Galeri Baru : Sage House – Gallery & Co-working Space

waktu baca 7 menit
Ir. Wardah Alkatiri, MA., Ph.D. bersama suami Mochammad Tafif Djoenaedi (*)

KEMPALAN: Lima hari lalu saya mendapat pesan WA dari Hamid Nabhan pelukis yang penyair. Inti pesan, setelah didahului salam pembuka : “Pak Amang, kira-kira berkenan gak membuka galeri baru di Jalan Prapanca nomor 56 Surabaya? Ini galeri punya sahabat saya.”

Lantas seniman yang belakangan rajin menulis artikel seputar dunia seni rupa ini, menyusuli dengan foto undangan berbahasa Inggris, kemudian disusul lagi dengan leaflet digital tentang deskripsi ‘Sage House – Gallery & Co-working Space’.

Di bagian kiri nama galeri tersebut terletak (semacam) simbol berbentuk “ornamen” segi enam khas Timur Tengah. Sedangkan di bagian kanan terpampang sebentuk gambar ranting kecil dengan beberapa helai daun. Estetik!

Setelah saya baca isi undangan dan leaflet digital itu, kesan saya : perfek sekali “abstraksi” galeri ini. Deskriptif tapi efektif. Sebuah galeri seni terpadu, berbasis lingkungan hidup.

Dan yang menarik lagi, galeri yang terletak di lahan 10 x 40 meter dengan memanfaatkan bangunan bergaya kolonial Belanda yang dimiliki oleh Wardah Alkatiri sekaligus pemilik dan pengelola galeri, acara openingnya jatuh pada tanggal cantik : 24.08.24.

“Oke, Mas Hamid. Saya akan hadir. Tapi boleh gak saya ngajak teman?”.

“Silakan, Pak Amang. Dengan senang hati,” jawab alumnus Fakultas Pertanian UPN Surabaya ini, yang lantas disusul memberikan informasi bahwa Bu Wardah Alkatiri next akan mengontak saya.

Dalam percakapan telepon dua hari sebelum pembukaan, Bu Wardah menginformasikan seluk-beluk galeri yang didirikannya, intinya mencoba menggabungkan antara seni dengan lingkungan hidup. Dan yang lebih bikin saya surprised, Bu Wardah ini adalah keponakan teman sekantor saya dulu di Harian Pos Kota perwakilan Jatim : Noval Zain. Dari beliau saya baru tahu kalau Pak Noval Zain ini “bermarga’ Bahalwan. Tiba-tiba airmata saya menggenang saat menyusun tulisan ini, mengingat kebaikan-kebaikan Pak Noval. (Al Fatihah). Lebih-lebih saat event besar pada tahun 1984, kami berdua oleh redaksi pusat ditugaskan untuk meliput Muktamar NU di Situbondo, selama lima hari. Di muktamar ini Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PB NU.

*

Pada akhirnya ada sesuatu yang mengusik lubuk hati, siapa sesungguhnya sosok ini, karena sebagaimana sebelum-sebelumnya, setiap ada sesuatu yang saya anggap “aneh” menjadikan saya untuk ingin tahu lebih lanjut.

Pada percakapan via telepon itu, selain saya menangkap keramahan-tamahan, juga menyembul intelektualitas yang terbungkus kesantunan. Kata-kata yang diucapkannya terukur dan pas, sehingga hal ini memudahkan “inti pesan” saya terima dengan mudah.

Pagi itu di Jalan Prapanca nomor 56, saat saya dan istri datang, sudah tampak beberapa kendaraan diparkir di halaman maupun di sekian meter sepanjang kiri dan kanan depan rumah-rumah di sekitaran Jalan Prapanca nomor tersebut.

Sedikit terkejut saya, di depan teras yang asri –agak menyamping, dekat keset — sudah “terparkir” puluhan sandal dan sepatu. Demikian juga di rak sepatu dekat keset tadi, telah bertengger puluhan alas kaki itu.

Saya membatin, ‘ Masak acaranya lesehan? Tapi kok ada beberapa meja dan kursi bernuansa artistik terlihat berada di teras?’

Saat selesai melepas kaos kaki, baru saya sadar bahwa barangkali inilah ‘ kredo’ seni & lingkungan hidup yang antara lain menekankan pada betapa pentingnya aspek kebersihan.

Ternyata memang tak ada karpet digelar di galeri yang dibagi menjadi beberapa ruangan itu — dimana benda-benda seni semacam lukisan, kerajinan bernuansa etnik, keramik, dan tas-tas maupun keranjang-keranjang cantik –yang jelas bukan dari kulit hewan, melainkan dari akar atau dedaunan yang sudah dikeringkan– tersusun dan terletak dengan komposisi yang indah, baik di dinding maupun di sejumlah meja besar dan kecil.

Dengan tidak adanya karpet digelar, berarti acara peresmian ini tidak dalam posisi lesehan.

Setelah diterima dengan ramah oleh Bu Wardah Alkatiri, saya dan istri duduk di kursi dengan meja kecil artistik, di ruang terdepan. Sisa udara luar yang panas yang masih menempel di wajah dan tubuh saya, pelan-pelan berada di titik normal terkena hembusan kipas angin dan AC.

Bu Wardah setelah itu ganti menyambut tamu-tamunya dengan ramah.

Di antara tamu-tamunya terlihat Achmad Pramudito wartawan yang penyair, para pelukis yaitu Syamdhuro Marsiyam, Lies Aliet Rahayu, Ali Murtado; juga sejumlah wartawan muda serta handai taulan dari Wardah Alkatiti, termasuk Pak Mochamad Tafif Djoenaedi suami Bu Wardah, dan Mbak Syukriya adik dari Bu Warkah — biasa dipanggil dengan Mbak Tutuk. Saat itu Mbak Tutuk bertindak sebagai pembawa acara.

Galeri yang bersih dengan dominan warna hijau dan kuning muda ini, suasana dan aromanya mengingatkan saya saat tiga minggu berada di Perth, Australia — meski lukisan, kerajinan, pot-pot keramik, karya kaligrafi, yang ada di situ mengesankan “antitesa” — mencitrakan Timur Tengah. Mungkin dari cara penataan ruangan itulah nuansa Ausie mencuat.

Di sebuah ruangan mendekati halaman belakang yang terkonek dengan dua ruangan sebelum teras, terdapat ruang kosong relatif bebas dari banyak pajangan benda-benda seni. Di situ ada belasan kursi hadap ke selatan yang sandaran tangan bagian kanan dibentuk mirip meja kecil, maka saya menduga inilah ruang yang dimaksud pada leaflet digital : ruang diskusi, pelatihan, atau semacam ruang seminar.

*

“Keanehan”, atau “keunikan” yang saya singgung di atas menjadikan saya mencoba menggali lebih jauh tentang sosok Ir. Wardah Alkatiri, MA. Ph.D. dan obsesi-obsesinya, baik berdasarkan percakapan per telepon, wawancara saat peresmian, maupun dari bahan-bahan yang diperoleh sobat Hamid Nabhan.

S1-nya dari Fakultas Teknik Kimia ITS (seangkatan dengan Prof. M. Nuh), S2 dari Lincoln University, Selandia Baru, dan S3 dari University of Canterbury, Selandia Baru.

Tentang S2-nya, mengambil studi ‘Lingkungan Hidup dalam ilmu Sosial’ ( Social Sciences in Environmental Studies — semacam Studi Pembangunan).

Dengan latar belakang itu, Wardah Alkatiri sering disebut sebagai human ecologist.

Mengapa dipilih nama ‘Sage’, karena punya dua arti yang merefleksikan spirit tempat ini.

‘Sage’ adalah nama daun yang punya banyak khasiat. ‘Sage’ juga berarti : arif dan bijaksana.

Wardah Alkatiri yang berhoroskop Taurus (20 Mei) ini, punya hobi: senantiasa mencoba dekat dengan alam (berkebun, tracking), traveling melihat tempat-tempat baru; juga membaca, bersih-bersih dan menata rumah.

Lantas apa tujuan mendirikan galeri ini?

Sederhana saja, yaitu memanfaatkan rumah menjadi tempat kegiatan positif, sejalan dengan minat, “Dengan demikian, kami mengerjakannya dengan ikhlas.”

Dikatakan lebih lanjut bahwa
‘Sage House’ ini konsepnya semacam ‘sanggar’ : sanggar seni dan sanggar pengetahuan.

Untuk rencana ke depan, “Kami berharap rumah ini bisa bermanfaat sebagai tempat kursus, workshop, seminar kecil, sharing pengetahuan, diskusi, belajar bersama, dan ya… semacam-semacam itulah,” kata wanita energik yang dosen di Unusa (Universitas NU Surabaya) ini.

Ditambahkannya, secara bertahap akan dicari pengajar untuk merealisasi program rutin : kursus melukis, membuat pottery, melukis kaligrafi, kursus mengukir, membuat sabun untuk terapi, dan semacam-semacam itu.

“Soal lingkungan hidup, saya sendiri secara akademis sering sebagai narasumber di banyak tempat,” tambahnya.

Dibarengi sedikit senyum, untuk sumber income disamping menjual lukisan-lukisan kecil dan kerajinan yang bisa jadi gifts, ‘Sage House’ dilengkapi dengan mini café yang menyediakan es krim dan snack.

“Kami memang bukan seniman secara profesional, kami penikmat seni, pengapresiasi seni.
Yang jelas, kami “orang alam”, pencinta alam, penyayang tumbuhan, suka tanaman — kami sekeluarga juga pencinta hewan. Bahkan putri ke-2 kami seorang dokter hewan. Saya sendiri sebagai human ecologist, dimana sudah lama menjadi penggerak pertanian organik — organic movement pertanian ramah lingkungan — di samping kami penganjur kesehatan holistik.”

Dalam _organic movement kami membuat ‘bisnis sosiopreneur Amani Organic di Jakarta — sejak tahun 2000, sebagaimana dituturkan Wardah Alkatiri.

“Dan satu lagi, kami sekeluarga penggemar humaniora – termasuk filsafat dan seni. Bahkan berkaitan dengan filsafat, S2 saya yang lain mengambil kajian Filsafat Islam di Islamic College for Advanced Studies, Jakarta.

Jadi tema seni yang ingin kami usung atau promosikan di ‘Sage House’ adalah irisan dari minat-minat itu semua: irisan science dan art adalah botanical art, seni yang menampilkan keindahan dunia tumbuhan; irisan Filsafat Islam dan Seni adalah Islamic Art: kaligrafi, arabesque, pottery dan yang lain.

Semoga nanti kami bisa dapatkan banyak materi, sehingga akan lebih banyak yang dapat dipamerkan di sini. Termasuk buku-buku koleksi kami.

Amang Mawardi, jurnalis senior dan penulis, tinggal di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *