Mulyono, The Endgame
KEMPALAN: Dulu orang menyebutnya sebagai Pak Lurah, dan sebutan ini melekat cukup lama. Sampai sekarang pun sebutan itu masih melekat. Beberapa waktu belakangan ini muncul sebutan baru, si tukang kayu. Sebutan ini muncul karena Partai Golkar yang identik dengan pohon beringin berhasil dipotong-potong menjadi perangkat meubeler.
Bersamaan dengan itu muncul sebutan Raja Jawa yang diungkapkan oleh Bahlil Lahadalia, ketua umum baru Golkar yang juga menteri ESDM. Sebutan ini sudah beredar cukup lama di lingkungan terbatas, terutama lingkungan akademik, kemudian menjadi viral setelah Bahlil menyebutnya dalam sambutannya sebagai ketua umum Partai Golkar.
Terbaru muncul sebutan Mulyono yang dipopulerkan oleh para netizen. Sebutan ini sedang viral dan populer terutama di kalangan netizen dan aktivis demonstran mahasiswa. Beberapa politisi juga menyebut nama itu dalam beberapa pernyataannya. Kabarnya, Mulyono ini adalah nama bawaan lahir sebelum diganti oleh orangtuanya.
Anda semua mafhum, sebutan-sebutan itu diberikan kepada Jokowi bersamaan dengan munculnya momentum politik yang berbeda-beda. Sebutan Pak Lurah kali pertama muncul saat mencuatnya kasus korupsi yang melibatkan kader PDIP Juliari Batubara yang menjabat sebagai menteri sosial pada 2020.
Kasus korupsi dana bantuan sosial korban Covid 19 ini tidak hanya menyeret Juliari Batubara, tetapi juga beberapa nama yang disebut berhubungan dengan Jokowi. Di antara nama yang disebut ialah Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, yang sekarang menjadi wakil presiden terpilih. Ketika itu santer disebutkan bahwa ‘’anak pak lurah’’ menerima aliran dana korupsi bansos. Tagar ‘’Tangkap Anak Pak Lurah’’ ramai di medsos saat itu.
Korupsi bansos juga mengalir sampai jauh, dan memunculkan ‘’mistery guess’’ yang lain. Nama yang disebut ialah ‘’Madame Bansos’’ yang diduga ikut menikmati uang haram korupsi bansos. Beda dengan Pak Lurah yang dihubungkan kepada sosok Jokowi, sosok madame bansos tidak pernah disebutkan secara jelas. Spekulasi yang berkembang menghubungkan sosok madame ini dengan Puan Maharani. Ada juga yang menghubungkannya dengan Megawati Soekarnoputri. Tidak pernah ada klarifikasi resmi mengenai spekulasi ini.
Sebutan Tukang Kayu dipopulerkan oleh Majalah Tempo yang membuat laporan utama dengan cover depan pohon beringin yang sudah dipermak oleh si tukang kayu. Laporan utama ini mengungkap operasi politik oleh Jokowi untuk menumbangkan Airlangga Hartarto dari kursi ketua umum Golkar, dan meng-install Bahlil Lahadalia sebagai penggantinya.
Beda dengan sebutan Pak Lurah yang menunjukkan hirarki kekuasaan tertinggi di level desa, sebutan tukang kayu bersifat pejoratif yang merendahkan. Tukang kayu adalah profesi kelas bawah yang dianggap kurang bergengsi. Sebutan ini merujuk pada pekerjaan Jokowi sebagai pengusaha meubel sebelum terjun ke dunia politik.
Sebutan tukang kayu berbau labelling atau penjulukan. Teori labelling secara sederhana adalah pemberian label atau cap pada diri seseorang. Pemberian label tersebut ditujukan pada seseorang atau kelompok berdasarkan perilaku yang mereka lakukan. Label yang diberikan kepada seseorang dapat berupa label yang negatif atau positif. Keduanya dapat memberikan dampak pada diri seseorang yang mendapatkan label tersebut.
Belum ada riset ilmiah antara latar belakang Jokowi sebagai pengusaha meubel dan korelasinya terhadap gaya politik Jokowi. Apa yang muncul di media hanya bersikap asosiatif dan bahkan spekulatif. Gaya politik Jokowi disebut-sebut mirip tukang kayu yang bisa mengubah pohon besar menjadi perabot rumah tangga sesuai dengan keinginannya.
Sebutan Raja Jawa terkesan lebih serius. Kalau sebutan pak lurah dan tukang kayu lebih bersifat guyonan, kali ini sebutan Raja Jawa punya implikasi yang lebih politis. Gaya kepemimpinan Jokowi disebut mirip dengan kepemimpinan Raja Jawa, yang memperoleh kekuasaan bukan dari mandat rakyat, melainkan dari mandat langit dalam bentuk wahyu kedaton.
Sebutan Raja Jawa membawa implikasi bahwa sang raja memerintah tidak berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, karena sistem yang dianutnya adalah sistem monarki. Salah satu karakter monarki adalah kekuasaan yang berlangsung secara turun-temurun kepada anak cucu yang menjadi bagian dari dinasti.
Seorang raja diasosiasikan kepada kekuasaan yang mutlak dan tidak terbatas. Ia tidak memerintah berdasarkan pada konstitusi yang bersandar pada kontrak sosial. Seorang raja memerintah berdasarkan kemauannya sendiri yang diwujudkan dalam bentuk titah, sabda pandita ratu, apa yang diucapkan menjadi hukum dan undang-undang.
Sebutan Raja Jawa kepada Jokowi ini memantik reaksi luas. Bahlil Lahadalia yang tidak punya latar belakang etnis Jawa dianggap tidak paham terhadap istilah itu. Kendati demikian, banyak juga yang mengamini bahwa selama menjadi presiden dua periode Jokowi sengaja mengasosiasikan dirinya sebagai Raja Jawa.
Kekuasan ala Raja Jawa oleh Jokowi nyaris sempurna pada detik-detik terakhir menjelang berakhirnya periode kepresidenan kedua. Sang Raja Jawa disebut-sebut sebagai mastermind di balik skenario besar yang membuat partai-partai politik tunduk terhadap titahnya. Proyek terakhir yang ingin diselesaikan oleh Sang Raja adalah pemilihan kepala daerah serentak di seluruh Indonesia.
Proyek ini akan menjadi legasi terakhir Sang Raja. Skenario yang kabarnya dikehendaki Sang Raja adalah semua partai politik disatukan dalam koalisi besar yang disebut sebagai KIM-Plus, Koalisi Indonesia Maju plus parpol bekas lawan politik di pilpres 2024.
Setelah sukses membuat plotting dalam pilpres 2024, Raja Jawa membuat plot baru untuk menguasai kepemimpinan daerah di seluruh Indonesia. Plot ini sudah tersusun rapi, tetapi terjadi ‘’bocor alus’’ dengan lahirnya keputusan judicial review Mahkamah Konstitusi nomor 60 dan 70/2024. Keputusan ini memunculkan ‘’plot twist’’ yang melenceng dari skenario Sang Raja.
Skenario untuk menaikkan anak ragil Kaesang Pangarep bubar. Upaya melakukan eksklusi terhadap PDIP dan Anies Baswedan sebagai musuh rezim hampir berantakan. Plot twist ini memunculkan kemarahan publik. Muncullah nama Mulyono yang dengan cepat menjadi sasaran kemarahan dan hampir menjadi public enemy number one. Mulyono dimusuhi oleh mahasiswa dan netizen karena dianggap sebagai biang kerok keruntuhan demokrasi di Indonesia.
Skenario Mulyono terbongkar. Pencitraanya sebagai presiden rakyat yang lugu dan sederhana kolaps . Gaya hidup hedon anak dan menantunya membuat citra kekuarga sederhana yang selama ini terbangun menjadi hangus seketika. Politik dinasti Mulyono berada pada ujung tanduk, terancam runtuh seperti rumah domino.
Mulyono tinggal menghitung hari sampai 20 Oktober saat kekuasaannya berakhir. Masa-masa terakhir ini akan menentukan nasib Mulyono. Akankah dia bisa sukses dengan skenario besarnya? Atau ia akan menemui endgame dan harus berhadapan dengan kemarahan rakyat?
Kita tunggu episode terakhir Mulyono, The Endgame
Penulis; Dhimam Abror Djuraid
