Dasar Kapitalis !
KEMPALAN : Masih tentang pengalaman mengelola counter lukisan/”galeri-galerian” di TP I (Tunjungan Plaza I) sekitar awal tahun 2000-an.
Suatu hari saya dipanggil salah seorang personel manajemen TP I yang berkantor di salah satu lantai TP II yang letaknya berdampingan dengan TP I. Intinya minta tolong untuk dihadirkan seorang karikaturis dan seorang ilustrator guna memeriahkan pembukaan TP III yang letaknya berhimpitan dengan TP I dan TP II.
Pembukaan TP III yang khusus menjual produk-produk berkelas itu akan dilaksanakan dua hari lagi. Kepada pengunjung yang hadir akan dikarikatur dan diilustratrasi wajahnya, gratis.
“Tidak lama, tidak lebih dari dua jam suasana pembukaan itu. Paling-paling 3-4 orang yang digambar.Ya, biar tampak suasana seni,” kata personel manajemen yang bergelar insinyur tersebut. Untuk jasa itu masing-masing seniman di atas akan diberi honor/uang transport sebesar Rp 250.000.
Untuk saat itu uang segitu lumayan.
Bagi saya mencari teman karikaturis tidak sulit, tapi untuk ilustrator, wah…mikir saya… Siapa, ya?
Cekak aos, lima hari sebelum “Hari H”, saya menemui sahabat saya Iskandar Zubir —karikaturis harian Suara Indonesia.
Lantas, ilustratornya? Akhirnya saya mendapatkan nama Yuswanto seorang pelukis realis dan pemandangan yang baru saya kenal belum lama dan belakangan beberapa kali saya jumpai di counter lukisan saya di TP. Saya anggap pelukis ini pasti bisa ngilustrator lantaran sering melukis obyek realis. Maka, deal !
Sore hari pada acara pembukaan itu, mereka berdua sudah hadir di lokasi. Ternyata tidak itu saja, ada juga pekukis kaligrafi China yang terlibat kegiatan service kepada pengunjung alias pencitraan itu.Tapi yang antre banyak.Termasuk yang diantre yakni rekan Iskandar Zubir dan Yuswanto. Ya, mungkin karena gratis itu.
Karena suasana pembukaan begitu sibuk, saat acara berakhir saya tidak langsung minta honor untuk kedua sahabat saya itu kepada manajemen TP. Besok saja, pikir saya. Dan itu saya sampaikan kepada keduanya. Mereka memahami, dengan catatan saya minta datang sore hari besoknya, karena siangnya saya akan urus honor mereka di Pak Insinyur itu.
Saya kecewa, ternyata Pak Insinyur bilang bahwa honor akan diberikan dua minggu lagi. Rupanya sudah jadi tradisi di manajemen perusahaan tersebut. Waduh saya sudah kadung janji kepada Iskandar Zubir dan Yuswanto.Bingung saya …
Sementara cash flow counter hari itu tidak sampai Rp 500 ribu untuk membayar dua orang sahabat saya yang masing-masing Rp 250 ribu tersebut.
Untung segera bisa saya atasi, dengan saya “nabrak sana-sini”. Sore itu mereka berdua menerima haknya.
Dua minggu seperti yang dijanjikan, saya datangi kantor manajemen TP di TP II. Ternyata bukan uang kontan yang saya terima, tapi dua lembar cek mundur dua minggu atas nama Iskandar Zubair dan Yuswanto. Berarti kalau dihitung, teorinya pelunasan berlangsung sebulan.
Pantas pada saat saya menagih yang pertama Pak Insinyur minta foto kopi KTP dua orang seniman itu.
Saya dalam hati misuh-misuh disertai rentetan kata-kata “dasar kapitalis!”, berulang-ulang.
(Gak nyadar sebetulnya saya juga sudah seorang kapitalis dengan membuka counter lukisan. Ya, kapitalis gurem…he-he…).
Untuk Iskandar Zubir tidak ada masalah. Cek dari saya ditukarnya dengan uang kontan Rp 250 ribu.Tapi untuk Yuswanto?
Timbul jalan keluar. Saya akan upayakan tukar cek itu dengan lukisan karyanya, apapun objek dan ukurannya. Terserah Yuswanto. Dan ternyata Yuswanto menyambut antusias.
Anda tahu arti bahagia? Kata Dahlan Iskan dalam salah satu artikelnya yang disinggungnya soal tersebut bahwa bahagia itu jika seseorang menerima lebih dari yang diharap.
Sebuah lukisan pemandangan gunung, sawah, sungai, dan cikar berjalan di jalan desa — ukuran 70 X 100 cm — diserahkan kepada saya sebagai ganti cek Rp 250 ribu itu. Padahal saya bayangkan akan menerima lukisan lebih kecil seukuran, misalnya, 50 X 70 cm.
Bahagia, bukan?(He-he… Pak Dahlan ayak-ayak wae …).
Lukisan seukuran tersebut harganya saat itu sekitar Rp 500 ribu – Rp 750 ribu. Saya pun pulang dengan bersiul-siul.
Tak lama lukisan pemandangan tukar cek itu saya hiasi dengan bingkai yang karakternya cocok dengan objek lukisan tersebut. Bukan main indahnya! Harga pigura tersebut Rp 250.000.
Lantas saya mikir, lukisan ini kalau saya display di counter saya pantasnya diberi label harga berapa ya?
Saya awur saja, saya labeli Rp 5.000.000 (baca: lima juta rupiah, kawan !).
Langsung saya paku dan saya gantung di pilar tembok yang mepet counter saya. Saya nekad.
Padahal ada peraturan dari manajemen TP bahwa para tenant tidak boleh memaku dinding.
“Suwun yo mas, Lukisanku dipasang dengan harga pantas di galeri sampeyan,” tutur Yuswanto suatu hari saat bertemu di Balai Pemuda, disusul senyum ramahnya. Rupanya Yuswanto pernah mampir di counter saya saat saya tak ada di tempat. Padahal saya khawatir dia beranggapan, ” Wih…larange…bati piro lek payu…(mahalnya, untung berapa kalau laku…).
Suatu hari counter saya didatangi seorang laki-laki sekira 30 tahun berkostum kaos polo dan celana pendek kargo serta bersepatu sandal, disertai seorang anak perempuan seusia 7 tahun. Dia lihat-lihat lukisan, lantas tertarik dengan pemandangannya Yuswanto.
Saya sudah duga laki-laki mirip Broery ini berduit. Tampak dari lgesture dan cara bicaranya. Mungkin turis lokal dari Ambon. Atau boleh jadi anaknya pejabat setingkat sekwilda atau kepala dinas di Maluku sana.
“Pak, kalau boleh dua setengah juta ya. Saya beri DP 500 ribu, besok lukisan diantar ke rumah,” katanya seraya menunjuk lukisan pemandangan karya Yuswanto, kemudian memberi alamat yang tercatat kawasan Delta Sari Indah, Sidoarjo.
Saya tidak langsung menjawab. Padahal ini penawaran yang pantas. Tapi kalau langsung saya iyakan rasanya tidak taktis sama sekali.
Lantas saya bilang, “Ya nggak bisa, bang. Begini saja, coba akan saya hubungi pelukisnya. Sebab ini titipan. Saya dapat komisi kalau laku…”
Saya ambil HP di kantong. Lantas saya menjauh sedikit, terus membelakangi “Broery” tadi, pura-pura pencet nomor, disusul seolah-olah sedang ngomong dengan pelukisnya di seberang sana. Terus HP saya tutup. Lantas:”Ya, bang, lukisan diberikan. Rupanya pelukisnya butuh duit…”
Malam itu saya terima DP Rp 500.000. Besok lukisan saya antar ke alamatnya, terbayang sisa yang Rp 2 juta.Malam itu pun saya bersiul- siul
…
Selang sekian hari kemudian setelah pelunasan, saya datangi rumah Yuswanto di dekat kompleks perumahan Kodam V Brawijaya di kawasan Hayam Wuruk. Lantas Yuswanto saya beri “bonus” Rp 100 ribu. Eh, saya pikir-pikir … ternyata medit juga ya saya. Dasar kapitalis ! (Amang Mawardi).