Penggiat Literasi Itu Naik Haji

waktu baca 4 menit
Keterangan foto: Mushadi, Kris Maryono, Ibu Kris Maryono, Ibu Karyanto, Karyanto, saya. (*)

KEMPALAN: Sosok ini sudah saya kenal lama, awal mula pengenalan kurang lebih 40 tahun lalu. Sebelum menjadi jurnalis di RRI Stasiun Surabaya, (antara lain) pernah menjadi ‘sales’ dan pemasok alat peraga untuk sejumlah sekolah Taman Kanak-kanak di Surabaya. (Mungkin ada aktivitas selain itu yang saya tidak tahu).

Saya rasa soal di atas sebagai hal yang wajar dari sebuah proses kehidupan, sebelum akhirnya menemukan pijakan kuat sesuai bakat dan kemampuan yang akhirnya bisa menunjang ekonominya (dan kelak secara finansial sebagai kepala keluarga).

Ketika bertemu di lapangan untuk aktivitas liputan jurnalistik, sesekali kami ngobrol sebentar, atau paling tidak ber-‘say hello’.

Hubungan kami termasuk kategori “medioker” : akrab sekali tidak, jauh pun juga enggak. Biasa-biasa.

Sosoknya: Kalem, tapi bukan pendiam. Santai, tapi bukan seenaknya.

Mungkin karena profesinya sebagai jurnalis, mempertemukan dengan basis banyak kalangan dan profesi. Dari banyak “dimensi” itu —
Kris Maryono , sosok yang saya maksud dalam tulisan ini– lebih sering bersinggungan dengan seniman. Ia dikenal luas di lingkungan pelukis.

Belakangan, sekitar 10 tahun terakhir, Kris Maryono akrab juga dengan para guru, terutama yang menyangkut aktivitas literasi yang pada akhirnya membuatnya menjadi pelopor bagi tulisan-tulisan mereka untuk dibukukan, khususnya di Kabupaten Sidoarjo.

Rupanya aktivitas saya sebagai penulis dan Toto Sonata jurnalis yang penyair, dipantaunya.

Suatu hari saat Covid 19 berjalan setahun, saya mendapat pesan WA dari Kris Maryono untuk bertemu. Katanya, ada sesuatu yang akan dibahas berkaitan dengan dunia literasi. Maka kami sepakat untuk ketemu di tengah, tepatnya di Citos dekat Bunderan Waru.

Sudah bisa saya bayangkan saat itu, betapa mol sepi terkena dampak pandemi.

Nyatanya ya memang sepi, banyak stan yang tutup, mendekati sepinya suasana kuburan. Untung masih ada tempat makan yang buka, di antaranya restoran siap saji. Kami pun ditraktirnya. Inti pertemuan siang itu: Yaopo lek (bagaimana kalau) menerbitkan buku antologi puisi khusus wartawan usia emas (50 tahun ke atas).

Maka, saya dan Pak Toto menyebut sejumlah nama untuk bergabung di rencana penerbitan antologi ini. Dia pun begitu.

Untuk meyakinkan nama-nama yang “direkrut”, Kris Maryono tidak sekadar kontak via telepon, tetapi juga mendatangi satu per satu rumah mereka dimana sebagian banyak tinggal di Surabaya.

Padahal, rumahnya di Sidoarjo. Padahal usianya sudah tidak muda lagi — saat itu 63 tahun. Kris sehari-hari menggunakan sepeda motor dari rumahnya di kawasan Candi. Sesekali naik kereta api turun di Stasiun Wonokromo atau Stasiun Gubeng, kemudian dengan angkot menuju titik-titik kegiatannya di Surabaya.

Setelah upaya Kris Maryono dibantu sejumlah teman, dalam kurun waktu dua tahun, sudah terbit lima judul buku antologi puisi Warumas (Wartawan Usia Emas) yang di-‘launching’ di berbagai tempat, di antaranya dua kali di Balai Wartawan Surabaya.

Mereka yang tergabung dalam Warumas, yaitu: Pramuditto, Aming Aminoedhin , Imung Mulyanto , Sasetya Wilutama, Yulie Iksanti, Shanty Nicholas, Karyanto , Leres Budi Santoso, Adam A Chevny, Rokimdakas, Arieyoko , Toto Sonata, Amang Mawardi, Kris Maryono, Rohan, dan Widodo Basuki..(Semoga tidak ada yang lupa saya sebut). Dan akan menyusul nama-nama lain dalam rangkaian penerbitan buku antologi Warumas ke-6 — InsyaAllah bulan Oktober nanti.

Maaf, sosok yang (kayaknya) terlihat ‘klewas-klewes’ sebagai Ketua Warumas ini, realitasnya memiliki energi kesabaran dan keuletan luar biasa. Bagaimana dia ‘mobat-mabit’ kesana kemari untuk mencari dana bagi: Penerbitan buku-buku itu, cetak kaos (setiap terbit buku baru disertai nyetak kaos bergambar desain kover depan), menyediakan uang transpor bagi peserta antologi saat ‘launching’, dan mencari tempat untuk ‘launching’. Tentu saja dia dibantu banyak teman anggota komunitas Warumas. Namun, tetap saja beban paling besar ada di pundaknya.

Saat saya, Pak Karyanto, dan Pak Mushadi, Kamis 18 Juli lalu ke rumahnya yang adem dan bersih di kawasan Candi, yang berjarak sekitar 29 kilometer (terlihat di google map) dari titik kumpul di rumah saya kawasan Rungkut, semakin terasa betapa uletnya sosok tinggi langsing ini. Padahal jarak rumah saya ke titik kota di Surabaya sekitar 15 kilometer. Padahal aktivitas Kris Maryono yang baru pulang dari Ibadah Haji bersama nyonya dua hari sebelum kami tiba di rumahnya, ada di sekian titik di Kota Surabaya, lebih-lebih setelah pensiun dari RRI.

Terlihat kulit Pak Haji Kris Maryono makin legam. “Suhu di Tanah Suci bisa mencapai 50 derajat celsius,” ujarnya kalem, terlihat begitu sehat — disertai menunjuk berbagai hidangan yang terhampar di karpet untuk kami cicipi.

“Nasi rawonnya enak ‘tenan’, Pak Kar,” bisik saya ke Pak Karyanto. Siang itu, kami juga disuguhi masakan Jawa Timur tersebut.

Mabrur… Mabrur Pak Haji dan Bu Hajjah…

Amang Mawardi, penulis, tinggal di Surabaya,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *