Rinjani, Risiko, dan Renjana

waktu baca 8 menit

Oleh: Masayu Indriaty Susanto

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi
Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sahid Jakarta

Seorang gadis muda pendaki asal Brazil ditemukan tewas setelah terjatuh saat mendaki Gunung Rinjani, Juni lalu. Tragedi ini menyentuh banyak hati. Namun di balik kisah kehilangan itu, ada sesuatu yang jarang dibicarakan: bagaimana dua budaya—Brazil dan Indonesia—bertemu (atau justru bertabrakan) dalam cara mereka memaknai risiko dan keselamatan.

Sudah saatnya segenap otoritas wisata dan komunitas lokal memiliki pemahaman antarbudaya, terutama dalam kawasan wisata alam ekstrem. Karena keselamatan dan kepercayaan tidak dibangun dari prosedur semata. Tetapi juga dari cara kita saling memahami dan menghormati cara orang lain memaknai dunia.

Ketika wisata alam melibatkan lintas negara, sesungguhnya bukan hanya bahasa yang berbeda, tapi juga cara merasa, berpikir, dan berkomunikasi. Karena itulah, ketika gadis muda asal Brazil itu menghilang di lereng cadas Gunung Rinjani, di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan ditemukan tak bernyawa lima hari kemudian di dasar jurang, beritamenyebar cepat. Menyayat hati siapa pun yang membacanya.

Tapi yang tak terlihat di permukaan adalah benturan dua dunia: renjana (passion) yang untuk berani menantang alam, dan budaya yang meminta manusia tunduk hormat pada alam dan kemegahannya. Di antara kabut pegunungan dan linimasa media, tragedi ini bukan hanya tentang jatuhnya seorang manusia, tapi juga tentang gagalnya pemahaman antarbudaya.

Perempuan berusia 26 tahun asal Niterói, Rio de Janeiro itu adalah seorang publicist atau travel vlogger. Begitulah profil Juliana yang dideskripsikan situs CNN Brazil (24/6/25). Media itu juga menyebut Juliana sebagai seorang vlogger yang aktif berbagi kisah perjalanan secara autentik dan tanpa sponsor.

Akun Instagram-nya (@ajulianamarins) dengan lebih dari 300 ribu pengikut menampilkan foto-foto aktifitasnya, seperti berjalan di pantai, yoga, dan pole dance di Asia, yang menunjukkan semangat “fearless” dan penuh kejujuran tanpa embel-embel komersial.

Dalam unggahan terakhirnya, Juliana mencantumkan kutipan “Never try, never fly.” Media menyebut ini menggambarkan nilai hidupnya: seorang gadis yang penuh gairah, berani mencoba, menjalani hidup sepenuh hati, memiliki ekspresi diri yang tulus dan inspiratif (Negi, 2025).

Menurut laporan The New York Post (6/7/2025) bertajuk “Backpacking across Southeast Asia before her fatal hike”, Juliana Marins mendaki Gunung Rinjani sebagai bagian dari perjalanan solo backpacking panjang keliling Asia Tenggara sejak Februari 2025. Dia telah mengunjungi beberapa negara seperti Filipina, Vietnam, Thailand, sebelum akhirnya tiba di Indonesia.

Juliana mengunjungi Pulau Bali dan Lombok, di mana dia kemudian memutuskan untuk mendaki Gunung Rinjani, gunung api tertinggi kedua di Indonesia (3.729 mdpl). Dalam perjalanan mendaki itulah, Juliana kelelahan dan kemudian terjatuh di kawasan Cemara Nunggal, di bawah tebing curam yang berbatu dan berpasir, sekitar 5 km dari puncak Gunung Rinjani.

Tantangan Vs Ruang Sakral

Gunung Rinjani bukan hanya ikon wisata alam Indonesia, tetapi juga ruang pertemuan antara pelancong dari berbagai bangsa dan komunitas lokal dengan nilai dan cara pandang yang berbeda. Ketika insiden seperti ini terjadi, pertanyaan yang segera muncul adalah: apa yang salah?

Dalam kasus ini, komunikasi antara otoritas Indonesia, relawan lokal, media, serta keluarga korban dari Brazil menjadi cermin penting untuk memahami tantangan komunikasi lintas budaya dalam konteks wisata berisiko tinggi.

Psikolog sosial dan antropolog budaya asal Belanda Geert Hofstede (2010) membagi profil budaya suatu negara melalui enam dimensi utama. Dia memetakannya dengan skor 0 sampai 100. Skor ini tidak menunjukkan “baik” atau “buruk”, tapi menunjukkan kecenderungan budaya suatu negara.

Teori ini dikenal dengan Hofstede’s Cultural Dimensions Theory (Teori Dimensi Budaya) yang secara luas menjadi rujukan utama dalam memahami konflik dan kerja sama dalam cross-culture communication budaya lintas negara.

Dalam kacamata teori ini, budaya Brazil memandang gunung sebagai sebuah tantangan besar yang memunculkan renjana atau passion untuk ditaklukkan. Yang mendorong semangat petualangan personal, tetapi juga menuntut adanya sistem keselamatan dan kepastian.

Dalam budaya Brazil, petualangan adalah ekspresi diri. Nilai individualismenya yang cenderung tinggi terhadap penghindaran ketidakpastian (high uncertainty avoidance), menciptakan karakter masyarakat yang mendorong eksplorasi, tetapi dengan harapan adanya sistem keselamatan dan kontrol yang jelas.

Pendakian gunung di negara-negara Amerika Latin umumnya dilengkapi dengan infrastruktur keselamatan dan panduan profesional. Dalam konteks ini, keputusan pendaki asal Brazil untuk tetap mendaki, bahkan saat terpisah dari kelompok, mungkin dipahami sebagai bentuk pencarian jati diri atau keberanian personal.

Namun, ekspektasi bahwa sistem keselamatan akan secara otomatis aktif ketika terjadi masalah mungkin tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan di Indonesia, yang masih memiliki keterbatasan dalam respons darurat di medan ekstrem.

Sebaliknya, budaya lokal di Indonesia memaknai gunung sebagai ruang sakral yang mengandung batas simbolik. Risiko sering kali dilihat sebagai bagian dari takdir atau karma. Dalam budaya Indonesia, alam adalah ruang sakral dan berisiko.

Terutama dalam budaya lokal seperti yang tumbuh di sekitar Gunung Rinjani di Lombok, gunung sering dianggap sebagai ruang sakral yang perlu dihormati. Pendekatan masyarakat lokal terhadap gunung sarat nilai-nilai spiritual, dan risiko dipahami sebagai sesuatu yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh manusia, melainkan bagian dari kehendak alam atau kekuatan supranatural.

Pendaki yang tidak mematuhi aturan atau berjalan sendiri kerap dianggap “menantang alam”, bukan hanya mengambil risiko secara teknis. Hal ini memengaruhi bagaimana pengelola dan masyarakat lokal memandang insiden seperti ini—lebih sebagai peringatan atau pelajaran, bukan hanya sebagai kecelakaan teknis yang harus diatasi secara prosedural.

Perbedaan budaya inilah yang kerap kali mengakibatkan miskomunikasi dalam situasi kritis. Padahal, komunikasi krisis dalam konteks antarbudaya memerlukan sensitivitas terhadap ekspektasi budaya masing-masing pihak.

Bukan itu saja. Perbedaan ini juga berpotensi menciptakan ketimpangan ekspektasi. Di satu sisi, keluarga korban dan masyarakat Brazil, yang berada ribuan kilometer dari lokasi kejadian, sangat bergantung pada kecepatan dan kejelasan informasi dari otoritas Indonesia.

Dalam budaya Brazil yang memiliki kecenderungan ekspresif dan menghindari ketidakpastian, tidak adanya pembaruan berkala atau lambatnya respons dapat menimbulkan frustrasi dan kecemasan tinggi.

Mereka mungkin menuntut kepastian dan kecepatan dalam pencarian, pembaruan informasi, serta investigasi insiden. Ini bisa dilihat dari ramainya linimasa di media sosial terhadap tragedi ini.

Sebaliknya, otoritas dan pengelola lokal di Indonesia cenderung beroperasi dalam budaya high power distance—di mana informasi disampaikan secara hierarkis dan penuh kehati-hatian. Komunikasi krisis seringkali dikendalikan oleh satuan tugas formal atau pemerintah daerah yang perlu berkonsultasi secara internal sebelum memberikan pernyataan publik.

Dalam situasi darurat, hal ini bisa menciptakan jeda komunikasi yang justru memperbesar jarak emosional dengan keluarga korban. Ketimpangan ini menciptakan jeda persepsi dan berpotensi memperbesar trauma.

Dan dalam situasi krisis seperti inilah, terutama yang melibatkan nyawa manusia, komunikasi menjadi elemen paling krusial. Ia tidak hanya berfungsi sebagai saluran informasi, tetapi juga sebagai jembatan empati, kepercayaan, dan koordinasi antar berbagai pihak.

Pada banyak kasus internasional, media menjadi saluran utama keluarga korban untuk memahami perkembangan pencarian atau penyelamatan. Namun perbedaan cara peliputan antara media Indonesia dan media Brazil juga dapat menimbulkan narasi yang tidak sinkron.

Media Brazil cenderung menampilkan narasi emosional dan mendesak klarifikasi, sejalan dengan budaya ekspresif mereka (Ting-Toomey & Chung, 2012). Media Indonesia, di sisi lain, menampilkan pemberitaan yang lebih hati-hati dan sopan, mencerminkan budaya konteks tinggi yang menekankan harmoni sosial dan penghindaran konflik terbuka (Hall, 1976).

Perbedaan ini berpotensi menimbulkan ketegangan persepsi: di satu sisi, Indonesia mungkin merasa telah melakukan upaya maksimal, sementara dari sudut pandang keluarga dan media asing, respons dianggap lambat atau tidak memadai.

Di sinilah pentingnya kehadiran penerjemah dan juru bicara budaya. Dalam konteks krisis lintas negara, peran juru bicara tidak cukup hanya sebagai penerjemah bahasa, tetapi juga sebagai penerjemah budaya. Kepekaan terhadap perbedaan cara menyampaikan duka, menghargai emosi, dan merespons trauma perlu diperhatikan dalam setiap komunikasi resmi.

Sayangnya, dalam kasus seperti ini, pendekatan komunikasi krisis di Indonesia masih jarang mengintegrasikan perspektif lintas budaya, sehingga respon-respon resmi cenderung formal dan normatif, tanpa menjangkau kebutuhan emosional keluarga korban asing.

Kompleksitas Komunikasi Antarbudaya

Apa yang bisa dipelajari dari kasus Ini? Risiko tidak dimaknai secara universal. Apa yang dianggap sebagai tindakan berani atau tantangan bagi seseorang, bisa dipandang sebagai tindakan sembrono atau melampaui batas dalam budaya lain.

Dalam konteks insiden jatuhnya pendaki asal Brazil di Gunung Rinjani, perbedaan persepsi terhadap risiko antara budaya Brazil dan Indonesia menjadi elemen penting dalam memahami latar belakang tragedi ini.

Kasus jatuhnya pendaki asal Brazil di Gunung Rinjani bukan sekadar tragedi individu di medan ekstrem, tetapi juga sebuah cermin dari kompleksitas komunikasi antarbudaya dalam konteks global yang semakin saling terhubung.

Dalam dunia wisata modern yang mempertemukan pelancong dari berbagai negara dengan budaya lokal yang kaya dan beragam, kesalahpahaman tidak hanya mungkin terjadi, tetapi tak terelakkan.

Melalui kerangka Geert Hofstede, kita dapat melihat bahwa dimensi budaya bukanlah konsep teoritis semata, melainkan prinsip-prinsip nyata yang memengaruhi bagaimana manusia merespons risiko, menyampaikan informasi, dan mengekspresikan duka.

Budaya Brazil mendorong ekspresi terbuka terhadap ketidakpastian dan pencarian kejelasan, sementara budaya Indonesia mendorong kehati-hatian, kepatuhan terhadap otoritas, dan pengendalian ekspresi emosional dalam ruang publik.

Ketimpangan komunikasi yang terjadi—baik antara keluarga korban dan otoritas, antara media lokal dan internasional, maupun antara sistem sosial Indonesia dan harapan budaya luar—menunjukkan pentingnya pengelolaan komunikasi krisis yang berperspektif antarbudaya.

Dalam era global, kehadiran wisatawan asing dalam kawasan rawan seperti gunung, laut, atau hutan, menuntut tidak hanya kesiapan teknis, tetapi juga kepekaan kultural dalam membangun sistem informasi, pelaporan, dan pertolongan.

Ke depan, insiden ini seharusnya menjadi pemicu bagi otoritas wisata, media, dan komunitas lokal untuk menyadari bahwa keselamatan dan kepercayaan tidak dibangun dari prosedur semata, tetapi juga dari cara kita saling memahami dan menghormati cara orang lain memaknai dunia. Pelatihan komunikasi antarbudaya perlu diintegrasikan ke dalam sistem pariwisata dan penanggulangan bencana, terutama di kawasan wisata alam ekstrem.

Pemahamam ini penting, sehingga semua stakeholder di bidang pariwisata bisa menjamu tamu-tamu mancanegara kita itu dengan mengesankan tapi juga sekaligus menjaga keselamatannya. Dan yang terpenting lagi, mencegah dan mitigasi bencana yang bisa saja terjadi, terutama di kawasan wisata dengan tingkat bahaya ekstrem karena ketidaktahuan, ketidakdasaran, atau ketidakpahaman mereka terhadap kondisi alam dan kearifan lokal yang ada.

Gunung-gunung kita yang indah bukan hanya sekadar obyek wisata sarana meraup dolar. Namun juga sebuah narasi kehidupan dengan segenap kearifan alam yang agung, namun juga kental dengan nilai spiritualitas bahkan juga mistis. Gunung akan selalu memanggil renjana para pendaki dan pecinta alam, tapi tidak semua bisa kembali. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *