LaNyalla Sebut 4 Tahap Amandemen Konstitusi Ubah Sistem Demokrasi dan Ekonomi Indonesia
JAKARTA –KEMPALAN: Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan sistem demokrasi dan ekonomi Indonesia telah berubah akibat amandemen konstitusi empat tahap yang dilakukan pada periode 1999 hingga 2002.
Menurutnya, amandemen itu membuat Demokrasi Indonesia telah berubah dari Demokrasi Pancasila menjadi Demokrasi Liberal dan sistem Ekonomi Pancasila berubah menjadi sistem Ekonomi Kapitalis.
Hal itu disampaikan LaNyalla ketika mengisi Keynote Speech Focus Group Discussion di Universitas Muhammadiyah Jakarta bertema Amandemen UUD 1945 dan Rekonstruksi Sistem Politik Indonesia, Selasa (7/12/2021).
“Sejak Amandemen Konstitusi 1 sampai 4, wajah konstitusi dan produk undang-undang negara Indonesia berubah total. Hal itu menyebabkan tujuan lahirnya negara ini untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia semakin jauh dari harapan,” kata LaNyalla.
Menurutnya, isi Amandemen Konstitusi di tahun 1999 hingga 2002 silam telah mengubah banyak pasal, yang nyaris tidak nyambung lagi dengan nilai-nilai dan butir-butir Pancasila sebagai ideologi bangsa.
“Sejak Amandemen tersebut, kita seolah melepaskan diri dari DNA asli Bangsa ini. Karena suara atau pendapat hanya dihitung sebagai angka melalui voting di Parlemen. Bukan lagi ditimbang pikirannya. Kita seolah tidak punya lagi ruang untuk musyawarah. Karena hanya akan berakhir dengan perdebatan dan deadlock serta walkout akibat tirani mayoritas,” tegas LaNyalla.
Begitu pula haluan ekonomi nasional, lanjutnya, telah bergeser dari ekonomi kekeluargaan dan gotong royong dengan soko guru Koperasi, menjadi ekonomi pasar bebas yang didominasi swasta nasional dan asing. Dimana sahamnya bisa dimiliki siapapun dan dimanapun melalui lantai bursa saham.
“Sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, perlahan tapi pasti kita serahkan kepada mekanisme pasar. Dan impor menjadi jalan keluar termurah, dengan dalih efisiensi,” ucapnya lagi.
Melihat kondisi tersebut, LaNyalla mengajak publik untuk lebih sadar. Bahwa Indonesia adalah negara yang besar. Jangan biarkan negara ini tercabik-cabik hanya karena ambisi kekuasaan untuk menumpuk kekayaan, dan menguasai sebesar-besarnya kekayaan alam negeri ini.
Sementara rakyat yang masih bergelimang dengan kemiskinan hanya dibutuhkan suaranya dalam Pileg dan Pilpres.
“Sejatinya, Indonesia kaya raya, selama tidak ada segelintir orang yang secara brutal dan berlebihan serta rakus menumpuk kekayaan dan menguras sumber daya alam Indonesia,” lanjutnya.
Oleh karena itu, DPD RI menurut LaNyalla berpendapat, bahwa wacana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 yang tengah bergulir harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas sistem tata negara sekaligus arah perjalanan bangsa.
“Negara ini lahir atas perjuangan pergerakan kemerdekaan. Atas kerjasama kaum pergerakan yang terdiri dari kelompok cendekiawan, ulama dan tokoh agama, militer dan para pemangku adat, baik raja maupun sultan Nusantara yang kemudian diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Para pendiri bangsa bersidang di BPUPKI maupun PPKI lantas merumuskan Konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli. Dimana kedaulatan rakyat diberikan melalui pemilu untuk memilih wakil-wakilnya dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat,” ucapnya.
Di dalam MPR terdapat tiga komponen, yakni anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Mereka mendapat mandat rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris untuk menjalankan roda pemerintahan. Sehingga baik anggota DPR, maupun utusan daerah dan utusan golongan, dapat mengajukan atau mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.
“Tetapi pada tahun 1999 hingga 2002, terjadi Amandemen Konstitusi. MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi negara. Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapus. Digantikan Dewan Perwakilan Daerah. Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Mandat rakyat diberikan kepada dua ruang politik, Parlemen dan Presiden,” tegasnya.
Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan perubahan dan penyempurnaan wujud dari utusan daerah dan utusan golongan, kehilangan hak dasar sebagai pemegang daulat rakyat yang didapat melalui Pemilu.
“Inilah yang saya sebut dengan kecelakaan hukum yang harus dibenahi. Perlu penguatan peran dan posisi DPD RI untuk mengembalikan atau memulihkan hak. Sebab, DPD RI adalah wakil dari daerah. Wakil dari golongan dan entitas civil society yang non-partisan yang saat ini tidak bisa terlibat dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa,” tukasnya.
Entitas civil society non-partisan yang sumbangsihnya besar terhadap lahirnya bangsa dan negara ini, terpinggirkan dan direduksi dengan adanya aturan Presidential Threshold yang dibuat oleh partai politik.
“Padahal sudah jelas Presidential Threshold lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Presidential Threshold menjadi pangkal persoalan bangsa ini,” ucapnya.
Menurut LaNyalla, pengaturan Presidential Threshold jelas tidak Derifatif dari Konstitusi kita. Kedua terbukti tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, bahkan justru membelah rakyat dengan tajam. Dan ketiga, ternyata tidak memperkuat sistem presidensil seperti didalilkan. Justru sebaliknya memperlemah mekanisme check and balances.
“Makanya kita harus berani Bangkit. Harus berani melakukan koreksi atas sistem demokrasi dan ekonomi negara ini. Tentu DPD RI akan mendapatkan dorongan energi, bila seluruh elemen masyarakat Indonesia menjadikan Agenda Amandemen Konstitusi sebagai Momentum yang sama,” katanya.
LaNyalla hadir di Universitas Muhammadiyah didampingi Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifuddin dan Sekretaris Jenderal DPD RI Rahman Hadi.
Sedangkan narasumber yang hadir adalah Prof Azyumardi Azra, Prof Siti Zuhro, Prof Aidul Fitriciada dan Rektor UMJ Dr Ma’mun Murod Al-Barbasy. (*)
Editor: Freddy Mutiara