Sebelum Kematian Memanggil
KEMPALAN : Innalillahi wa inna ilaihi raji’un … Yudo Herbeno salah satu penyair penting dari Surabaya, Jumat sore 6 September 2024, telah berpulang. Semoga dimuliakan Sang Khaliq.
Penyair dan penyiar adalah aktivitas yang begitu melekat pada sosok ini. Bagai dua sisi dalam satu koin. Sulit dipisahkan.
Akhir tahun 1960-an dan seputar 1970-an, Yudo Herbeno yang penyiar Radio Merdeka, dikenal juga sebagai penyair, deklamator, dan dramawan tangguh. Meski bukan dalam posisi pemain utama, Yudo bermain memikat dalam lakon ‘Anastasia’ sutradara Basoeki Rachmat.
Sebagaimana kalangan seniman banyak tahu, Radio Merdeka yang bermarkas di Jl. Ondomohen (sekarang Jl. Walikota Moestadjab) gudangnya seniman: dramawan, penyair, deklamator.
Di antara mereka adalah : Anang Hanani, Hari Matrais, Arthur John Horoni, Fajar Andah, Sudjak Amin, Maman, dan sejumlah sosok lainnya — termasuk Yudo Herbeno yang waktu itu mahasiswa Fakultas Hukum Unair.
Banyak dari penyiar Radio Merdeka yang saat itu berstatus mahasiswa. Mereka umumnya tergabung dalam GMS (Gerakan Mahasiswa Surabaya).
Saya mengenal Yudo Herbeno saat diselenggarakan Lomba Deklamasi SLTA/Mahasiswa yang diadakan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) pada tahun 1973.
Ganteng, tinggi, atletis, beralis tebal, bermata bening, simpatik, murah senyum — itulah gambaran sosok ini. Dan berpembawaan tenang.
Setelah penyelenggaraan lomba tersebut, peserta dikumpulkan di salah satu ruangan bekas gudang buku di kompleks Balai Pemuda oleh dua orang pengurus DKS yaitu dramawan Basoeki Rachmat dan pelukis Amang Rachman.
Pagi itu di tahun 1973, diadakan rapat pembentukan organisasi seniman muda yang nantinya bernama Bengkel Muda Surabaya (BMS). Kebetulan saya juga hadir, karena mantan peserta lomba deklamasi tadi.
Dan di hari itu Yudo Herbeno hadir dengan usulan-usulannya yang memikat. Selain Yudo Herbeno yang memukau pada saat “floor”, juga anak muda — mahasiswa Fakultas Ekonomi PTPN (sekarang UPN) yang bernama Bambang Sujiyono.
Nah, pada akhirnya kami sering ketemu di kompleks Balai Pemuda. Saya anggota klas drama BMS. Yudo Herbeno salah satu pengurus inti BMS.
Lantas, semakin akrabkah saya dengan sosok ini? Oh, tidak! Kalau berpapasan sekedar “hai” atau terucap bentuk “say hello” lainnya.
Kenapa bisa begitu? Ya mungkin salah satu bentuk keminderan saya. Kalau dirunut –barangkali– Yudo Herbeno mahasiswa Unair, sementara saya cuma pelajar STM yang tinggal di kawasan padat penduduk. Dan kalau datang latihan cuma jalan kaki, kendati dari rumah saya sekira 4 kilometer.
Kami menjadi makin kenal setelah saya sebagai koresponden Pos Kota di Surabaya, sedangkan Yudo Herbeno di TVRI Surabaya yang kariernya terus meningkat, pernah Kepsta TVRI : Kupang, Padang, dan Semarang.
Dan terakhir GM Personalia TVRI Pusat sebagaimana tulisan obituari Hariono Santoso mantan Dirut TVRI Pusat, di Facebook 6 September 2024.
Meski tidak masuk sahabat kental, kami makin akrab. Lebih-lebih setelah Yudo Herbeno yang dilahirkan pada 1948 ini menjadi Ketua Dewan Penasihat DKS dan saya sebagai salah satu anggota Dewan Penasihat itu saat Ketua DKS dijabat penyair dan mantan politikus Sabrot D. Malioboro.
Karya-karya kami juga pernah terhimpun dalam buku antologi puisi yang diisi aktivis BMS maupun para veterannya, yaitu yang berjudul ‘Doa Tangan Tangan’ terbit tahun 2009. Salah satu puisi karya Yudo di buku itu ditulis saat menjabat Kepsta Kupang.
Selain menulis puisi di Majalah ‘Aktuil’, juga di Majalah ‘Horison’ antara lain berjudul ‘Sebelum Kematian Memanggil’ yang terkenal itu, yang intinya semuanya tunggu giliran : Kau atau aku
Yang berangkat itu?!
Selengkapnya :
Yudo Herbeno
SEBELUM KEMATIAN MEMANGGIL
Malam purnama menebarkan bau sangit kelelawar
Menyingkap dada: “Di sini berlabuh damparan getah laut!”
Luka ini abadi berteman kebisingan bunga-bunga liar
Tuhan pun tahu bahwa sebentar lagi satu nama akan dihapusnya
Dan di awal dunia lain kegairahan mengundang kesunyian
Lalu di pembaringan laknat kerinduan berubah menjelma kebosanan
Langit kosong dari segala bentuk kecuali wajah kita
Merunduk dan merunduk tapi juga tanpa bentuk
Jadi siapa sedang di sini hanya ada kita berdua
Kau atau aku yang berangkat lebih dulu?
Bulan tergolek di ranjangku
Aku menangis semalaman
Memburu arti dalam keremangan
Sukmaku terisak!
Angin mendesir siul
Lewat gerbang laut
Mengejar angan-angan yang tumbang
Sukmaku terharu!
Ah, lucu juga
Sebelum kematian memanggil
Selagi bumi belum gelap dan mendekap
Bulan dicium kupu-kupu!
Kau atau aku
Yang berangkat itu?!
(Majalah Horison – Edisi Oktober 1973).
Amang Mawardi