Uang Darah
KEMPALAN: DALAM hukum Islam ada mekanisme kompensasi yang diberikan kepada keluarga pembunuhan oleh sang pembunuh. Kompensasi itu disebut sebagai ‘’diyat’’ atau dalam bahasa Indonesia biasanya disebut sebagai ‘’uang darah’’. Uang ini diberikan sebagai kompensasi supaya pelaku pembunuhan terlepas dari tuntutan ‘’qishas’’ atau hukuman mati.
Besaran uang darah bermacam-macam. Di zaman Rasulullah jumlah uang darah cukup besar, yaitu 100 ekor onta dengan syarat-syarat tertentu, misalnya onta dalam kondisi subur atau sedang bunting. Di antara 100 onta itu 10 onta disyaratkan berjenis jantan.
Di era modern sekarang uang darah bervariasi besarnya, bergantung pada keputusan pengadilan dan kesepakatan keluarga. Nilainya bisa sampai 50 ribu riyal atau kurang lebih Rp 150 juta, atau bisa lebih besar lagi bergantung pada kasus antara korban dan pelaku.
Sistem tebusan uang darah tidak berlaku dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Tetapi mekanisme uang darah terjadi–atau diakui–di Indonesia dalam bentuk yang lain. Kompensasi yang dibayarkan oleh pemerintah untuk membayar kesalahan di masa lalu, bisa disebut sebagai ‘’uang darah’’.
BACA JUGA: Mahsa Amini
Hari-hari ini publik sedang ramai memperbincangkan kasus korupsi yang menjerat gubernur Papua, Lukas Enembe. Dia dijadikan tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena menerima gratifikasi senilai Rp 1 miliar.
Kasus ini kemudian berkembang karena PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan) mengungkap aliran dana dari rekening Lukas Enembe kepada tempat perjudian atau kasino di luar negeri. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, Rp 560 miliar. Uang setengah triliun lebih itu diduga sebagai pembayaran judi Lukas Enembe kepada kasino itu.
