Jangan Kuatir Tak Makan Enak Jika Tak Jadi Wartawan

waktu baca 5 menit
Almarhum Darmadji (tengah) diapit wartawan & penyair Toto Sonata (kiri) dan Amang Mawardi.

Kata orang, pergaulan wartawan tak kenal level, dari tukang becak (maaf) sampai presiden. Itu kalau di Jakarta. Kalau di Surabaya, level yang naik ke atas mentok di gubernur.

Kalau kita elaborasi, presiden atau gubernur mewakili lingkup atas, dan bisa jadi termasuk: pengusaha sukses, artis terkenal, pengacara top, politikus moncer, dan masih banyak lagi.

Sementara pada level bawah sebangsa “tukang becak” itu, menjadi pelengkap penderita yang acapkali menjadi bahan berita strait news, kadang-kadang reportase, feature yang menarik, kriminalitas kelas coro: pencopetan, penipuan di terminal; pelacuran; penertiban lapak kaki-lima; penggusuran kampung-kampung kumuh serta bahan menarik lainnya yang sekiranya bisa diolah dan akan menjadi berita menarik yang mungkin “nir-gugatan”.

Dalam konteks “pergaulan” dengan kalangan atas, maka muaranya selain apa yang sekiranya bisa dijadikan berita, apalagi kalau bukan: makan-makan. Atau makan-makan plus angpao!

Pada suatu kesempatan di Balai Wartawan – PWI Jawa Timur Jalan Taman Apsari nomor 17 Surabaya, di mana saya sudah lupa dalam momen acara apa, ditutup dengan makan-makan.

Saat babakan makan-makan itu, suasana mempertemukan saya dengan Darmadji wakil pemimpin redaksi Harian Memorandum yang sebelumnya adalah koresponden Harian Berita Yudha di Surabaya.

Saat memegang piring masing-masing berisi menu makanan dimana saat itu kami berdiri di dekat pintu samping (timur) yang tembus ke parkiran, tahu-tahu saya melemparkan pendapat konyol yang baru saya sadari di kemudian waktu: “Kalau tidak jadi wartawan, mungkin kita tidak sering makan enak seperti saat iniā€¦”

Sesudah saya ngomong begitu, terjadi perubahan pada wajah Mas Darmadji yang usianya enam tahun di atas saya. Raut mukanya berubah agak kecut mendekati sinis. (O iya perlu saya jelaskan, dua kali saya bergabung dengan team beliau saat nggarap proyek penulisan buku, antara lain bersama mantan wartawati Memorandum Noer Soetantini).

“Eh.. Anda jangan ngomong begitu ya. Belum tentu kalau kita tak jadi wartawan tak bisa makan enak. Siapa tahu malah lebih sering makan yang enak-enak!”

Saya mengarungi karier wartawan lebih kurang 40 tahun (1976-2017). Selama kurun waktu tersebut, ada dua kali saya mengalami jobless yaitu pada tahun 1988-1990 dan 1994-1998.

Di sela-sela sebagai wartawan, saya punya kesibukan lain yaitu membantu Log Zhelebour promotor musik rock menjadi (semacam) humas.

Jika Log mementaskan artis-artisnya di Surabaya atau kota-kota lain dekat-dekat Surabaya dan tidak mengharuskan saya mesti nginap, saya ikut ngawal. Karena pekerjaan saya sulit untuk ditinggalkan jika saya harus nginap.

Sejak saya resign dari Mingguan Surya pada tahun 1988 yang menjadikan saya orang bebas, maka saya menjadi lebih aktif membantu Log Zhelebour Enterprises. Di luar itu, saya sesekali menulis di majalah Liberty dan Surabaya Post. Ada juga aktivitas lain, yaitu mengelola agen & sub-agen koran dan majalah, toko alat-alat tulis serta agen titipan kilat. Saya dibantu oleh tiga orang karyawan, salah satunya adalah keponakan.

Maka dari itu, saat Log menggelar Tour Raksasa tahun 1989-1990 yang membawa God Bless (Achmad Albar, Jockie Surjoprajogo, Donny Fattah, Eet Sjahranie, Teddy Sujaya), Elapamas (Totok Tewel, Didik Sucahyo, Edi Daromi, Baruna, Rush Tato), Mel Shandy, Power Metal (Ipung, Arul Efansyah, Didieth Sakhsana/Roy Oracle, Raymond Ariasz, Mugix) — di Jawa dan Sumatra, saya terlibat penuh.

Selain honor yang diberikan manajemen sehabis para artis dan kru pentas, mereka juga diberikan uang makan yang diserahkan –kalau tidak salah– seminggu sebelum pentas. Waktu itu kalau saya tidak salah ingat, untuk setiap personel God Bless Rp 40.000 per hari. Elpamas dan Mel Shandy Rp 30.000, serta Power Metal Rp 20.000 per hari. Uang makan saya sebagai humas selevel dengan Power Metal. Termasuk Rokimdakas wartawan Surabaya Post yang ikut road show Jawa dan Sumatra ini.

Waktu itu sepiring nasi di warteg dengan lauk standar (sebutir telor atau sepotong ikan goreng) masih Rp 1.500 – Rp 2.000.

Tentu saja untuk personel God Bless, Elpamas atau Mel Shandy, dengan uang makan sebesar itu mereka tinggal angkat telepon dari kamar untuk ngontak restoran di hotel yang diinapi.

Log yang saat tur itu mendapat sponsor dari perusahaan rokok di Kediri, menginapkan artis-artisnya dan kru di setiap kota di hotel yang paling tinggi level bintangnya.

Dan rata-rata setiap seminggu sekali Log mengadakan gathering di hotel para artis dan kru itu menginap dengan makan-makan menu komplit.

Di sinilah sanggahan Darmadji terhadap saya terbukti.

Saat ini saja, dalam menjalani masa “pensiun” dimana waktu yang ada saya isi sebagai kontributor, penulis, dan editor freelance — ada saja para sahabat yang ngajak kumpul-kumpul di tempat-tempat dimana harga makanannya lumayan mahal (menurut ukuran saya). Selebihnya makan di rumah atau njajan di warteg pilihan yang makanannya jos dan terjangkau isi dompet.

Bagi lansia seperti saya, perkara enak itu titik simpulnya terletak pada seberapa besar makanan tersebut bisa memancing selera dan cukup berdamai dengan hipertensi saya. Kalau ada yang nyebut Warung Mejoyo, Depot Bu Mus, Pecel Bu Kus, Warung Waru Doyong, Rawon Kalkulator, atau Bakso Gondrong: budaall !

Karena bagi saya, soal makan, adalah keniscayaan: bisa di warteg, atau di restoran Elmi sebagaimana rekan Henky Kurniadi sering nraktir teman-teman. Atau sobat Wahyu Istianto beberapa kali ngajak saya, Pak Toto Sonata, Mas Darmantoko untuk santap siang di sejumlah rumah makan. Atau sesekali diajak anak-anak saya makan di luar.

Amang Mawardi, jurnalis senior dan penulis, tinggal di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *