Dr. Tengsoe Tjahjono, Presiden Pentigraf dan Putiba

waktu baca 3 menit
tengsoe tjahjono

JAKARTA-KEMPALAN: Tengsoe Tjahjono, kelahiran di Jember 3 Oktober 1958. Tapi sekolah dari SD sampai lulus SPG pada tahun 1977 di Genteng, Banyuwangi. Kemudian tahun 1978, Tengsoe melanjutkan pendidikan sarjana ke IKIP Malang, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, lulus tahun 1983. Pada tahun 1993 ia menyelesaikan Program Magister Pendidikan Bahasa di Program Pascasarjana IKIP Malang. Mulai tahun 2001, Tengsoe melanjutkan pendidikan S3 di Universitas Negeri Malang (UM) hingga bergelar doktor sastra.

Ia pernah mengajar di SMA Corjesu Malang pada tahun 1980. Sejak tahun 1986, tercatat sebagai dosen tetap di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Surabaya, kini bernama Unesa. Pernah jadi dosen tamu di Universitas Hankuk Korea Selatan. Dalam ranah dunia sastra, Tengsoe pernah menjadi Ketua Biro Sastra Dewan Kesenian Malang, Biro Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, dan banyak lagi.

Menurut Tengsoe soal masalah seni adalah kebutuhan yang menjadi bagian dalam hidup, dan  menulis puisi tidak terikat oleh batasan tempat maupun waktu. Ia, beberapa kali menang juara lomba tulis puisi, antara lain: Lomba Cipta Puisi Penyair Muda Se-Indonesia, yaitu puisi Hotel Wina Bandungan Ambarawa; Lomba Cipta Puisi Se-Indonesia yang diadakan oleh Sanggar Minum Kopi, Denpasar; Lomba Cipta Puisi versi Yayasan Selagunda, Tabanan, Bali; dan banyak lagi.

Kata Doktor sastra, Tengsoe Tjahjono, menulis puisi adalah usaha berkomunikasi, baik dengan diri sendiri maupun berkomunikasi dengan pembaca (penikmat sastra). Dalam menulis puisi, Tengsoe mencoba segala rasa dan pikirannya mengenai segala hal yang mendorongnya untuk berbuat demikian, yaitu mencurahkan segala fenomena kehidupan sosial yang dirasakan dan dialaminya.

Keinginan Tengsoe dalam setiap penulisan puisinya adalah membuat pembaca dan atau penikmat dapat berkomunikasi melalui puisi-puisinya. Tengsoe sering mendapat kesan bahwa selama ini pembaca awam yang heterogen tidak bisa akrab dengan puisi hanya disebabkan tidak dapat menangkap makna dan pesan puisi tersebut.

Tengsoe Tjahjono memahami bahwa ia tidak hidup sendiri. Hal itu berarti bahwa ia menulis puisi bukan hanya untuk dirinya sendiri. Baginya menulis puisi adalah berbagi pengalaman melalui puisi kepada pembaca. Ia berharap pembaca dapat merasakan seperti yang ia rasakan, memahami apa yang sedang ia pikirkan. Dengan demikian, tercapailah suatu forum dialog kreatif-imajinatif, emotif, dan sekaligus intelektual, sehingga antara penyair dengan penikmat bisa saling mengisi.

Selain menulis puisi berbahasa Indonesia, ia juga menulis puisi berbahasa Jawa. Satu kumpulan guritannya berjudul “Moh” ditulis bersama Aming Aminoedhin dan Herry Lamongan (2012), dan dibacakan di Malang, Surabaya, dan Tuban. Kumpulan puisi sendiri dan bersama kawan, tak terhitung lagi banyaknya. Termasuk dalam kumpulan puisi Malsasa (Malam Sastra Surabaya) terbitan DKS, Memo Putih terbitan DKJT, dan buku-buku terbitan Rumah Budaya Kalimasada Blitar.

Sedangkan ia punya julukan “Presiden Pentigraf” (Cerpen Tiga Paragraf), yang mana banyak guru-guru (utamanya: wanita) ikut bergabung menerbitkan buku pentigraf hingga beberapa kali dengan berbagai tema garapannya. Lantas juga jadi presiden “Putiba” Puisi Tiga Bait, yang banyak pengikutnya. Tengsoe, memang luar biasa! 

Kumpulan puisi terakhirnya berjudul “Pelajaran Menggambar Bentuk” kumpulan puisi tiga bait disertai gambar sketsanya sendiri. Byuh…ampuh tenan!

Jelang usianya ke-65 dan masa pensiun, ia mengajak kawan-kawan penyair lain untuk menulis puisi tentang usia enam lima, serta puisi tentang waktu. Hal ini memang dalam rangka ulang tahunnya, yang konon akan digelar bacakan di Rumah Budaya Kalimasada Blitar, rumahnya Bagus Putu Parto dan Endang Kalimasada. Benarkah ini jadwal pasti? Belum ada konfirmasi!. 

Dr. Tengsoe Tjahjono, memang sosok motivator sastra yang ampuh tenan! Selain penemu “pentigraf,” ia juga sering jadi narasumber bidang sastra di berbagai kota dan perguruan tinggi di berbagai kota pula. Motivator buat buku sastra, baik berupa: buku kumpulan puisi, pentigraf, dan buku-buku sastra lainnya. Tengsoe, memang luar biasa!* 

(Aming Aminoedhin).***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *