Ditraktir Mas Tris di Warung Keres Bu Ayu
KEMPALAN: Jika ada miscall masuk ke WA saya dari nomor yang saya kenal, lantas tidak disusuli dengan pesan tertulis, maka senantiasa akan saya jawab dengan tulisan begini : kepencet ya, (pak, mas, bung, om) ?
Demikian juga yang saya lakukan pada Sabtu siang 18 Januari lalu, saat ada miscall dari salah satu sahabat saya : Sutrisnopm.
Mas Tris (demikian saya biasa memanggil) adalah teman se-angkatan di STM Negeri II Kimia Industri, Surabaya. Kami lulus tahun 1973.
Setelah dari STM tersebut, dia lanjut studi di Fakultas Teknik Kimia PTPN (sekarang UPN/Universitas Pembangunan Nasional) yang dulu kampusnya ada di Jl. Tambak Bayan, Surabaya.
Belakangan saya ketahui bahwa Mas Tris ternyata gelar S2-nya mengambil disiplin ilmu hukum.
Setelah saya tulis pesan seperti biasanya, Mas Tris menelepon langsung, kemudian kami saling ber-say hello.
Lantas saya to the point ke pokok maksud: “Onok opo Mas Tris?”
“Ayo kulineran?”
“Nang ndi?
” Di Warung Keres. Tahu kan? Tolong teman-teman diajak, ya…” balas Mas Tris.
Secara karier dan financial dia salah satu sosok alumnus STM Negeri II Kimia Industri, Surabaya, yang sukses. Pernah menjadi d
manajer PTP di luar Jawa. Juga berkiprah di bisnis persewaan mesin diesel untuk perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Sumatra.
Dan ini yang tak kalah penting, salah satu donatur potensial untuk aktivitas sosial selulusan. Misalnya : Jika ada yang diopname, atau salah satu alumni meninggal dunia atau istri/suami berpulang, dia ambil peran mentransfer dana ke bendahara.
Maka, Sabtu siang itu sejumlah teman se-alumni saya kontak.
Tiga orang minta maaf tidak bisa hadir. Ada yang sudah janjian nungguin tukang betulkan genteng bocor. Ada yang akan mengikuti upacara kebaktian kirim doa sepupu meninggal. Sedangkan satunya tidak hadir karena angka kolesterol dan asam urat naik tinggi. Badannya cenat-cenut.
Hanya dua yang janji akan hadir : Saya dan Mas Indradjit yang dulu saat STM itu dikenal sebagai pesilat.
*
Warung Keres namanya sudah lama saya kenal, tapi saya belum pernah mencicipi masakan di situ.
Keterkenalan ini antara lain beritanya sering bersliweran di medsos, termasuk masuk ke channel YouTuber khusus kulineran ‘Budiono Sukses’ yang subcribernya tercatat 761 ribu.
Maka jelang siang hari Minggu itu, dengan go car saya menuju lokasi janjian tersebut yang jaraknya dari rumah 4,5 kilometer sebagaimana tercatat di google map.
Setiba di tujuan yang posisinya persis di sebelah kanan kantor Dinas Kebudayaan Jawa Timur, Jalan Wisata Menanggal, Surabaya, saya dibuat “kecewa”. Kenapa? Karena pohon keres sebagai penanda warung ini tingginya cuma sekitar 2 meter, dan keluasan lingkungan sekitar warung itu terlihat makin menyempit, tidak seperti yang saya lihat di foto maupun videonya di medsos.
Di sekitar warung itu sudah banyak berdiri bangunan. Bahkan ada yang bertingkat enam. Bisa saya pastikan pohon keres besar yang menaungi dan meneduhi warung ini sudah ditebang, lantas diganti dengan pohon keres kecil di kanan depan warung keres yang pengelolanya adalah Bu Ayu itu. Sekadar “trade mark”.
Setelah saya cek di salah satu konten ‘Budiono Sukses’, ternyata vlog yang saya tonton karya alumnus ITS ini diproduksi 3 tahun lalu. Eladalah, pantes !
Saat memasuki warung ini, saya perkirakan ada 20 meja di situ. Sedangkan di bagian teras yang terdapat gazebo bambu, kira-kira ada 8 meja.
Ternyata di bagian tengah ruangan dalam sudah duduk Mas Tris dan Mas Indradjit. Di depan Mas Tris dan di sebelah kanannya, duduk dua orang yang tidak saya kenal.
Ternyata yang duduk di depan Mas Tris adalah salah satu adik dari Mas Tris.
“Saya adiknya Mas Tris, Pak,”.
“Yang kolonel itu ya…?!”
“Bukan. Yang kolonel itu adik saya,” kata adik Mas Tris ini kalem, santun, yang mengenakan jaket kulit gelap.
Dan, satunya yang mirip aktor Herdin Hidayat, sosoknya juga ramah dan saya kesankan rendah hati.
Mas Indradjit yang sekarang terlihat kurus, kepalanya masih mengenakan bagian dari hoodie.
“Silakan Pak Amang, ambil menu…” Mas Tris menawari.
Saya menuju bagian selatan warung ini. Buset…menunya banyak banget. Tersedia aneka masakan dan macam-macam lauk goreng maupun yang bernuansa kuah, diletakkan pada wadah-wadah stainless steel pipih lebar. Dan wadah-wadah ini berada di balik etalase aluminium memanjang sekitar 8 meter.
Mungkin ada lebih kurang 30 menu disitu. Dan boleh jadi inilah warung kuliner yang terbanyak menunya di Surabaya. Dan –sebagaimana yang saya tonton di konten channel YouTube ‘Budiono Sukses’– mudah-mudahan harganya terjangkau.
Saya berusaha memilih masakan yang tidak pedes, kecut, dan tak bertekstur keras. Juga yang tidak mengandung santan. Kalau salah satu dari pantangan itu saya langgar, asam lambung saya di perut bisa meronta-ronta.
Saat sedang memilih-milih menu itu untuk kemudian diambilkan mbak pramusaji dengan alat japit atau sendok besar, sekilas saya amati pengunjung warung ini datang-pergi silih berganti. Sementara mbak-mbak pramusaji yang berseragam kaos lengan panjang warna orange yang jumlahnya lebih kurang 10 orang, bersliweran sibuk melayani pembeli.
Akhirnya saya pilih sayur sop, sepotong perkedel, dan seekor dorang goreng — dengan sedikit nasi. Untuk minumnya : jus jambu tanpa es.
Saat saya memesan jus jambu, mbak pramusaji di balik etalase aluminium itu tanya:
“Pakai susu, Pak?”
“Gak pakai…”
“Enak pakai susu, Pak…”
“Gak…”
“Kan enak pakai susu …”
“Catat ya, mbak : gak pakai susu ! Polosan saja. Juga non-es…”
Saya lantas membatin, ‘senengane kok maksa-maksa’.
*
Siang itu tak banyak yang kami bicarakan. Kami condong bicara tentang kondisi kesehatan masing-masing. Juga sedikit menyinggung tentang kabar meninggalnya teman-teman se-angkatan: Sunardi yang tinggal di Probolinggo lebih kurang setahun lalu, disusul berpulangnya rekan Atim Hariono yang tinggal di Medokan, Surabaya, seputar 3 bulan lalu. Al Fatihah.
Satu-persatu meninggalkan dunia fana. Saya perkirakan separuh dari angkatan kami yang sudah dipanggil Sang Khaliq.
“Oya, Pak Amang, Pak In, silakan pilih menu untuk oleh-oleh dibawa pulang…” Mas Tris menawari.
Saya lihat Mas Indradjit tak ada reaksi. ‘Mosok sungkan’, saya membatin. Spontan saya berdiri, saya pegang bahu Mas In, lantas saya bilang: “Ayo tak kancani (milih menu)…!”
Kali ini saya melanggar komitmen diri bahwa jika kamu ditraktir jangan pilih menu yang mahal. Saya pilih (lagi): Seekor dorang goreng, dan kali ini tiga potong perkedel.
Saat Mas Tris berdiri sehabis membayar di kasir, sosok tinggi besar ini bertanya kepada saya yang sedang duduk di posisi kursi semula, “Tadi Pak Amang ke sini naik apa?”
Saya jawab: “Naik go car”.
“Oh…sedan merah tadi ya…”
“Ya…”
Tiba-tiba telapak tangan kiri saya yang ada di bawah meja terasa diselipi lembaran “sesuatu”.
Lantas terdengar suara lirih : ” Buat nggocar, Pak Amang…”.
Saya mendongak, menatap wajah Mas Tris, dan membalas dengan senyum.
Saya lantas membatin, Mas In pun saya yakini diselipi lembaran “sesuatu” itu.
He-he-he rezeki kakek soleh. Matur suwun, Gusti… (Amang Mawardi).
