Peringatan Hari Ibu, PDIP Surabaya Komitmen Tingkatkan Kebijakan Pro-Perempuan
SURABAYA -KEMPALAN: PDI Perjuangan Kota Surabaya menjadikan peringatan Hari Ibu pada 22 Desember sebagai momentum untuk memperkuat komitmen dalam mewujudkan politik ramah perempuan melalui berbagai kebijakan pro-perempuan di Kota Pahlawan.
“Selamat Hari Ibu. Kami di PDI Perjuangan Surabaya berkomitmen dan telah terbukti terus bekerja membumikan politik ramah perempuan, di antaranya dengan kebijakan pro perempuan yang kita wujudkan di berbagai sektor di mana kader partai ditugaskan, mulai di tingkat struktur, eksekutif, maupun legislatif,” ujar Ketua DPC PDI Perjuangan Surabaya Adi Sutarwijono.
“Kami juga menugaskan seluruh kader untuk selalu bergerak cepat mengadvokasi kasus-kasus kekerasan kepada perempuan dan anak. Termasuk kita gaungkan pencegahan kekerasan seksual di segala lini,” imbuh Adi.
Sejumlah politisi perempuan PDIP Surabaya juga menegaskan komitmen perjuangan dalam mendorong program pro perempuan.
Wakil Ketua DPC PDIP Surabaya, Dyah Katarina, mengatakan, saat ini kaum perempuan mulai mendapat pengakuan di ruang-ruang publik. Semakin banyak ditemui kiprah perempuan dalam pengambilan kebijakan publik di lingkungan pemerintah maupun berbagai aktivitas sosial-ekonomi lainnya.
“Kami akan terus bergerak memastikan semua kebijakan publik khususnya di Pemkot Surbaaya tidak bias jender, tidak mendiskriminasi kaum perempuan,” ujar Dyah.
Dyah mengajak kaum perempuan Surabaya untuk semakin berkiprah di ruang publik dengan penuh percaya diri. “Kaum perempuan harus semakin banyak mengisi ruang-ruang publik. Kaum perempuan tidak boleh lagi disterotip hanya bisa mengurus masalah domestik, tetapi juga telah terbukti mampu berkiprah di ruang publik,” tegas Dyah.
Wakil Ketua DPC PDIP Surabaya Khusnul Khotimah menambahkan, selama ini telah banyak kebijakan Pemkot Surabaya yang berpihak kepada kaum perempuan.
“Mulai dari berbagai program pemberdayaan UMKM, perhatian pada kesehatan ibu hamil, hingga beragam intervensi serta fasilitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Seperti beasiswa, bantuan modal, dan sebagainya menjadi bagian dari langkah Pemkot Surabaya dalam mencegah feminisasi kemiskinan. Itu kami apresiasi, dan sekaligus menjadi bukti komitmen Wali Kota Eri Cahyadi dan Wawali Armuji yang semuanya adalah kader PDI Perjuangan,” ujar Khusnul yang juga ketua Komisi D DPRD Surabaya.
Wakil Ketua DPC PDIP Surabaya Siti Maryam memaparkan, kaum perempuan di Surabaya saat ini telah terbukti mampu berprestasi. Ada banyak perempuan Kota Pahlawan yang menjadi teladan bagi lingkungan sekitarnya dengan peran yang melampaui hanya soal urusan domestik.
“Kita mengenal Ibu Megawati Soekarnoputri, Ibu Puan Maharani, dan Ibu Tri Rismaharini sebagai contoh pemimpin perempuan yang begitu tangguh dan terbukti berhasil pada tugas pengabdiannya masing-masing. Banyak pula kaum perempuan di Surabaya yang menjadi pengusaha dengan ribuan tenaga kerja, menjadi dosen dan guru yang mampu mendidik generasi muda, dan sebagainya,” papar Siti Maryam.
Sementara itu, politisi perempuan yang juga Wakil Ketua PDIP Surabaya Agatha Retnosari mengatakan, di kampung-kampung, kaum perempuan sukses menjadi penyangga gerak ekonomi masyarakat.
“Saya mengenal banyak sekali kaum perempuan menjadi penyelamat ekonomi keluarga dan masyarakat dengan berbagai kiprah kewirausahaannya di masa pandemi ini. Ada yang membuka warung, mengembangkan UMKM, dan sebagainya. Kami akan terus mengawal dengan program pengembangan kewirausahaan kaum perempuan, womanpreneur, sebagai pilar pemulihan ekonomi Surabaya,” ujar Agatha.
Agatha membeberkan, peringatan Hari Ibu dilandasi kesadaran sejarah tentang peran perempuan di ranah publik di era pergolakan menuju kemerdekaan. Kongres Perempuan Indonesia yang digelar 22-25 Desember 1928 menjadi tonggak peringatan Hari Ibu.
“Pada setiap lintasan sejarah perjalanan bangsa ini, kaum perempuan selalu mengambil peran signifikan. Di masa lalu, para aktivis dan pejuang perempuan dari Jawa hingga Sumatera berkumpul menjalankan kongres, membangun kesadaran nasionalisme untuk kemerdekaan bangsa,” ujarnya.
Presiden Sukarno kemudian melalui melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan bahwa 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga saat ini.
“Maka jelas bahwa sejarah kaum perempuan, kaum ibu, di negeri ini adalah sejarah tentang kiprahnya di ruang publik. Jangan sampai kemudian ini dipukul mundur dengan menempatkan perempuan hanya di ranah domestik,” tegasnya. (*)
Editor: Freddy Mutiara