Jalan Tasawuf KH. Syaiful Ulum Nawawi (7)

waktu baca 4 menit
KH. Syaiful Ulum Nawawi (*)

KEMPALAN : Jadi, kembali pada persoalan ‘benar’ dan ‘salah’, ‘putih’ dan ‘hitam’, itu bukan domain tasawuf. Bukan ranah Sufi. Itu ranah hukum positif yang muaranya pengadilan meja hijau.

Pengadilan meja Allah di dunia, adalah “pengadilan” rasa yang lantas menjadikan orang-orang yang nggebuki maling itu sadar bahwa betapa menderitanya maling tersebut. Ibarat “sudah jatuh, tertimpa tangga, digigit ular berbisa pula” hingga akhirnya maling tadi meninggal.

Pernyataan di atas disampaikan oleh KH. Syaiful Ulum Nawawi.

Lebih lanjut dinyatakannya, orang-orang yang nggebuki tadi akhirnya ditangkap polisi, diadili hingga mereka dipenjara. “Begitu kan mestinya alur logikanya?” kata Pak Kyai.

Pada akhirnya, ini adalah percikan hikmah : Kesadaran untuk pada kemudian hari tidak bertindak gegabah, tidak grusa-grusu. Itulah cara Allah dan menyadarkan manusia dengan menyentuh kalbunya.

Mungkin jika yang digebuki tadi maling profesional, kesadaran yang timbul tidak akan begitu ‘njarem’. Tapi karena orang yang digebuki berlatar-belakang begitu kelam dengan kemiskinan akut hingga nekat nyolong untuk pertama kali, maka “hakim massal” itu akan menjadikan ‘njarem’ hatinya akibat perbuatan brutal mereka.

Nah, perkara ‘njarem hati’ itulah wilayah tasawuf. Allah punya cara untuk “menghukum” orang-orang yang bertindak semaunya sendiri.

Pada sisi lain, Allah akan memberi peringatan melalui peristiwa “hakim massal” itu agar orang-orang yang akan berbuat kriminal mengurungkan niatnya.

‘Njarem ati’, ‘penyesalan yang dalam’, ‘kesadaran diri’ dan sejumlah substitusi wilayah rasa yang lain, itulah hakikat jalan tasawuf agar setiap insan manusia menuju kesadaran spiritualnya untuk selalu melakukan tindakan welas asih.

Orang yang sudah melangkah pada jalan tasawuf, insyaAllah tidak akan ikut bergabung menjadi bagian dari “hakim massal”, nggebuki maling itu hingga tewas.

Dan, setiap orang yang melangkah pada jalan tasawuf akan menjadikan lubuk hatinya sebagai cermin refleksi. Karena sesungguhnya Tuhan bertahta di setiap hati manusia ciptaanNya.

Seberapa banyak pantulan cermin ini merefleksikan diri, tergantung seberapa banyak manusia tadi mengolah terus-menerus rasa welas asih-nya yang lantas termanifestasikan dalam laku dan tindakan mulia.

Lantas Pak Kyai mengatakan tahapan untuk sampai pada tindakan mulia tadi, yaitu: Iman, Islam, Ihsan.

Kosakata ‘ihsan’ sebagaimana dinyatakan beliau, artinya laku sehari-hari yang baik yang basisnya adalah welas asih .

Cobi direnungaken , Pak Amang…” kata KH. Syaiful Ulum Nawawi.

“Pada hakikatnya Sufi itu melayani,” kata beliau. “Maling pun dilayani. Kalau ada maling ketangkep, dipersilakan duduk di ruang tamu. Disuguhi sebagaimana umumnya. Di situ lantas diajak ngobrol, apa sebab mencuri. Intinya dibukakan ‘pintu’. Untuk kemudian memasuki jalan tasawuf, menuju ihsan. Saat dilepas untuk pulang, kalau perlu diberi sangu dan bekal secukupnya.”

“Jadi, Sufi itu melayani. Bukan menghukum. Sufi itu menyadarkan, bukan membuntukan jalan hidup.”

“Begini, Pak Amang. Supaya rileks, santai, saya mau cerita tentang maling dan yang dimalingi,” tutur beliau seraya menunjuk hidangan yang terhampar di meja. “Saya rasa Pak Amang sebagai jurnalis sudah pernah dengar, ya…”

“Lupa lupa ingat, Pak Kyai,” jawab saya.

Lantas berkisahlah Pak Kyai :

Tersebutlah seorang laki-laki yang tinggal di sebuah rumah bersih asri, di perkampungan tepi hutan. Nama laki-laki itu –sebut saja– Kasmir.

Kasmir ini lelaki yang rajin. Rumahnya dari luar tampak bersih, sehingga sering dikira orang kaya, yang pada suatu hari mengundang maling untuk menyatroni rumah ini. Padahal sesungguhnya Kasmir ini tidak punya apa-apa. Banyak orang mengira hidupnya “baik-baik saja.”

Suatu malam –sebut saja– Gendon, membobol rumah Kasmir.

Kasmir mendengar bunyi ‘krieettt’ dari salah satu jendela, sudah bisa mengira pasti itu maling. Kasmir tidak berusaha mencegah Gendon masuk, malah lari sembunyi.

Gendon yang sudah ngubek-ubek seisi rumah, tidak menemukan satu pun barang berharga yang bisa dicuri yang nantinya layak untuk dijadikan uang.

Saat memasuki salah satu kamar dekat dapur, Gendon menemukan peti kayu lumayan besar. ‘O..disini rupanya barang-barang berharga disimpan,’ pikir maling itu dengan hati berbunga-bunga.

Saat peti kayu itu dibuka, ternyata Kasmir meringkuk disitu sambil menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.

“Hai, ngapain kamu sembunyi disitu?!” kata Gendon dengan sangar.

“Saya malu…”

“Malu?” kata Gendon.

“Ya, malu. Karena tak ada barang yang bisa kamu bawa pulang. Saya tidak punya apa-apa yang bisa saya berikan,” kata Kasmir.

Menurut Pak Kyai, kisah maling dan Kasmir ini multi tafsir. Tergantung masing-masing orang memaknainya.

“Kalau Pak Amang, bagaimana menafsirkannya?”

“Kalau saya sih, Pak Kyai — mereka itu hidup pada entitas miskin. Sama-sama susah. Ya, mari saling berkesadaran. Yang mas maling sadar untuk menjauhi tindakan kriminalitas, sedangkan untuk Mas Kasmir ayolah lebih tekun berpikir inovatif dan lebih giat bekerja. Sementara aparat keamanan, hendaknya lebih meningkatkan pengamanan, agar maling-maling berdasi dan koruptor bisa ditangkapi… “

“Lho…lho … opini Pak Amang kok tendensius. Lima baris kalimat terakhir, itu sudah memasuki wilayah logika, bukan wilayah rasa lagi …” tutur KH. Syaiful Ulum Nawawi terkekeh. (Amang Mawardi – Bersambung).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *