Romahurmuzy dan Politisi Korup
KEMPALAN: Seorang pria sedang PDKT kepada seorang perempuan. Sang pria berkata, ‘’Hi, I’m politician but I’m honest’’, Hai, saya politisi, tapi saya jujur. Kata si pria. Sang perempuan menjawab, ‘’Hi, I’m prostitute but I’m virgin’’, Hai, saya seorang pelacur tapi saya perawan.
Itu adalah humor gelap atau dark humor yang beredar di Inggris yang menggambarkan bagaimana pandangan masyarakat terhadap para politisi. Secara umum publik memandang bahwa politisi tidak ada yang jujur, politisi identik dengan kebohongan. Politisi yang mengaku jujur sama saja dengan pelacur yang mengaku perawan.
Humor itu bisa saja berlebihan. Pasti banyak yang mengklaim bahwa masih banyak politisi yang jujur. Sangat mungkin kenyataannya juga seperti itu. Tetapi gambaran umum itu sudah melekat pada para politisi di seluruh dunia. Pandangan bahwa politisi itu pembohong dan korup sudah menjadi stereotype yang—apa boleh buat—sudah kadung melekat dan sulit dihapus.
Beberapa hari belakangan ini di Indonesia beredar video berisi pernyataan politisi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) Romahurmuzy yang mengatakan bahwa 99 persen politisi di Indonesia korup. Pernyataan itu dikemukakannya dalam sebuah wawancara siniar (podcast) yang kemudian banyak menyebar di berbagai platform media sosial.
Mungkin tidak banyak yang kaget dengan pernyataan itu, karena Romahurmuzy bukan orang pertama yang mengatakannya. Meskipun narasinya tidak sama, tetapi sudah banyak orang lain yang mengemukakannya. Narasi beda tetapi substansinya sama.
Pada 2020 Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Karena itu, umumnya setelah terpilih para calon kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut. Kata Mahfud di mana-mana, calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih, itu melahirkan korupsi kebijakan.
Hal ini menjadi gejala umum sejak pemilihan kepala daerah dilakukan dengan sistem pemilihan langsung. Dengan sistem ini proses pemilihan kepala daerah membutuhkan biaya yang sangat tinggi. High cost politics ini membuka peluang bagi para pemilik modal untuk menjadi cukong dan menjadi bandar politik yang menyediakan modal.
Setelah menanam investasi sebagai bandar politik, para cukong itu kemudian menagih dividen politik ketika jagoannya sudah berhasil memenangkan kontestasi politik dan diangkat menjadi kepala daerah. Tagihan itu dibayar dalam bentuk berbagai kebijakan daerah yang menguntungkan sang bandar.
Proyek-proyek yang memakai dana APBD akan menjadi sasaran jarahan sang bandar politik. Kepala daerah juga secara sengaja menerbitkan berbagai peraturan yang menguntungkan sang bandar. Karena tersandera oleh utang politik kepada sang bandar maka kepala daerah harus terus memutar otak untuk bisa melunasi utang politik itu.
Hubungan timbal balik ini biasanya berupa kebijakan yang diberikan para calon kepala daerah yang telah resmi terpilih kepada para cukong tersebut. Apa yang terjadi kemudian, kata Mahfud, dampak kerja sama dengan para cukong ini lebih berbahaya dari korupsi uang. Korupsi kebijakan itu biasanya berupa lisensi penguasaan hutan, lisensi tambang, dan lisensi lainnya yang lebih merugikan masyarakat.
Korupsi kebijakan itu lebih berbahaya dari korupsi uang. Uang bisa dihitung, tapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi penguasaan hutan, lisensi-lisensi penguasaan tambang yang tumpang-tindih bisa membawa kerugian yang jauh lebih besar.
Romahurmuzy menyebut angka yang lebih besar ketimbang Mahfud, yaitu 99 persen. Sama dengan analisis Mahfud, Romahurmuzy mengatakan bahwa pola korupsi terjadi dalam bentuk imbal balik bayar utang untuk melunasi biaya pilkada.
Praktik yang sudah meluas ini seoalah-olah dianggap sebagai hal yang lazim. Romahurmuzy sendiri adalah pelaku. Dia mantan narapidana korupsi yang tertangkap basah oleh KPK dalam sebuah operasi tangkap tangan di Surabaya pada 2019. Romahurmuzy ditangkap karena menjadi makelar jabatan di lingungan kementerian agama.
Romahurmuzy dihukum 2 tahun dan dikorting menjadi setahun setelah banding ke Mahkamah Agung. Dia bebas pada 2020 dan sekarang sudah balik lagi ke partainya dan memegang posisi terhormat sebagai ketua dewan pertimbangan.
Romahurmuzy mengungkap praktik korupsi itu seolah-olah menjadi justifikasi yang membenarkan tindakan korup yang dilakukan oleh para politisi. Kalau 99 persen politisi korup maka wajar saja kalau dirinya sebagai politisi juga pernah melakukan korupsi.
Kabar terbaru, Romahurmuzy dilaporkan ke polisi oleh pengusaha Erwin Aksa atas dugaan kasus pencemaran nama. Ketika masih menjadi ketua PPP pada 2019 Romahurmuzy menerima uang mahar sebesar Rp 35 miliar dari Erwin Aksa untuk rekom PPP dalam pilgub Sulawesi Selatan. Kata Romahurmuzy, ternyata cek itu kosong.
Transaksi politik ini menjadi bukti baru kebenaran sinyalemen Mahfud MD.
Begitulah message yang sampai ke publik. Tentu hal ini menjadikan wajah politik dan politisi makin buram di mata publik. Sikap dan pernyataan ini menjadi sinyal negatif bagi generasi milenial yang menjadi pemilih pertama dalam pemilu. Para pemilih pemula bersama pemilih muda yang usianya di bawah 40 tahun jumlahnya sekitar 50 sampai 53 persen.
Romahurmuzy kembali ke dunia politik seolah-olah tanpa beban dosa korupsi. Ia ingin cuci tangan dengan mengatakan bahwa semua politisi korup. Orang-orang sejenis ini sudah banyak bermunculan di panggung politik nasional. Apalagi, KPU (Komisi Pemilihan Umum) bersikap sangat permisif kepada para narapidana korupsi dengan mengizinkan mereka untuk maju dalam kontestasi politik.
KPU harusnya menjadi gate keeper, penjaga gerbang yang bisa menapis kemunculan para politisi busuk itu. Tetapi, dalam praktiknya KPU tidak berdaya untuk melakukannya.
Pernyataan Romahurmuzy itu akan makin menegaskan citra publik bahwa politik itu kotor. Humor mengenai politisi dan pelacur itu ‘’sad but true’’, menyedihkan tetapi nyata. ()