Pisau Konsistensi Sawung Jabo dan Kabar Duka itu
KEMPALAN: Kamis siang 16 November lalu –dua hari setelah Sawung Jabo & Sirkus Barock pentas di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur– saya baca di WAG panitia pentas tersebut: Nanti malam teman-teman ditunggu Cak Jabo di rumah Cak Sakran (salah satu sahabat Jabo).
Yang nulis pesan Cak Sjamsul Umur ketua panitia.
Sesaat kemudian saya membatin, gimana juntrungannya nama R. Imam Sutjahjo kok bisa jadi nama (panggilan): Sakran. Suatu saat akan saya tanyakan.
Dijemput sobat saya Meimura sutradara teater dan penggiat ludruk, kami tidak terlalu sulit untuk mencari alamat Cak Sakran yang grapyak itu di kawasan Tenggilis Mejoyo, Surabaya. Apalagi dengan Mei menggunakan sepeda motor.
Di teras rumah yang asri, sudah duduk tokoh pers Jatim yang mantan Wakil Walikota Surabaya Arif Afandi, Henky Kurniadi ketua Seduluran Semanggi Suroboyo penyelenggara acara pentas Jabo dkk, musisi balada drh. Bambang Jon, pelukis Asri Nugroho, penyanyi Djatu Parmawati mantan personel Geronimo II, Utiek S. penyanyi jazz, Peni Citrani Puspaning networker seni budaya, Vanessa Helen Martinus aktivis kesenian, musisi Arul Lamandau, dan sekira 15 orang lainnya.
Di meja panjang terhidang aneka menu, dan…wow di sebuah piring besar nampak (potongan-potongan) martabak telur kesukaan saya.
Sekitar 20 menit kemudian berhenti mobil putih berplat-nomor S persis depan kediaman tuan rumah.
Satu-dua orang teman mendekat ke mobil itu. Lantas terbuka pintu tengah mobil. Sesosok lelaki berkaos merah berambut perak sebahu, turun dari pintu mobil belakang yang lantas berjalan cepat-gagah menuju teras bagian kiri dengan tubuh bagian atas bergoyang ke kiri dan kanan. Ya, itu dia Sawung Jabo yang –maaf– menyandang parkinson.
Lantas disusul wanita berkulit putih: Mbak Sue Piper –istri Jabo– berjalan dengan anggun mengikuti langkah suaminya.
Setelah itu saya lihat Jabo duduk di kursi dekat Arif Afandi dan berhadapan dengan Henky Kurniadi yang sebelumnya didahului Jabo menyalami undangan yang hadir di rumah tersebut, satu per satu.
Mbak Sue Piper saya lihat ada di ruangan agak dalam, berbaur dengan Mbak Utiek, Mbak Helen, dan istri Mas Arif Tapir serta istri Cak Sakran.
Tiba-tiba telinga kanan saya berbunyi ‘tit tit tit’ berulang-ulang. Saya pun dengan cepat menepi, mencari tempat yang aman. Bunyi itu menandakan baterai abd (alat bantu dengar) yang saya kenakan habis.
Lantas alat itu segera saya copot, saya simpan di tabungnya.
Tak ada yang perlu saya sesalkan dengan saya lupa membawa baterai cadangan. Toh saya masih bisa melihat kendati tak bisa mendengar dengan sempurna. Yang penting yang harus saya ingat, next jangan lupa lagi bawa baterai cadangan jika keluar rumah.
Apa risiko saya saat itu? Saya tidak bisa ikut nimbrung dalam pembicaraan gayeng para tokoh: Jabo, Arif Afandi, Henky, dan beberapa teman lain yang datang dan pergi silih berganti dalam dialog-dialog “multi-lateral” itu.
Percuma kalau saya ikut nimbrung. Paling-paling saya (akan) ikut tertawa kalau orang-orang itu tertawa. Padahal tidak paham apa yang mereka tertawakan.
Sesekali saya lihat Jabo beranjak dari kursi yang didudukinya, lantas membagikan dirinya, bergabung dengan kerumunan lain, asyik ngobrol sana sini.
Sekitar pukul sembilan lebih, saya siap-siap untuk pulang. Tapi, tas cangklong saya lupa saya taruh dimana. Saya pun lantas longak longok ke arah bawah beberapa kursi. Satu-dua teman juga ikut membantu mencari tas saya.
Tiba-tiba: “Lha ini tasnya Mas Amang…” kata Mbak Djatu dengan suara lembutnya seraya menunjuk di sisi kiri kaki kursi.
Lega. “Tas pusaka” saya ketemu.
Sesaat setelah adegan foto bareng-bareng, saya lihat Henky berdiri dekat pintu pagar. Matanya menatap saya. Kami lantas saling mendekat. Henky membuka percakapan.
“Yaopo (gimana) Jabo?”
“Maksudnya?”
“Pementasannya kemarin… ” Wajah Henky agak mendekat ke telinga kiri saya.
Dua-tiga detik kemudian saya diam. Lantas: “Jabo dahsyat! “.
Kemudian saya berbicara panjang. Henky mendengar dengan seksama:
Kedahsyatan Jabo karena “pisau konsistensinya”.
Jabo konsisten dalam: berlatih, bereksperimen, membangun pertemanan, menjaga militansi dan masih banyak lagi elemen “pisau konsistensi” yang terus dijaga, dirawat dan dilakukan Jabo. Sehingga ketajamannya menjadi sangat luar biasa.
Pada postingan saya di fesbuk berjudul “Sawung Jabo” seminggu lalu, wartawan senior Pudji Leksono yang waktu itu ditugaskan Jawa Pos menempati pos Banyuwangi, melakukan wawancara dengan Jabo. Kejadian itu sekitar 30 tahun lalu, Jabo tengah melakukan studi eksplorasi dengan menggali musik tradisional Banyuwangi. Dari situ terindikasi betapa seriusnya Jabo mengelaborasi jiwa musiknya.
Malam itu jiwa saya bergetar menyaksikan Jabo dalam posisi duduk dengan tubuh senantiasa bergerak ke kiri dan ke kanan, memainkan gitar akustiknya, mengkristal dalam repertoar menakjubkan. Sesekali tubuh ringkih Jabo berdiri seraya memainkan alat musik itu.
Musik Jabo tidak hanya petikan maut gitaris Toto Tewel, atau gesekan-gesekan menyayat dari violin yang dimainkan Ucok, atau permainan perkusi yang dilakukan Denny dan lain-lain. Namun, gabungan nuansa pentatonik dan diatonik yang menghasilkan musik khas Sirkus Barock. Apalagi jika mengamati syair-syair Sirkus Barock (saya lebih suka menggunakan kosa-kata ‘syair’ dibanding ‘lirik’) dalam transformasi “literasi” Jabo : protes sosial, suara hati nurani, dan kontemplasi cermin jiwa.
Jabo adalah troubador dengan daya jelajah luar biasa. Mobilitasnya menembus tidak saja lintas lokal dan regional, namun juga lintas negeri. Jangan-jangan juga ruang dan waktu?
Dia berasal dari Surabaya kota dagang dan industri, lantas hijrah ke Jogja yang menyimpan ledakan-ledakan magma budaya — kuliah di AMI (Akademi Musik Indonesia) dan nyantrik di padepokan Bengkel Teater Rendra.
Terus melesat ke Jakarta, bergaul dan berkreasi bersama Godbless, Swami, Kantata Takwa.
Kemudian bermukim di Sydney — bolak-balik Australia-Indonesia — menjadikan Jabo “sihir” yang menyedot pelaku dan penikmat seni untuk hadir di Gedung Cak Durasim.
Malam itu saya melihat dan jumpa dengan:
Rocker Sylvia Sarce, penyanyi Ayu Weda, penyair Rusdi Zaki, pelukis Hamid Nabhan, budayawan Fahmi Faqih.
Pengelola Rumah Budaya Kalimasada Blitar Bagus Putuparto & Endang Kalimasada, penulis buku-buku best seller Ita Siti Nasyi’ah, musisi Nasar Albatati, fotografer Arisubagyo Hadikusumo dan Leo Arief Budiman, dramawan old crack Roni Tripoli, pelukis Desemba Sagita, Ketua Bengkel Muda Surabaya Heroe Budiarto, dramawan “Blakotang” Karsono, sutradara teater Achmad Zainuri.
Juga terlihat: Ketua PWI Jatim Lutfil Hakim, wartawan senior Lambertus Hurek, wartawan yang sastrawan Sasetya Wilutama, dan Novi Yanto Aji wartawan yang novelis.
Saya melayang dibuai puluhan lagu yang dibawakan Jabo dkk dalam energi nafas kuda: dua jam lebih. Jabo, 72 tahun, malam itu menunjukkan ke-maestro-annya.
Menarik membaca dialog penyair Arieyoko dari Bojonegoro dengan perupa Dadang Christanto yang kini mukim di Brisbane, Australia, pada status fesbuk Dadang dimana Dadang juga hadir pada konser itu bahwa Sawung Jabo tidak sekadar menjadi tua dalam suasana gumbira riang, tetapi melampaui itu.
Jabo menghasilkan getaran dalam memaknai kehidupan, tulis Dadang.
Tiba-tiba bahu saya terasa dicolek agak keras. “Mas, wis ditunggu Meimura iku lho… ” kata Bambang Jon. Saya menoleh ke arah kanan. Tampak Meimura sudah nangkring di sadel motornya. Mesin dalam kondisi nyala.
Malam itu saya
capek betul. Serasa tumbang.
Sehabis minum obat rutin … lesss…saya pun tertidur.
Jam 2-an saya ngelilir. Saya buka HP, saya susuri fesbuk: inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun…
Sahabat saya yang baik, Farid Syamlan, 57 tahun, telah berpulang. Sosok yang senantiasa riang gumbira. Dramawan, mantan ketua Bengkel Muda Surabaya.
Yang selalu saya ingat dari ayah enam orang anak ini, setelah kami pulang dari muhibah seni di Malaysia, Singapura, dan Thailand selama tiga minggu pada tahun 2002, almarhum sudah tidak memanggil saya dengan ‘Mas Amang’, tapi ‘Pak Cik’. Atau : Pak Ciikkk !!! Alamaak…
Selamat jalan sahabat. Semoga Sang Khaliq memuliakanmu…
(*) Amang Mawardi, jurnalis senior dan penulis sejumlah buku