Prabowo, The Quadrillion Man

waktu baca 7 menit

KEMPALAN: Bagi yang sudah cukup umur, pasti tahu serial film The Six Million Dollar Man yang diputar di TVRI pada pertengahan 1970-an. Film yang dibintangi oleh Lee Major itu menceritakan seorang pria bernama Steve Austin yang mengalami kecelakaan pesawat udara tragis dan terluka parah sampai sekarat. Nyawanya diselamatkan melalui operasi teknologi kedokteran dan sains yang canggih sehingga nyawanya bisa diintegrasikan ke dalam tubuh bionik dan menjadikan Austin sebagai manusia setengah robot.

Biaya operasi dan peralatan teknologi supercanggih yang mahal menjadikan Steve Austin sebagai manusia termahal di dunia karena menghabiskan USD 6 juta untuk menciptakan manusia bionik yang bernyawa. Hampir seluruh tubuhnya terbuat dari peralatan robotik, tapi otaknya masih tetap manusia. Steve Austin pun mendapat julukan sebagai Manusia Enam Juta Dolar.

Austin menjadi mesin pembunuh yang canggih dan menjadi pemberantas kejahatan yang mangkus dan sangkil, efektif-efisien. Ia bisa melakukan penginderaan jarak jauh untuk mendeteksi bahaya dan mengetahui posisi lawan. Ia punya kecepatan lari melebihi mobil sport sekelas Lamborghini, dan punya tenaga sekuat tank.

Film serial ini dijadikan movie layar lebar pada 2016 dibintangi oleh Mark Wahlberg. Judulnya tetap tidak berubah. Angka enam juta dolar pasti membuat orang terperangah pada 1970-an, karena pasti tidak banyak orang yang bisa membayangkan jumlah sebesar itu. Bahkan sekarang pun angka itu masih membuat orang berteriak wow karena nilainya yang fantastis untuk menciptakan seorang manusia menjadi mesin pembunuh dan pemberantas kejahatan.

Wow yang sama juga diucapkan banyak orang Indonesia ketika mendengar angka Rp 1,7 kuadriliun yang diajukan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Angka wow yang fantastis itu diajukan oleh Prabowo untuk proyek persenjataan TNI sampai 25 tahun kedepan.

Sama dengan enam juta dolar, orang pun bingung berapa satu kuadriliun itu. Orang Surabaya punya cara khas untuk mengekspresikan jumlah yang sangat banyak, yaitu dengan menyebut “akehe sak ndayak”. Atau malah ada yang menambahi “sak (kotoran) ndayak”.

Entah, asal usul etimologinya bagaimana sehingga “ndayak” diasosiasikan dengan sesuatu yang masif dan jumlahnya sangat banyak. “Ndayak” diambil dari kata “Dayak”, suku Dayak di Kalimantan yang jumlahnya sekitar 3 juta jiwa. Jumlah ini tidak sampai 1,5 persen dari total populasi bangsa Indonesia.

Prabowo The Quadrllion Man

Uniknya lagi kata “ndayak” ditambahi dengan “kotoran” untuk menggambarkan jumlah yang lebih besar lagi. Belum ada penelitian antropologis yang kredibel untuk membuktikan bahwa kotoran Dayak jumlahnya sangat banyak, atau berceceran dimana-mana dalam jumlah banyak. Tentu hal ini bisa menjadi stereotipe yang bisa bersifat pejoratif atau merendahkan.

Sekarang ini banyak orang ribut soal jumlah kuadriliun. Banyak yang tidak tahu berapa nol yang ada pada kuadriliun. Yang jelas, kuadriliun adalah jumlah yang sangat banyak. Dan kalau ditanyakan kepada orang Surabaya akan dijawab “sak (kotoran) ndayak”.

Karena itu angka yang diajukan Prabowo itu cukup disebut sebagai ‘’sak ndayak’’ karena saking banyaknya. Jumlah “sak ndayak” itu akan dipakai untuk membeli senjata dan memperkuat sistem alutsista, alat utama sistem pertahanan.

Ceritanya, Kementerian Pertahanan yang dipimpin Prabowo Subianto sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Pertahanan dan TNI 2020-2024. Dalam dokumen tersebut tertera kebutuhan untuk pengadaan alat pertahanan dan keamanan mencapai Rp 1.788.228.482.251.470 atau Rp1,7 kuadriliun.

Penyebutan angka besar nominal kuadriliun yang relatif asing di telinga itu membuat terperangah. Orang pun mencoba-coba mencari hitungan untuk mendapat gambaran seberapa besar jumlah itu.
Dalam sistem hitungan internasional ada perbedaan antara sistem Amerika dan sistem yang berlaku di Inggris. Kuadriliun atau dalam Bahasa Inggris quadrillion, adalah nominal yang setara dengan satu diikuti dengan 15 angka nol. Jadi, di Amerika, satu kuadriliun sama dengan seribu triliun.

Di Inggris, kuadriliun adalah nominal yang setara dengan satu diikuti dengan 24 angka nol. Dengan demikian, satu kuadriliun di Inggris setara dengan satu septiliun di Amerika. Sistem numerasi Amerika untuk angka di atas juta mengambil dasar sistem Prancis. Namun, pada 1948, sistem Prancis diubah agar sesuai dengan sistem numerasi Jerman dan Inggris. Kuadriliun berakar dari kata quadri dan ‘’illion’’ yang juga dipakai dalam kata ‘million’ atau juta.

Rencana Kemenhan itu rencananya akan dibelanjakan untuk tahun anggran 2020-2024. Dalam rancangan perpres itu tertulis angka yang dibutuhkan untuk membeli alutsista adalah USD 124.995.000. Jika dikonversikan menjadi rupiah muncul angka setara Rp 1,7 kuadriliun.

TNI memamerkan alutsista canggih

Anggaran sebesar Rp 1,7 kuadriliun ini meliputi akuisisi Alpalhankam (alat peralatan pertahanan dan keamanan) sebesar USD 79.099.625.314, pembayaran bunga tetap selama 5 Renstra sebesar USD 13.390.000.000, dan dana kontingensi serta pemeliharaan dan perawatan Alpalhankam sebesar USD 32.505.274.686.

Di tengah kondisi yang serba prihatin sekarang ini jumlah ‘’sak ndayak’’ itu tentu menjadi perhatian banyak orang. Jumlah itu terlihat fantastis karena merupakan akumulasi program 25 tahun ke depan sampai 2044.

Yang menjadi pertanyaan utama adalah dari mana mendapatkan dana sebesar itu. Kalau anggaran itu dibiayai melalui utang luar negeri, bisa dibayangkan bengkaknya utang Indonesia yang sekarang sudah menumpuk sampai Rp 10 ribu triliun.
Kontroversi ini menjadi dilematis karena Indonesia baru saja mengalami tragedi tenggelamnya kapal selam Nanggala 402. Tragedi itu kemudian membeber kelemahan sistem pertahanan Indonesia, karena kapal selam itu sudah berusia lebih dari 30 tahun melebihi masa operasionalnya yang normal. Selain itu sistem perawatan kapal selam itu juga tidak optimal.

Muncul desakan agar pemerintah serius dalam memperbaiki sistem pertahanan negara. Prabowo kemudian bergerak dengan membuat proposal yang memunculkan angka ‘’sak ndayak’’ itu.

Tapi bersamaan dengan itu muncul isu mengenai beroperasinya mafia pembelian senjata di TNI. Ada nama yang dimunculkan oleh pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie yang diidentifikasi sebagai Mr M. Disebutkan juga bagaimana seluk-beluk permafiaan dalam pengadaan senjata di TNI.

Munculnya mafia bisnis berinisial M dalam sistem pertahanan nasional itu dianggap justru makin memperburuk persoalan terkait pengadaan alat utama sistem pertahanan. Sayangnya Connie tak menerangkan lebih detail mengenai siapa sosok Mr. M itu.

Kemenhan pun meminta Connie membuka identitas mafia itu. Jurubicara Kemenhan Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan bahwa seharusnya Connie membuka saja nama mafia itu, karena Prabowo pasti akan berterima kasih kalau nama itu diungkap dan dilaporkan ke KPK atau ke polisi.

Connie tidak sekadar mengungkap sosok mafia Mr. M, tapi dia juga menceritakan sisi gelap perdagangan senjata di lingkungan TNI yang disebutnya sebagai industri pertahanan bayangan. Seorang jenderal di lingkungan Kemenhan, oleh Connie, disebut sebagai operator industri pertahanan bayangan itu. Dahnil Anzar menantang Connie untuk membuka kepada publik siapa jenderal penguasa industri pertahanan bayangan itu.

Jokowi Sang Panglima Tertinggi TNI

Permainan deal dalam pengadaan alutsista antara mafia dan angkatan TNI ini pernah diungkap juga sebelumnya oleh mantan KSAD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo. Dalam buku berjudul “Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan” (2014), ia menceritakan praktik haram yang sudah berlangsung lama di tubuh TNI, yaitu mengadakan alutsista dengan melibatkan deal-deal dengan pihak ketiga atau agen.

Edhie menjelaskan bahwa saat itu TNI AD akan membeli alat bidik (teropong) untuk senapan serbu SS-2. Pembelian teropong itu direncanakan dari luar negeri karena Pindad belum memproduksinya. Si agen waktu itu menawarkan harga Rp 30 juta per unitnya. Menurut Edhie, harga ini terlalu mahal karena bahkan lebih mahal dari senapannya.

Ia lalu mencari tahu harga sebenarnya. Ternyata harga satu unitnya hanya Rp 19 juta. Adapun setelah dicek harga dari pabriknya di Amerika Serikat hanya Rp 9 juta. Ia sempat ingin membeli langsung teropong dari pabriknya tetapi pihak pabrik menolak.

Itu adalah contoh kecil bagaimana mafia pengadaan senjata bermain di Departemen Pertahanan. Praktik yang lebih besar dan melibatkan jaringan yang luas dan tersembunyi diperkirakan masih tetap beroperasi selama ini.

Melaporkan permainan mafia tingkat tinggi ini ke KPK bisa menjadi solusi. Tetapi, KPK dalam masa-masa puncaknya ketika itu pun tidak bisa menyentuh anggaran persenjataan. Apalagi KPK sekarang yang sudah makin kurang efektif karena berbagai penggerogotan yang menyebabkan pelemahan lembaga anti-rasuah itu.

Anggaran ‘’sak ndayak’’ yang diajukan Prabowo itu akan tetap menjadi misteri yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Dan kecurigaan masyarakat akan terjadinya penyelewengan dalam penggunaan anggaran sebesar itu adalah sesuatu yang wajar. Bahkan ada pula yang menganggap angka itu sebagai sejenis political bribery, suap politik.

Mungkin agak maksa, tapi cerita kehidupan politik Prabowo ini mirip dengan kisah fiktif Steve Austin. Nyawa politik Prabowo nyaris habis karena crash politik pada pilpres 2019. Jokowi kemudian menyelamatkan nyawa Prabowo dengan mengangkatnya menjadi menteri pertahanan.

Dan, sekarang Jokowi sedang menyiapkan anggaran ‘’sak ndayak’’ untuk menjadikan Prabowo sebagai ‘’The Quadrillion Man’’. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *