Puisi Minggu Ini: Tengsoe Tjahjono

waktu baca 2 menit
Dr Tengsoe Tjahjono (*)

JAKARTA-KEMPALAN: Tidaklah lengkap profil soal Presiden pentigraf dan putiba, jika dimuat puisi-puisinya. Minggu ini, saya muatkan beberapa puisinya. Agar bisa melengkapi tulisan esai pendek tokoh sastra kita yang bernama Dr. Tengsoe Tjahjono. Simaklah gaya tulisannya! Salam sastra!

Tengsoe Tjahjono – SURAT TERAKHIR

dua hari lalu ia menikah

kini ku gantung di blandar rumah

Istriku, ini jelas bukan pilihan terbaik 

kerna Tuhan amat membenci jalan ini. Tapi, adakah 

yang lebih baik dari kematian ketika gelombang 

PHK bagai laut pasang melabrak negeri kita

Istriku, sebagai lelaki aku ingin jadi trembesi 

agar kau aman bersemayam di rindangnya, 

atau telaga agar kau bisa menyerap 

sejuk airnya

Tapi aku cuma perdu kering tanpa akar 

matahari siap membakar

Dua hari lalu aku masih berjanji 

andaikan anak-anak lahir dari rahimmu 

anak-anak itu harus menjadi pohon jati 

jangan trembesi seperti bapaknya

Bahkan mereka harus jadi samudra, bukan telaga 

karena samudra mempunyai lima benua 

sedang telaga?

Tapi aku cuma perdu kering tanpa akar 

Ketika PHK mencabut ku dari cakrawala 

Istriku, ini jelas bukan pilihan terbaik 

karena Tuhan amat membenci jalan ini. Ini 

jalanku sendiri ketika horison gelap 

mengepung seluruh negeri.

(1998) 

Tengsoe Tjahjono – DALAM SANGKAR

Adakah kemerdekaan 

ketika belenggu keinginan meraja

Hidup dikurung mimpi

Disandera dunia berkilau-cemerlang

Sangkar berbalut permata

Kita hanya badut dan boneka 

Menyanyi sebatas bibir

Jiwa sekering kemarau

Ya, ya, segalanya dikemul halimun semu

Kamar kecil tanpa jamban

Tempat memuntahkan gelisah mampat

Hidup abadi dalam sel 

(2023) 

Tengsoe Tjahjono – BERLAYAR

Mulutku berlayar meninggalkan telinga

Mataku berlayar meninggalkan kepala

Jadilah aku tembok batu yang beku

Terkikis musim dan cuaca

Burung-burung terbang

Mereka mimpi yang kupupuk dan kusemai

Hanya tanpa mulut yang berkata-kata

Tanpa telinga yang cerdas merangkum dunia

Tanpa mata yang awas menangkap gulita

Jadilah aku rongsokan di pengap tong sampah

Mereka berlayar, terus berlayar

Melintasi jalan laut yang panjang

Meninggalkan tubuh yang dirajam sepi

Di ladang tanpa pepohonan dan matahari 

(2023) 

Tengsoe Tjahjono – PERCAKAPAN DI MEJA MAKAN

Ke mana perginya air

Cangkir-cangkir telah kosong

Embun tak pernah jatuh di telapak tangan

Kau bersendawa

Memuntahkan bau ikan asin

Dari hutan pikiran yang singup

“Siapakah aku?”

Pertanyaan yang mabok dan limbung

Tubuhmu jatuh berdebam di lantai basah

Di bawah meja makan

(2023) 

(*) Aming Aminoedhin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *