Bertemu Ketua DPD RI, Pelra Berharap Fasilitas Docking Khusus Kapal Rakyat di Jatim
SURABAYA – KEMPALAN: Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat Indonesia (DPD Pelra) Jawa Timur dan Bali, berharap pemerintah membangun fasilitas docking khusus untuk kapal rakyat di Jatim.
Pasalnya fasilitas tersebut sangat minim. Selain itu, tingginya daftar tunggu kapal docking di sejumlah perusahaan perkapalan menjadi alasan Pelra.
Harapan ini diungkapkan Wakil Ketua DPD Pelra Jatim dan Bali, Anwar Sadat, bersama Sekretaris DPD Pelra Jatim dan Bali Abdul Majid Massiara serta Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim dan Perikanan Jatim Oki Lukito, saat bertemu dengan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, saat masa reses di Surabaya, Jumat (17/12/2021).
Abdul Majid mengungkapkan, saat ini jumlah kapal rakyat di Jatim sangat banyak, mencapai sekitar 2.500 unit kapal. Setiap tahun kapal tersebut diharuskan untuk melakukan docking atau perbaikan.
Selain untuk memastikan keselamatan kapal, kewajiban docking juga untuk mendapatkan ijin layar dari Syahbandar. Namun jumlah perusahaan docking yang bisa dimanfaatkan hanya 3 unit perusahaan saja, yaitu di PT Adiluhung, PT PMS dan PT Tomas.
“Akibatnya, daftar tunggu docking menjadi sangat lama, mencapai 3 bulan dengan jumlah ratusan kapal yang ingin melakukan perbaikan. Selain itu, harga akhirnya sangat mahal. Untuk kapal berbobot 250 GT misalnya, mencapai Rp 150 juta per unit dan untuk kapal dengan bobot 450 GT menjapai Rp 300 juta per unit,” kata Abdul Majid.
Ia mengaku sebenarnya Pelra Jatim sudah beberapa kali mengirim surat ke Gubernur Jawa Timur untuk membangun fasilitas tersebut di lahan milik pemerintah di Pelabuhan Brondong di daerah Sedayu Lawas. Tetapi hingga saat ini belum ada jawaban.
Padahal sudah ada Peraturan Presiden nomor 74/2021 yang menjelaskan tentang pemberdayaan angkutan laut pelayaran rakyat dan Pergub 128/2016 tentang blueprint pembangunan kelautan Jatim. Selain itu juga ada Pergub 131/2016 tentang rencana aksi pembangunan kelautan Jatim.
“Sudah sejak 4 tahun lalu kita berkirim surat ke Gubernur Jatim tetapi masih belum ada jawaban. Padahal dalam rencana aksi Pergub 131/2016 dijelaskan bahwa perintisan pembangunan repairing dock untuk armada Pelra dilaksanakan di tahun 2017-2019 dengan rencana anggaran dari APBD, APBN dan CSR,” tandasnya.
Pelra berharap, dengan adanya fasilitas docking khusus kapal rakyat yang nantinya dikelola Pelra akan bisa mempercepat kapal rakyat melakukan perbaikan dengan harga lebih murah.
“Kalau kita sendiri yang mengelola, biaya akan lebih murah. Sebab mahalnya biaya perbaikan di perusahaan docking itu karena disamakan dengan kapal besi dan masuk kategori komersial,” katanya.
Pada kesempatan tersebut, Oki Lukito juga mengadu tentang nasib nelayan di Jatim. Nelayan, ujarnya, hanya memiliki waktu efektif sekitar 180 hari dalam setiap tahun untuk melaut. Saat musim angin, mereka harus mencari pekerjaan lain, bahkan ada yg harus pergi ke Jakarta menjadi buruh bangunan atau buruh serabutan.
“Pemerintah harus hadir pada saat masa paceklik ikan. 5 bulan ini waktu yang lama sementara kebutuhan tiap hari. Nah, yang kita usulkan adalah alternatif pekerjaan seperti budidaya ikan di laut, kerang, rumput laut, bandeng laut atau kakap putih. Pemerintah harusnya membantu nelayan ini membuat keramba apung yang bisa digunakan untuk budidaya ikan laut agar mereka ada pekerjaan dan tidak harus meninggalkan desa,” ungkap Oki.
Di Jatim, ada sekitar 400 ribu nelayan yang tersebar di 22 kabupaten kota. Dengan tingkat kesejahteraan masih di bawah rata-rata. Ia menjelaskan, rata-rata nelayan tidak memiliki kapal dan kapal ukuran 30 GT rata-rata 22 ABK.
“Saat pembagian hasil, sebesar sepertiga hasil tangkapan diberikan kepada pemilik kapal, sepertiga untuk nahkoda dan juru mesin dan sisanya untuk nelayan. Sehingga setiap satu orang nelayan hanya mendapatkan Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu setiap melaut. Padahal mereka butuh waktu minimal dua hari,” katanya.
Di sisi lain, Pemprov Jatim melakukan pembangunan pelabuhan ikan besar di beberapa lokasi dengan investasi besar juga.
Pembangunan pelabuhan ikan Mayangan Probolinggo misalnya, investasi yang dikeluarkan mulai tahun 2002 hingga saat ini sudah mencapai Rp 500 miliar. Padahal di sana jumlah kapal nelayannya hanya sekitar 300 kapal.
“Dan itu tidak hanya di Mayangan, tetapi juga di pelabuhan lain seperti di Pelabuhan Ikan Paiton. Itu juga dibangun mewah. Harusnya yang lebih diutamakan adalah kesejahteraan nelayan dengan memberikan program yang jelas. Nelayan tidak butuh pelabuhan mewah, yang mereka butuhkan adalah pelabuhan ikan dengan fasilitas lelangnya karena bisa meningkatkan harga jual ikan hasil tangkap. Tetapi dari beberapa pelabuhan yang dibangun mewah tersebut, hanya pelabuhan Sendang Biru yang ada proses lelangnya ,” tandasnya.
Menanggapi keluhan tersebut, LaNyalla mengatakan akan berupaya membantu untuk menyuarakannya. DPD RI, ujarnya, konsisten dalam membantu masyarakat nelayan untuk mendapatkan fasilitas yang bisa membantu meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Kami berusaha membantu, termasuk DPD yang saat ini mendorong pengesahan RUU Daerah Kepulauan yang sudah masuk Prolegnas. Ini akan membantu masyarakat pesisir,” tegas LaNyalla.
Terkait pembangunan fasilitas docking kapal rakyat, ia berjanji akan meneruskan ke Gubernur Jawa Timur agar segera direalisasikan.
“Karena sangat mendesak dan sudah ada Pergub dan Perpresnya,” pungkasnya. (*)
Editor: Freddy Mutiara