Sufisme Turki, Tidak Terikat pada Mahzab

waktu baca 3 menit
Mehmet Kadri Karabela, Dosen Queen's University.

OTTAWA-KEMPALAN: Bulan Ramadhan selalu dikaitkan dengan pendalaman keimanan dan waktu untuk mencari berkah. Guna menemukan pemaknaan dari bulan Ramadhan, umat Islam menempuh banyak jalan, salah satunya tasawuf atau sufisme.

Turki adalah negara mayoritas Sunni yang bangkit secara kebudayaannya dengan berbagai agenda pengenalan budaya Turki kepada dunia, baik melalui film ataupun media lainnya.

Berkenaan dengan Sufisme ala Turki, Mehmet Karabela, sejarawan Turki yang juga staf pengajar di Queen’s University Kanada, menyebut Yunus Emre sebagai figur nasional serta punya pengaruh besar terhadap masyarakat Turki saat ini.

“Yunus Emre tidak pernah membangun ajaran atau mahzab Sufi sendiri. Ia hanya menuliskan puisi dan mencari kebenaran secara individual dengan tidak membentuk pengikut atau mahzab tasawuf,” ujar Karabela ketika diwawancarai Kempalan pada Selasa (20/4).

Mehmet menambahkan, Yunus memang Sufi, namun ia sufi yang memilih sendirian serta menafsir ajaran Islam secara individualistik.

Ilustrasi Yunus Emre.

“Orang Turki Utsmani, terutama di masa awal dinasti Utsmani, tidak suka terikat pada mazhab atau ajaran ketat secara aturan,” tambahnya. Hal itu disebabkan secara sejarah, orang Turki memiliki gaya hidup mandiri.

“Orang Turki Utsmani sebagai sebuah dinasti pada awalnya adalah masyarakat pengembara. Maka dari itu mereka tidak menetap di suatu tempat untuk jangka waktu yang lama. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya; dari Asia Tengah ke Anatolia,” tutur Karabela.

Adapun mazhab Sufi yang berkembang di Turki meliputi Naqsabandiyah, Sufi berputar (Mevlevi), Qadiriyah, Bekhtasiyah, Rifa’iyah, Cerrahiyah, Bayramiyyah, Celvetiyyah, Helvetiyyah dan Malamatiyyah. Dalam perkara jumlah, Mehmet menyebut, Naqsabandiyah paling banyak pengikut, karena mereka memiliki banyak lembaga sejak abad ke-18 sekaligus dekat pada Islam Sunni

“Saya pikir mereka lebih dekat dengan tradisi agama Utsmaniyah dan berhasil menggabungkan agama dan politik,” ujar Karabela.

“Mereka lebih dekat dengan arusutama Islam, tradisi Sunni. Oleh karena itu, mereka mendukung status quo yang secara politis mendukung penguasa dalam banyak kasus, baik secara terbuka maupun dalam diam. Jadi baik dari segi agama dan politik mereka berbeda dari yang lain,” tambahnya.

Ia menambahkan bahwa dari segi sejarah, orang Turki Utsmaniyah tidak mau terikat pada satu mazhab karena dinasti Utsmaniyah menaklukkan dan tinggal di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Sejarawan Turki Ömer Lütfi Barkan (w. 1979) berpendapat bahwa salah satu alasan Utsmaniyah dapat masuk ke wilayah Balkan (sebagian besar penduduknya Kristen) adalah karena Sufi Turki. Orang masuk Islam melalui tasawuf. Dinasti Utsmaniyah menggunakan sufi karena sufi tidak terlalu dogmatis dan tidak terlalu menuntut: orang tidak harus salat atau salat dengan cara mereka sendiri (ritual di loge Sufi), dan hukum Islam tidak ditonjolkan.

Terkadang, para Sufi adalah sekutu Negara Utsmaniyah dan terkadang, mereka kritis terhadap penguasa atau Negara. Tapi, mereka masih melakukan peran yang sangat penting dalam cara Utsmani dapat memasukkan diri mereka sendiri (tidak hanya Utsmani tetapi juga Mughal, Kerajaan Muslim lainnya, juga menggunakan Sufi di Bengal, sehingga Mughal dapat berkembang ke Benggali melalui kelompok Sufi.

“Sufi Turki tidak punya masalah untuk berbicara dengan non-Muslim di Kekaisaran Utsmaniyah; mereka menemukan bahasa yang sama tentang spiritualitas. Sufi Utsmani menjadikan Islam sangat ramah pengguna bagi non-Muslim karena ada lebih dari satu interpretasi tentang Islam,” tutup Karabela. (reza m hikam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *