Soal Pro Pemerintah yang Bahas Hamas dengan Tone Negatif

waktu baca 4 menit

KEMPALAN: Fenomena yang banyak dirasakan. Bahwa cluster pro pemerintah banyak membahas Hamas dengan tone negatif.

Mulai dari yang Hamas korup, teroris, dan yang provokasi konflik. Hal ini berpotensi mereduksi apa yang terjadi di sana sebagai konflik negara berdaulat Israel dengan teroris Hamas.

Yang pertama, tentu saja itu bukan konflik. Tapi pendudukan. Dua hal yang berbeda. Hampir mirip, tapi akan membawa ke perspektif lanjutannya. Konflik mensyaratkan dua pihak yang seimbang kekuatannya, sementara yg terjadi di sana adalah kaum minoritas yang melawan pendudukan. Kekuatan , dalam hal diplomasi, militer, maupun penguasaan wacana, Palestina jelas jauh di bawah Israel.

Selain itu, yang paling mereka sorot adalah piagam Hamas 1988 yang mereka sorot sebagai faktor penghalang utama perdamaian.

Meski sudah direvisi Hamas dengan jauh lebih melunak pada 2017, anehnya yang jadi rujukan adalah piagam 1988 saja.

Yang kedua, baiklah, piagam 1988 Hamas menyebutkan hal yg membuat perdamaian menjadi susah. Tapi untuk adilnya, harusnya dibahas pula convenant Gerakan Zionisme di Swiss pada 1897.

Dalam kongres itu, Bapak Zionisme Theodor Herzl jelas2 menyebutkan tujuannya adalah untuk mendirikan Negara Yahudi di Palestina. Caranya adalah dengan model settler colonialism, yakni jenis kolonialisme yang tidak bertujuan hanya mencari sumber daya alam di tempat jajahan seperti kolonialisme klasik. tapi juga sekaligus menguasai tanahnya sebagai homeland.

Gerakan Zionis zaman itu cukup terbuka dan terang-terangan menyebut langkah settlement itu sebagai kolonialisme. Seperti surat yg dikirimkan Herzl ke kolonialis terkenal Inggris Cecil Rhodes yang mendesak pentingnya ekspansi kolonialisme.

“Anda mempunyai kesempatan membuat sejarah,” tulis Herzl. “Tak perlu besar-besar seperti di Afrika. Tapi hanya sekeping tanah di Asia Kecil. Makanya saya berpaling dan menginginkan dukungan anda. Karena (langkah kami) ini adalah kolonialisme”.

Jadi klir ya, sejak awal Israel menginginkan kolonialisme kawasan Palestina.

Jadi zionisme adalah gerakan politik settler-colonialism yang bertujuan mendirikan negara-bangsa Yahudi di Palestina.

Tidak akan banyak problem jika Palestina adalah kawasan kosong. Yang jadi masalah, kawasan itu sudah berpenduduk padat.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana nasib orang Palestina yang sudah bermukim di sana. (Sebagai pengingat, waktu itu konsep nation-state di kawasan itu masih barang baru. Jadi Palestina yg direfer adalah nation, bukan state).

Pertanyaan ini menjadi perdebatan seru di arena kongres. Tapi satu hal pasti, tidak mungkin mendirikan negara Yahudi di Palestina tanpa menggusur banyak orang. Jadi kesimpulannya, harus merelokasi banyak orang. Entah itu pindah sukarela atau dipindahkan secara paksa.

Akibatnya, pada 1948 terjadi peristiwa yg disebut Kiamat, ketika 700 ribu orang Palestina tergusur dari halamannya dan tak pernah bisa pulang. Dewasa ini, total ada tujuh juta pengungsi Palestina yang tak akan bisa pulang.

Jelas sudah ya penggambarannya seperti ini apa yang terjadi. Sejarah berjalan, dan Israel makin banyak mencaplok tanah untuk settlement. Pada 2018, juga meloloskan UU Negara Bangsa yg sangat apartheid dan kontroversial. Menyebutkan bahwa hak untuk menentukan hanya khusus bagi orang Yahudi, bahasa Ibrani sebagai bahasa nasional dan menjadikan Bahasa Arab dalam status khusus, menyatakan bahwa settlement adalah program nasional dan negara akan sekuat tenaga mengakomodasinya.

Orang Arab Palestina yang tinggal di wilayah Israel tak punya hak pilih. Jadi orang2 seperti di Gaza dan Tepi Barat, hidup dan bernafas menjadi masyarakat kelas dua dikontrol oleh pemerintah kolonial dan mereka bahkan tak punya hak pilih.

Apalagi ketika Israel mendapat beking terkuat di dunia, AS. Yang hegemonik di bidang politik, militer, dan penguasaan wacana sekaligus. Hal yang penting untuk mencegah Palestina mendapat salah satu unsur terpenting ketika mendeklarasikan kemerdekaan: pengakuan dari negara lain.

Jadi, orang Arab Palestina yang tinggal di sana sungguh apes. Hidup sebagai warga kelas dua, mempunyai dendam karena tiap keluarga di sana pasti pernah kehilangan anggota keluarganya, terepresi, tapi suara mereka gampang dibiaskan dengan narasi-narasi negara-negara besar yang menguasai wacana.

Makanya, meski saya tidak menganjurkan, tapi sangat memahami ketika rakyat Gaza menjadi militan dan selalu melakukan perlawanan fisik. Karena ya apa pilihan lain lebih baiknya? Mau melakukan aksi damai bakar lilin sambil nyanyi we are the world? Tentu bukan opsi yang bisa membuat Israel menghentikan settlement dan membahas serius mengenai two-state solution.

Sama ketika dulu saat Agresi Militer Belanda II, pemimpin ditangkapi, Sultan HB IX dan Jenderal Sudirman melakukan Serangan Umum 1 Maret. Hanya menguasai Jogja selama enam jam, tapi cukup untuk membuat statement bahwa Indonesia masih ada. Begitulah apa yg kini sedang dilakukan rakyat Gaza. (Kardono Setyorakhmadi–Wartawan Senior, Pemimpin Redaksi Kempalan.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *