Negara Adalah Aku : Membantah Mitos Raja di Istana Jakarta

waktu baca 4 menit
Ilustrasi Revolusi Prancis

KEMPALAN : Bila kritik kehilangan keseimbangan antara emosi dan rasionalitas, maka demokrasi kehilangan arah. Menyebut republik ini sebagai kerajaan terselubung adalah bentuk pesimisme politik yang terlalu cepat menyerah pada persepsi.

“L’État, c’est moi.” Negara adalah aku. Kalimat legendaris Raja Louis XIV dari Prancis itu sering dijadikan simbol kesewenang-wenangan kekuasaan.

Kini, sebagian kalangan aktifis dan politisi menyebut gema kalimat itu terdengar kembali di Jakarta, seolah republik ini telah menjelma menjadi monarki modern dengan presiden sebagai raja, hukum sebagai pelayan, dan rakyat sebagai penonton.

Analogi itu memang menggoda secara sastra, namun rapuh secara logika.
Indonesia bukan Prancis abad ke-17. Republik ini dibangun di atas sistem hukum yang berlapis, mekanisme pemisahan kekuasaan, dan legitimasi elektoral yang sah.

Menyamakan dinamika politik Indonesia dengan absolutisme ala Roi Soleil hanya memperlihatkan kecenderungan untuk melihat segala kebijakan dari kacamata sinis, tanpa memahami konteks sosial dan administratif yang melingkupinya.

Isu rangkap jabatan yang sering dijadikan contoh “feodalisme gaya baru” seharusnya ditinjau lebih dalam.

Dalam birokrasi modern, rangkap jabatan tidak otomatis mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, efisiensi kebijakan justru kerap membutuhkan figur yang memiliki jangkauan lintas sektor.

Francis Fukuyama, ilmuwan politik dari Stanford University, menulis bahwa negara dengan kapasitas institusi yang belum matang membutuhkan overlapping authority — tumpang tindih kewenangan — agar koordinasi antar lembaga berjalan lebih cepat.

Pelantikan figur seperti Dony Oskaria di jabatan strategis BUMN, misalnya, bisa dibaca sebagai langkah memperkuat integrasi ekonomi nasional, bukan semata kepentingan kekuasaan.

Dalam era kompetisi global yang menuntut kecepatan dan konsistensi, terlalu banyak sekat justru memperlambat gerak negara.

Bukan berarti rangkap jabatan tidak patut diawasi, namun kritik terhadapnya perlu proporsional: memisahkan antara bentuk penyimpangan dan kebutuhan efisiensi.

Mahkamah Konstitusi juga sering diserang dengan tudingan kehilangan independensi. Padahal, di negara demokratis mana pun, lembaga yudisial tidak pernah sepenuhnya steril dari dinamika politik.

Putusan hukum adalah hasil dialektika antara teks undang-undang, argumentasi konstitusional, dan konteks sosial.

Selama prosesnya transparan, terbuka untuk diuji publik, dan tidak disensor oleh kekuasaan, maka lembaga itu tetap bekerja dalam kerangka checks and balances.

Sebagaimana diingatkan Alexis de Tocqueville, demokrasi bukan hanya tentang pemisahan kekuasaan, tetapi tentang partisipasi warga yang aktif dan rasional.

Maka, ketika publik merasa hukum dilemahkan, tugas masyarakat bukan sekadar mengutuk, melainkan memperkuat budaya hukum itu sendiri: membaca putusan, mengawal legislasi, dan menuntut akuntabilitas berdasarkan data, bukan desas-desus.

Sementara itu, istilah rule of loyal yang belakangan sering dipakai untuk menggambarkan pemerintahan saat ini sebenarnya terlalu gegabah.

Loyalitas dalam birokrasi bukan kebalikan dari profesionalisme; justru menjadi pondasi bagi efektivitas pemerintahan.

Di Jepang, Korea Selatan, atau Singapura, loyalitas kepada kepala pemerintahan merupakan ekspresi integritas, bukan perbudakan.

Loyalitas menjadi masalah hanya jika menggantikan kompetensi dan transparansi.

Di Indonesia, yang dibutuhkan bukan penghapusan loyalitas, melainkan penyucian maknanya — agar loyalitas diarahkan pada visi nasional, bukan pada figur personal.

Loyalitas kepada negara bukan dosa politik; ia baru menjadi racun ketika berubah menjadi alat mempertahankan kekuasaan.

Adapun narasi nasionalisme yang sering dicurigai sebagai kamuflase kekuasaan, sejatinya memainkan peran penting dalam menjaga kohesi sosial.

Dalam masa krisis kepercayaan dan gejolak global seperti sekarang, narasi kebangsaan dibutuhkan untuk menjaga arah moral bangsa.

Joseph Nye, pakar kebijakan publik dari Harvard University, menyebut bahwa “negara yang kehilangan narasi nasional akan kehilangan daya tahannya sendiri.”

Persoalannya bukan pada penggunaan jargon nasionalisme, tetapi pada ketulusan menjalankannya.

Apakah masih ada penyalahgunaan kekuasaan di republik ini? Tentu saja. Tidak ada sistem demokrasi yang steril dari kompromi dan kepentingan.

Namun menyimpulkan bahwa seluruh sistem kini tunduk pada satu orang adalah bentuk pesimisme politik yang berlebihan.

Presiden tetap dibatasi masa jabatan, setiap keputusan dapat diuji melalui mekanisme hukum, dan masyarakat masih bebas mengkritik tanpa ancaman sistematis.

Seorang raja absolut tidak pernah memberi ruang sebesar ini kepada rakyatnya.
Menjadi warga negara demokratis berarti belajar hidup dalam ketegangan antara idealisme dan realitas.

Pemerintah tidak selalu benar, namun juga tidak selalu jahat. Kritik yang bernilai adalah yang menimbang dengan akal sehat, bukan hanya dengan amarah.

Demokrasi membutuhkan kritik yang cerdas, bukan hanya bising.
Jadi, ketika ada yang berkata “Negara adalah saya,” mungkin sudah waktunya kita membalik kalimat itu menjadi “Negara adalah kita.”

Sebab republik ini bukan milik satu figur, satu partai, atau satu elite — melainkan milik seluruh rakyat yang masih mau berpikir kritis, menulis dengan jujur, dan menjaga akal sehat di tengah gelombang kebisingan politik.

Selama ruang kritik masih ada, selama hukum masih bisa diperdebatkan, dan selama rakyat masih berani menuntut, republik ini belum menjadi kerajaan. Ia hanya sedang belajar menjadi dewasa dalam bisingnya demokrasi.

 Oleh : Bambang Eko Mei

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *