Larangan Ikut Retreat, Check Sound” Mega Vs Prabowo

waktu baca 4 menit
Pelantikan kepala daerah seluruh Indonesia (*)

“Di tengah arus perubahan zaman, politik yang stagnan dan mengagungkan kultus individu akan menyeret negeri ini ke dalam keterpurukan.”


Politik sejatinya adalah seni mengelola perbedaan dalam harmoni, merajut kepentingan bersama demi kesejahteraan rakyat, menyusun strategi untuk meraih cita-cita secara beradab. Namun jika kekuasaan berubah menjadi panggung ego dan kesewenang- wenangan, demokrasi akan cedera.

Sejarah negeri ini telah berkali-kali mencatat bagaimana keangkuhan politik menjauhkan pemimpin dari amanah rakyat. Kini ironi itu kembali hadir dalam bentuk keputusan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri yang melarang kepala daerah dari partainya mengikuti program retreat nasional di Akademi Militer Magelang yang diampu Presiden Prabowo Subianto.

Retreat ini bukan sekadar pertemuan seremonial namun upaya kolektif untuk menyamakan persepsi dan membangun keselarasan dalam membangun negeri. Dalam forum ini kepala daerah diharapkan dapat berkoordinasi secara efektif demi kepentingan nasional, bukan sekadar kepentingan sempit partai. Tetapi Mega dengan sikap otoriternya memilih untuk menciptakan sekat-sekat kepartaian yang justru berbahaya bagi kepentingan rakyat. Pelarangan pada kader banteng mengikuti pembekalan bisz diartikan sebagai “check sound” Mega melawan Presiden Prabowo.

Pelaksanaan retreat bersandar pada Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memerintahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan pelatihan kepada para kepala daerah yang baru terpilih. Selain itu, UU Pemerintahan Daerah memerintahkan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) untuk memberikan diklat kepada para kepala daerah terpilih.6676

AROGANSI KEKUASAAN

Kepemimpinan adalah panggilan untuk merajut kebersamaan bukan ajang mempertontonkan arogansi. Retreat bagi kepala daerah bukan sekadar seremonial, tetapi upaya menyelaraskan visi dan langkah dalam membangun negeri. Namun, larangan yang dikeluarkan Megawati justru menjadi simbol politik partisan yang mengedepankan loyalitas buta di atas kepentingan bangsa. Ini bukan sekadar intervensi tetapi sebuah bentuk sabotase terhadap komitmen kolektif dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif dan inklusif.

Rakyat telah memberikan kepercayaan kepada pemimpin daerah untuk bekerja demi kesejahteraan mereka. Namun bagaimana amanah itu bisa dilaksanakan jika para kepala daerah dihalangi untuk berpartisipasi dalam forum strategis yang bertujuan meningkatkan koordinasi dan sinergi antar pemimpin? Apa yang diputuskan Mega tak ubahnya rantai yang mengikat kebebasan berpikir dan bertindak demi kepentingan bangsa. Ini bukan sekadar tindakan politik melainkan pengkhianatan terhadap demokrasi.

Arogansi kekuasaan semacam ini mengingatkan kita pada kisah-kisah kelam sejarah, di mana pemimpin merasa diri sebagai pemilik tunggal kebenaran, menutup telinga terhadap aspirasi dan menganggap partai sebagai warisan pribadi. Kekuasaan yang didasari pada pemujaan terhadap figur bukan ide dan gagasan hanya akan membawa politik ke dalam kegelapan.

Jangan sampai bangsa ini kembali ke zaman feodal, di mana kekuasaan diwariskan seperti harta pusaka, dan loyalitas kepada individu lebih penting daripada kepentingan rakyat. Demokrasi bukanlah panggung sandiwara satu orang, melainkan ruang bagi dialog dan kebijaksanaan kolektif. Jika elite politik terus mempertontonkan sikap jumawa dan menutup pintu diskusi, maka bukan tak mungkin kepercayaan rakyat terhadap sistem politik semakin luntur.

RAKYAT HANYA KEDOK

Bangsa ini dibangun di atas fondasi semangat gotong royong, bukan diktum perintah satu orang. Kita perlu mengingat kembali ajaran Bung Karno bahwa politik adalah alat perjuangan untuk rakyat bukan alat mempertahankan dominasi kelompok tertentu. Jika keputusan yang diambil justru merugikan rakyat dan menghambat pembangunan maka sudah saatnya kita bertanya, siapa sebenarnya yang mereka layani? Kekuasaan yang tak berpihak pada rakyat hanyalah kedok bagi kepentingan pribadi dan oligarki politik.

Di tengah arus perubahan zaman, politik yang stagnan dan mengagungkan kultus individu akan menyeret negeri ini ke dalam keterpurukan. Pemimpin sejati tidak takut pada dialog, tidak alergi terhadap kritik dan tidak menutup pintu bagi kebersamaan. Mereka yang merasa besar dengan menindas kebebasan berpikir sejatinya adalah pemimpin kerdil yang hanya hidup dalam ilusi kejayaan masa lalu.

Sejarah akan mencatat dan rakyat akan menilai. Jangan biarkan arogansi segelintir elite mencederai harapan bangsa ini. Indonesia tidak butuh politik yang memperbudak tetapi kepemimpinan yang mengayomi. Demokrasi bukanlah warisan yang bisa dipermainkan sesuka hati melainkan amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Jika keangkuhan terus berkuasa, kita hanya akan menjadi bangsa yang terperangkap dalam penyesalan.

Oleh:
Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Surabaya 22 Februari 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *