Rekam Jejak Baskara Wardaya, Romo Progresif Alumni Amerika Serikat

waktu baca 2 menit
Romo Baskara T. Wardaya. (USD)

SURABAYA-KEMPALAN: Bagi mereka yang aktif di dunia pergerakan, kemungkinan besar pernah mendengar nama Fransiskus Xaverius Baskara Tulus Wardaya, SJ, seorang pastor dari Serikat Yesuit. Ia merupakan orang yang aktif menyuarakan tentang kasus G30S, dan pembantaian yang mengikutinya. Bisa dibilang, Romo Baskara, sapaan akrabnya, adalah seorang Sukarnois.

Sebagai seorang akademisi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ia memiliki banyak tulisan, baik yang ditulisnya sendiri, maupun menjadi editor kumpulan tulisan. Kebanyakan tulisan ini menguak sejarah Indonesia pada titik kritisnya, tahun 1960-an.

Beberapa bukunya, Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S (2006); Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno (2008); Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto (2008); Chicago Chicago: Cinta, Politik dan Kemanusiaan di Negeri Paman Sam (2012); Suara di Balik Prahara: Berbagai Narasi tentang Tragedi ’65 (2012, ditulis bersama beberapa orang lain); Bertemu Matahari: Cerita tentang Sakit, Ambang Maut, dan Kehidupan Baru (2014); Membongkar Sumpersemar: Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (2017); Menyusuri Jejak Suci: Berziarah Ditemani Sejarah (2020).

Selain itu, ada juga beberapa buku yang disunting oleh Baskara yakni, Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah (2001); Pembebasan Manusia: Sebuah Refleksi Multidimensional (2004); Berkah Kehidupan: 32 Kisah Inspiratif tengang Orangtua (2013); Luka Bangsa, Luka Kita: Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi (2014); Membangun Republik (2017); Memandang Potret Republik: Sejarah Indonesia Pasca Proklamasi dalam Konflik (2020, disunting bersama Brigida Intan Printina); Memori Genosida: Melihat Kekerasan Kolektif Masa Lalu dalam Perspektif Holocaust (2021).

Tidak hanya dalam Bahasa Indonesia, alumni Fulbright ini juga menulis dalam Bahasa Inggris, seperti buku Cold War Shadow: United States Policy Toward Indonesia, 1953-1963 (2007); Beyond Borders: Notes on the Colonial and Post-colonial Dynamics in the Americas, Europe, and Indonesia (2017); Keeping Hope: Seeing Indonesia’s Past from the Edges (2017).

Melansir situs AMINEF, ia juga aktif dalam dunia akademik yang diawali dengan pengabdiannya untuk mengajar di Mikronesia. Setelah beberapa tahun kemudian, ia mengambi studi doktoral di Marquette University, Wisconsin, Amerika Serikat. Sekembalinya di Indonesia, ia pernah menjadi peneliti paruh waktu di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sekarang dimasukkan ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pada tahun 2011-2012, ia pernah menjadi Fulbright Scholar in Residence di University of California-Riverside.

Imam Yesuit itu juga menjadi staf pengajar untuk S2 Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma. Di universitas inilah, Romo Bas membangun Pusat Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia serta Pusat Sejarah dan Etika Politik bersama koleganya. (Reza Hikam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Imam

    Mantap sekali Romo Baskara. Sejarawan kebangganku.

    Balas
Sudah ditampilkan semua