kali diterbitkan dalam bahasa Italia tahun 2007;
- Philip Goodchild, Theology of Money, 2009;
- Paul W. Kahn, Political Theology: Four New Chapters on the Concept of Sovereignty, 2011;
- Catherine Keller, Political Theology of the Earth, 2018.
Saya telah memilih Derrida karena dia mengajukan tantangan konseptual terhadap dikotomi manusia-hewan dalam pemikiran Barat antara manusia sebagai superior (rasional dan politik) dan hewan sebagai inferior (irasional dan non-politik) karena dia percaya mereka ada melampaui dan berada di luar hukum masing-masing. Meskipun saya memiliki masalah dengan cara Derrida mengaitkan kualitas-kualitas negatif dalam kedaulatan dengan sifat kebinatangan, itu adalah kontribusi penting bagi teologi politik karena penguasa yang mahakuasa tidak hanya manusia, tetapi juga diakui sebagai hewan. Meskipun demikian, ia tampaknya mempertahankan hierarki manusia-hewan, yang sekarang dipertanyakan oleh veganisme etis.
Anidjar menunjukkan kepada kita bahwa orang Yahudi, yang dianggap sebagai musuh teologis, sama pentingnya dengan orang Arab/Muslim, yang dilihat terutama sebagai musuh politik, dalam menciptakan identitas Eropa modern. Agamben membuka mata kita pada tingkat pemahaman yang baru: kekuatan nyata dengan kemuliaannya bukanlah milik penguasa, tetapi milik (mereka) yang mengatur perekonomian saat pemerintah dan administrasinya mendistribusikan kekuasaan melalui perekonomian. Baginya, gagasan dan realitas politik saat ini di Barat hanya dapat dipahami melalui konsep teologis Kristen seperti doktrin pemeliharaan ilahi, angelologi, dan konsep pelayanan.
Goodchild menggambarkan bagaimana uang telah menjadi agama dominan yang dipraktikkan saat ini, sehingga uang bersifat teologis karena telah menggantikan Tuhan sebagai sumber kebenaran, nilai dan kekuasaan di dunia modern. Kahn mengajari kita bahwa teologi meresap ke dalam sistem politik dan hukum AS, yang diyakini sekuler dan liberal.
Keller membawa kita kembali ke Bumi dengan menghijaukan agama: ketika planet ini gagal karena perubahan iklim dan bencana lingkungan, tidak akan ada yang mempermasalahkan teologi politik, kedaulatan, atau perbedaan teman dan musuh. Dia menanyakan pertanyaan paling mendasar: siapa pemilik planet Bumi ini? Karena planet kita berada dalam keadaan darurat, komunitas keagamaan di dunia — yang berpotensi untuk berpolitik — harus bergabung bersama untuk melawan krisis lingkungan. Kami telah membunuh Tuhan Bapa Yang Berdaulat; Akankah Alam Ibu menjadi yang berikutnya?
Definisi
Awalnya, teologi politik didefinisikan oleh Schmitt sebagai teori kehadiran Tuhan dalam politik ketika negara liberal modern mereplikasi konsep teologis yang lebih tua. Belakangan, istilah tersebut digunakan sebagai teori negara berdaulat oleh Nazi, didukung oleh Schmitt, Emanuel Hirsch, Wilhelm Stapel dan Alfred de Quervain. Hal ini mengakibatkan sakralisasi kekuasaan dan depolitisasi agama.
Teologi politik juga ditafsirkan oleh para teolog dialektika Protestan, seperti Friedrich Gogarten sebagai teori sekularisasi dengan ketiadaan Tuhan, sebuah ruang hampa yang kemudian diisi oleh etika atau spiritual, tetapi bukan tipe religius. Namun, sejak tahun 1960-an istilah teologi politik dikaitkan dengan Johann Baptist Metz dan para teolog pembebasan yang mendefinisikan kembali teologi politik sebagai teologi keadilan untuk memulihkan dimensi sosial dari doktrin Kristen, yang bertentangan dengan konsep Schmittian yang berpusat pada negara berdaulat.
Menurut pendapat saya, pertanyaan tentang bagaimana seseorang akan mendefinisikan teologi politik menimbulkan pertanyaan lain: adakah teologi yang tidak politis, yang berdiri sendiri terpisah dari ranah politik? Dengan cara yang sama, apakah ada sistem politik yang tidak memiliki dasar agama? Daripada berkonsentrasi pada definisi istilah ‘teologi politik’ itu sendiri, saya mengusulkan agar kita melihatnya tidak hanya di dalam bagian-bagian dalam buku tetapi dalam konteks masing-masing di mana itu terjadi, seperti debat Katolik politik Jerman, penggunaannya yang melegitimasi Hitler dan partai Nazi, penyangkalan dan kesalahan Katolik pasca-Auschwitz, Konsili Vatikan Kedua berikutnya, perjuangan Perang Dingin antara kapitalisme dan komunisme, masa kejayaan ‘politik Islam’ setelah revolusi Islam Iran, dan era pasca-Fukuyama yang mempertanyakan aturan korporat dari demokrasi liberal yang disakralkan sebagai Mesias untuk dunia modern.
Para teolog dan filsuf politik kontemporer mengakui pentingnya ekonomi politik global, hak-hak hewan dan lingkungan sebagai perusahaan multinasional, aktivis hak-hak hewan (vegan etis) dan ahli lingkungan memaksa kita untuk mengevaluasi kembali sifat kedaulatan dan untuk mengembangkan kerangka hukum baru untuk memenuhi realitas sosial dan politik saat ini. Oleh karena itu, saya menahan diri untuk tidak mendefinisikan teologi politik karena istilah itu terus mendefinisikan dirinya sendiri di dunia nyata sedemikian rupa sehingga batas-batas dalam ilmu sosial dilintasi dan dilampaui.
Tulisan Asli
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, ada sebuah tulisan asli; namun, ia hanyalah tangga Wittgenstein, sebuah alat!
(Mehmet Karabela adalah penulis dan cendekiawan Agama di Queen’s University, Kanada)