KH. Syaiful Ulum Nawawi dan Pondok Pesantren Darul Ibadah Al-Baiad (4)
KEMPALAN: Sebagaimana disebutkan pada seri ke-3 tulisan yang judulnya persis seperti di atas, pengalaman waktu kecil KH. Syaiful Ulum Nawawi sarat keprihatinan, terutama yang menyangkut beban ekonomi berkaitan dengan kebutuhan hidup keluarga inti orangtua.
Namun demikian, pengalaman masa kecil, “Ya, seperti umumnya masa anak anak — berteman dan bermain adalah ibarat koin mata uang dengan dua sisi : saling melengkapi — tak dapat dipisahkan, di mana keceriaan senantiasa menyelimuti masa bermain dalam persahabatan antar-teman,” demikian pernyataan KH. Syaiful Ulum Nawawi.
“Sahabat dan teman-teman waktu kecil saya, ya anak-anak kampung di Desa Pandugo dimana saya dilahirkan,” papar KH. Syaiful Ulum Nawawi, yang lantas menambahkan : “Sekarang kami rata-rata usia 60-an tahun. Sebagian masih hidup, sebagian lagi sudah berpulang…”
Tentang arti persahabatan di antara keceriaan masa kanak-kanak, ya seperti itulah : “Belum mampu berpikir untung dan rugi. Faktor rasa lebih dominan dibanding logika.”
Menginjak masa remaja, lain lagi. “Selain perspektif rasa dan logika berjalan saling berkelindan –antara lain didukung divergensi pergaulan yang makin melebar, dimana diindikasikan dengan bertambahnya teman di luar kampung– juga adanya faktor bertambahnya pendidikan yang diperoleh.”
Lantas dinyatakan Pak KH. Syaiful Ulum Nawawi bahwa tidak saja sebatas teman-teman SD, juga melebar ke teman-teman maupun para sahabat di bangku SMP, SMA, dan seterusnya.
“Dan saat makin menuju dewasa, barulah memahami arti penting orang lain dalam kebutuhan sosial kemasyarakatan,” lanjut KH. Syaiful Ulum Nawawi, yang lantas ditambahkan : “Kami saling memberi dan mengisi nilai nilai kehidupan bersama.”
*
Membahas soal pendidikan yang bersangkutan dengan perjalanan kehidupan KH. Syaiful Nawawi, adalah ibarat dian yang tak kunjung padam. Semangat belajar sosok pengagum Bung Karno, KH. Hasyim Ashari, Gus Dur, dan “Tentu saja orangtua saya sendiri,” tutur Pak Kyai — adalah bicara tentang semangatnya yang tak henti mencari ilmu. “Karena ilmu itu ibarat sumber yang tak pernah henti mengalirkan airnya,” tutur beliau.
Dan ini yang menimbulkan semacam “paradoks”, dengan pernyataan beliau bahwa semakin isi dunia ini kita gali keilmuannya kita akan terlihat “makin bodoh”.
Sambung Pak Kyai, “Atau kalau kita paralelkan dengan kearifan lokal, “Semakin kita banyak menimba ilmu, kita akan bersikap seperti ilmu padi– makin berisi makin menunduk. Kalau ada ada “padi” yang belum menunduk, berarti belum banyak isinya, belum banyak ilmu yang didapat.”
Tambah KH. Syaiful Ulum Nawawi : “Dan itu sunnatullah.”
Sebagaimana catatan riwayat pendidikan KH. Syaiful Nawawi Ulum yang disampaikan beliau kepada saya melalui Pak Bambang Wahyudi, di situ mengindikasikan bahwa pada masa remaja dan dewasa sosok yang dikenal juga sebagai aktivis ini, adalah pribadi yang tekun sekali menggali ilmu. Tidak saja ilmu-ilmu keagamaan, juga disiplin ilmu lain di luar itu.
Begini riwayat pendidikan beliau:
- MI/SDI Al Buchori, lulus 1974.
- SMP. Wachid Hasyim 6, lulus 1977.
- SMPP/SMA Negeri Surabaya, lulus 1980/1981.
- Akademi Dakwah Surabaya – D3.
- STID (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah) Taruna, Surabaya – S1.
- STIE (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ) Yapan – S1.
- STIE Mahardika Surabaya – S2.
- UIPM Amerika Serikat – S3 (DR. HC.) 2024.
(Amang Mawardi – Bersambung).
