Babak Akhir Otokrasi Megawati

waktu baca 4 menit
megawati (*)


Sejarah selalu mencatat bahwa setiap kekuasaan yang dibangun di atas fondasi otoritarian dan arogansi akhirnya akan menemukan titik.akhir. Seperti kuda yang telah mati tetapi tetap dipacu. Kekuasaan yang dipertahankan dengan cara menabrak batas-batas demokrasi hanya akan mempercepat kejatuhan. Ini tampak tengah dialami oleh Megawati Soekarnoputri dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sebuah partai yang dahulu dielu-elukan sebagai pembela wong cilik, namun sekarang mulai kehilangan kepercayaan rakyat.

Terbitnya surat larangan bagi kepala daerah asal PDIP untuk tidak mengikuti pembekalan atau retret di Akademi Militer (Akmil) Magelang menjadi titik terang bagi publik untuk melihat wajah asli kepemimpinan Megawati. Keputusan ini tidak hanya mengabaikan etika politik tetapi juga secara terang-terangan melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut secara jelas mengamanatkan bahwa Kemendagri dan Lemhannas memiliki peran dalam memberikan pembekalan kepada kepala daerah terpilih sebagai bagian dari pembinaan tata kelola pemerintahan.

Ketidakpatuhan ini mengingatkan kita pada kritik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah menyatakan bahwa “Megawati itu orang yang tidak patuh pada undang-undang, bahkan sering menabrak undang-undang.” Pernyataan tersebut kini menemukan relevansinya ketika seorang ketua partai merasa memiliki otoritas untuk melawan kebijakan negara.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri ikut menegaskan bahwa retret di Akmil merupakan program pemerintah pusat. Setiap kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota harus patuh mengikuti.

Namun apa yang terjadi? Said Abdullah, anggota fraksi PDIP justru menyanggah dengan menyatakan bahwa larangan tersebut adalah urusan internal partai dan orang luar tidak perlu ikut campur. Pernyataan ini mengundang kritik keras karena keputusan Megawati bukan sekadar kebijakan internal melainkan bentuk pembangkangan terhadap sistem negara. Kepentingan negara jauh di atas kepentingan partai.

Tak heran jika Fahri Hamzah menanggapi dengan tegas, “Tidak ada ceritanya ketua partai mengendalikan negara. Jika ada ketua partai yang seakan bisa mengendalikan negara, itu salah besar.” Apa yang dilakukan Megawati bukan sekadar manuver politik tetapi sebuah preseden berbahaya dalam sistem demokrasi.

PERUSAHAAN KELUARGA
Realitas yang semakin terang adalah bagaimana PDIP tidak lagi menjadi partai yang memperjuangkan kepentingan rakyat kecil melainkan lebih menyerupai sebuah perusahaan politik yang dikendalikan secara eksklusif oleh keluarga Megawati. Struktur partai telah berubah menjadi dinasti yang memperkuat posisi anak, cucu, adik serta sanak saudara Megawati dalam parlemen maupun hierarki partai.

Janji perjuangan untuk rakyat hanya menjadi slogan kosong yang dipertahankan demi meraup suara dalam pemilu. Namun rakyat semakin sadar bahwa mereka selama ini telah dikaburkan oleh ilusi keberpihakan yang ilusif. PDIP kini berada di persimpangan jalan, bertahan dengan sistem otokrasi internal yang semakin usang atau menghadapi kenyataan pahit dari kejatuhan yang tak terelakkan.

Dalam dunia manajemen dan strategi dikenal sebuah konsep bernama “Teori Kuda Mati” yang menggambarkan bagaimana manusia cenderung mempertahankan sesuatu yang sudah tidak lagi berfungsi dimana semua tanda-tanda kejatuhan sudah tampak jelas. Dalam kasus PDIP, partai ini seperti terus menunggangi kuda yang sudah mati. Memaksakan kepemimpinan yang sudah kehilangan relevansinya, menolak untuk beradaptasi dengan dinamika politik yang lebih demokratis serta mengabaikan suara kritis dari dalam maupun luar partai.

Teori ini menekankan bahwa jika kuda yang ditunggangi sudah mati maka tindakan paling logis adalah turun dan mencari alternatif lain. Hanya saja dalam politik seringkali aktor-aktor kekuasaan lebih memilih untuk tetap bertahan dengan status quo bahkan ketika tampak sedang menuju jurang kehancuran.

Rakyat kini semakin menyadari bahwa PDIP di bawah Megawati bukan lagi partai perjuangan rakyat melainkan kendaraan pribadi untuk mempertahankan kekuasaan keluarga. Dengan semakin banyaknya bukti otoritarianisme, penolakan terhadap demokrasi internal serta ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, PDIP sedang menuju fase kejatuhan.

Pertanyaannya bukan lagi apakah PDIP akan kehilangan kepercayaan rakyat, tetapi kapan titik balik itu akan benar-benar terjadi?. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap otokrasi memiliki akhir dan bagi Megawati serta PDIP babak akhir itu mungkin sudah semakin dekat. Dalam politik tidak ada yang abadi, bagi yang gagal memahami dinamika perubahan akan ditinggalkan oleh arus sejarah.

Kejatuhan ini tidak hanya menjadi pelajaran bagi PDIP namun juga bagi seluruh partai politik di Indonesia. Politik dinasti, arogansi kekuasaan, dan kebijakan otoriter hanya akan membawa kehancuran. Reformasi dalam tubuh partai menjadi kebutuhan mendesak agar demokrasi tetap hidup dan relevan. Jika tidak, sejarah akan kembali mencatat bahwa yang tidak mau berubah akan tergilas oleh zaman.

Rokimdakas
Wartawan & Penulis
24 Februari 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *