Puisi Minggu Ini: Tengsoe Tjahjono
JAKARTA-KEMPALAN: Tidaklah lengkap profil soal Presiden pentigraf dan putiba, jika dimuat puisi-puisinya. Minggu ini, saya muatkan beberapa puisinya. Agar bisa melengkapi tulisan esai pendek tokoh sastra kita yang bernama Dr. Tengsoe Tjahjono. Simaklah gaya tulisannya! Salam sastra!
Tengsoe Tjahjono – SURAT TERAKHIR
dua hari lalu ia menikah
kini ku gantung di blandar rumah
Istriku, ini jelas bukan pilihan terbaik
kerna Tuhan amat membenci jalan ini. Tapi, adakah
yang lebih baik dari kematian ketika gelombang
PHK bagai laut pasang melabrak negeri kita
Istriku, sebagai lelaki aku ingin jadi trembesi
agar kau aman bersemayam di rindangnya,
atau telaga agar kau bisa menyerap
sejuk airnya
Tapi aku cuma perdu kering tanpa akar
matahari siap membakar
Dua hari lalu aku masih berjanji
andaikan anak-anak lahir dari rahimmu
anak-anak itu harus menjadi pohon jati
jangan trembesi seperti bapaknya
Bahkan mereka harus jadi samudra, bukan telaga
karena samudra mempunyai lima benua
sedang telaga?
Tapi aku cuma perdu kering tanpa akar
Ketika PHK mencabut ku dari cakrawala
Istriku, ini jelas bukan pilihan terbaik
karena Tuhan amat membenci jalan ini. Ini
jalanku sendiri ketika horison gelap
mengepung seluruh negeri.
(1998)
Tengsoe Tjahjono – DALAM SANGKAR
Adakah kemerdekaan
ketika belenggu keinginan meraja
Hidup dikurung mimpi
Disandera dunia berkilau-cemerlang
Sangkar berbalut permata
Kita hanya badut dan boneka
Menyanyi sebatas bibir
Jiwa sekering kemarau
Ya, ya, segalanya dikemul halimun semu
Kamar kecil tanpa jamban
Tempat memuntahkan gelisah mampat
Hidup abadi dalam sel
(2023)
Tengsoe Tjahjono – BERLAYAR
Mulutku berlayar meninggalkan telinga
Mataku berlayar meninggalkan kepala
Jadilah aku tembok batu yang beku
Terkikis musim dan cuaca
Burung-burung terbang
Mereka mimpi yang kupupuk dan kusemai
Hanya tanpa mulut yang berkata-kata
Tanpa telinga yang cerdas merangkum dunia
Tanpa mata yang awas menangkap gulita
Jadilah aku rongsokan di pengap tong sampah
Mereka berlayar, terus berlayar
Melintasi jalan laut yang panjang
Meninggalkan tubuh yang dirajam sepi
Di ladang tanpa pepohonan dan matahari
(2023)
Tengsoe Tjahjono – PERCAKAPAN DI MEJA MAKAN
Ke mana perginya air
Cangkir-cangkir telah kosong
Embun tak pernah jatuh di telapak tangan
Kau bersendawa
Memuntahkan bau ikan asin
Dari hutan pikiran yang singup
“Siapakah aku?”
Pertanyaan yang mabok dan limbung
Tubuhmu jatuh berdebam di lantai basah
Di bawah meja makan
(2023)
(*) Aming Aminoedhin