Jalan Tasawuf KH. Syaiful Ulum Nawawi (1)

waktu baca 2 menit
KH. Syaiful Ulum Nawawi. (*)

KEMPALAN: Ternyata hidup manusia itu tidak bisa semata dipasrahkan pada logika. Ada batas-batas yang manusia tidak bisa bersandar pada “ilmu pengetahuan” belaka.

‘Olah Pikir’ harus diseimbangkan dengan ‘Olah Rasa’.

Hal di atas dinyatakan KH. Syaiful Ulum Nawawi pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad, Pandugo, Surabaya.

“Saya tertarik dunia tasawuf, diawali dengan pergolakan batin. Dimana saat itu pencarian jati diri yang saya lakukan mengalami stagnasi. Disebabkan selama ini kehidupan saya banyak berjalan di area logika rasional,” tutur ayah tiga orang anak dan kakek dari seorang cucu ini.

“Hidup yang awalnya lebih dominan berjalan di area logika rasional, pada akhirnya mengalami batas kejemuan. Saya menyadari bahwa bahagia itu bukan pada persoalan rupa, tapi pada rasa.”

Lebih lanjut dikatakan : “Pengembaraan spiritual adalah mencari yang seharusnya dicari sesuai jati diri ‘luar-dalam’, yang ternyata bersemayam pada diri masing-masing orang. Meski begitu, sering kali seseorang butuh guru pencerah untuk membimbing dan menemukannya.”

Lantas ditambahkan : “Kurang dan lebihnya ya seperti itu, laku manusia sesungguhnya menuju tujuan hidup dimana intinya adalah welas asih mengasihi sesama mahluk Tuhan.”

Bagaimana cara dan metode menjalaninya? KH. Syaiful Ulum Nawawi menjawab: “Ngaji terus, terus ngaji, menjemput rahmat Illahi.”

“Dalam konteks sufiisme, titik temunya ketika sufiisme menjadi prioritas yang bersumber dan bersinergi pada olah batin dimana transformasinya saya alami sekitar 35 tahun lalu,” lanjut KH. Syaiful Ulum Nawawi, yang kemudian menambahkan, “Saat itu saya pada usia yang saya anggap matang dalam menjalani kehidupan.”

Bicara dunia sufi dengan laku tasawuf, titik singgungnya ada pada tataran manusia yang sudah mendapat pencerahan: Kolbu. Batin. Hati.

Dari titik ini potensi kekuatan diri bisa terimplikasikan karena sudah menemukan kesejatian diri yang bersemayan di dalam sublimasi kematangan jiwa dengan tahta yang disebut ‘pengendapan kolbu’ itu. Ati menep.

Namun demikian, sebagaimana pernyataan beliau lebih lanjut, sufiisme dengan laku tasawufnya adalah dengan terus-menerus untuk bersikap dan bertindak menjadi insan yang jujur dimana hal itu bersumber pada kebeningan hati.

“Hati yang bening, bersih, menjadikan perilaku terpuji. Dan perilaku terpuji adalah esensi subtitutif utama manusia di hadapan Alloh, dengan terus-menerus mengiringi laku sehari-hari dalam mengasihi sesama manusia sesuai jalan Alloh.

Amang Mawardi – Bersambung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *