Tertunda Nyicil Lukisan, Tersebab Perpanjangan SIM
SURABAYA-KEMPALAN : Beberapa hari lalu sekira pukul 07.30 saya masih melihat salah satu sepeda motor anak saya di teras rumah. Biasanya pukul 07.00 sudah tak terlihat.
Lantas saya temui istri yang sedang berada di ruang tengah.
“Buk, (saya sebut nama salah satu anak saya) libur ta, kok (sepeda) motornya masih parkir di teras?”
“Izin kantor, Pak. Mau ngurus perpanjangan SIM,” kata Bu Istri.
Deg! Begitu disadarkan oleh jawaban Bu Istri, kayaknya SIM saya juga (mau) habis masa berlakunya. Soalnya, tanggal kelahiran saya lebih dulu lima hari dibanding anak perempuan saya itu. Dia tanggal 18, saya 23 — di bulan yang sama.
Cepat-cepat saya ambil dompet, saya keluarkan SIM A dan SIM C. Eladalah, hari itu persis habis masa berlakunya, yang jika ditelusur lima hari jelang ulang tahun saya.
Kalau dulu masa berlakunya dipaskan ulang tahun pemegang SIM, mungkin 10-15 tahun sebelum ini.
Baru saja anak saya turun dari lantai atas, lantas saya bilang, “Nduk, bapak ikut gabung!”
Pagi itu saya dibonceng motor ke Terminal Bratang, Surabaya. Lima tahun lalu saat ngurus perpanjangan SIM, lokasinya masih di Taman Bungkul. Artinya, sekarang jaraknya lebih pendek dari rumah, sekitar 6 kilometer. Kalau ke Taman Bungkul kurang lebih 10 kilometer.
Benar saja, “kantor berjalan” pengurusan perpanjangan SIM berupa (mungkin) truk besar yang dimodifikasi, tampak di bagian utara terminal itu. Seputar pukul 08.30 saat kami datang, sudah nangkring di situ.
Setelah basa-basi tanya petugas, ditunjukkan proses awalnya dimana jari tangan petugas tadi mengarah barat daya di bagian terminal ini — tempat menjalani pemeriksaan kesehatan dan psikotes.
Seingat saya, dulu saat perpanjangan SIM masih di Taman Bungkul, tak ada pemeriksaan kesehatan dan psikotes. Maaf kalau saya keliru.
Setelah mengumpulkan foto copy KTP dan foto copy SIM A serta SIM C, juga SIM asli, saya disuruh menunggu.
Sedangkan anak saya ternyata tidak bisa perpanjangan, karena sudah melewati masa berlakunya SIM C-nya.
Kata petugas di situ, disuruh menghubungi Pak RT setempat. Nanti Pak RT akan memberi nomor telepon Binmas Polantas agar bisa ujian SIM kolektif di sekitar tempat tinggal kami.
Dari sini saya mencoba menebak arah bahwa ujian SIM tidak perlu terpusat di Colombo kawasan Perak Barat sana yang antrenya bisa lebih dari sehari. Selain itu sangat jauh dari rumah, lebih kurang 25 kilometer. Sebuah upaya yang solutif dari pihak berwenang.
Makanya pernah beberapa kali di bangunan baru berupa pasar yang belum banyak ditempati –dekat Puskesmas Gunung Anyar– sering saya lihat orang-orang ujian praktik berkendara, ditandai dengan rambu-rambu dan ‘bilangan 8’ di aspal jalanan di lokasi pasar tersebut untuk ujian “zig zag” dan lain-lain.
Pagi itu, disitu — di Terminal Bratang, sudah ada seputar 25 orang duduk menunggu giliran dipanggil. Di titik dimana tadi ditunjukkan arah oleh petugas di “kantor berjalan” tersebut.
Dua puluh menit kemudian, terdengar nama saya disebut. Lantas saya masuk ke ruangan ukuran 4 x 4 meter. Mula-mula tes mata, melihat besaran huruf dari ukuran paling besar hingga terkecil. Dua terkecil dari bawah, huruf-hurufnya sudah tidak bisa saya baca. Kaca mata saya memang minus 1, ada indikasi silinder juga. Dulu pernah minus 14. Tahun 2001 setelah dioperasi dan ditanam contaks lens, lama-lama yang semula “menjelma” ukuran 0 kini jadi minus 1.
Lantas saya disuruh melihat warna-warni dengan terselip diagram tokek (tes buta warna). Saya bisa melaluinya.
Kemudian dilakukan tes pendengaran. Kuping kanan saya yang makin budeg, didekati sebuah alat mirip garpu tala yang dipegang seorang petugas laki-laki. Terdengar bunyi dengung lirih. Saya bilang, “agak budeg telinga saya ini, Mas”.
Lantas petugas kesehatan tadi mendekatkan logam tersebut ke telinga kiri saya. Sebetulnya telinga kiri saya ini juga budeg, tapi karena saya menggunakan ‘abd’ (alat bantu dengar) mini dengan kabel sangat kecil yang jika tidak diamati seksama tidak kentara (cukup canggih, karena harganya relatif mahal) — terdengar dengung cukup keras. Tandanya telinga saya sehat. Padahal pakai ‘abd’.
Setelah itu tensi darah saya diperiksa. Lumayan tinggi: 147/90. Waduh –saya berseru dalam hati– rupanya cuaca cukup panas pagi itu menaikkan tekanan darah saya. Begitulah, salah satu kelemahan tubuh saya, jika kena sengatan matahari –lebih-lebih jika siang– tensi gampang melesat naik.
Setelah itu saya diberi selembar kertas catatan kesehatan saya oleh perempuan petugas yang ngukur tensi saya tersebut. Saya menduga-duga, orang ini kalau tidak dokter ya perawat. Outfit-nya tidak menunjukkan petugas medis yang biasanya serba putih.
Pada kertas hasil tes kesehatan itu, tertulis catatan : telinga kanan bermasalah. Ada juga hasil pengukuran tensi darah saya.
Dari ruang 4 x 4 meter itu, kemudian saya menuju lokasi psikotes di sebelah, di ruang terbuka tak bersekat tapi beratap (semacam awning).
Hasil tes kesehatan saya serahkan kepada dua petugas bagian psikotes. Lantas ditumpuk. Saya pun menunggu dengan menempati bangku duduk tersedia. Ada empat orang sedang mengerjakan psikotes di depan dua orang petugas psikotes tersebut.
Tak lama, saya dipersilakan duduk di depan dua orang petugas tersebut. Seseorang yang ikut tes macam saya, duduk persis di sebelah kiri.
Petugas yang berbaju biru lengan pendek persis di depan saya, menyerahkan daftar pertanyaan tercetak. Ada lima Bab, Bab I sampai V. Yang disuruh mengerjakan Bab V saja dengan 30 pertanyaan.
Bab I sampai Bab IV tercetak di lembaran kertas, berupa semacam gambar-gambar dengan beberapa pilihan.
Sedang Bab V tentang sopan-santun di jalanan dan tingkat emosi pengguna jika jalanan macet, atau “Bagaimana reaksi Anda jika ada pengendara yang membunyikan klakson berkali-kali manakala lalu lintas sedang macet?”– dll. semakom itu.
Soal 30 dengan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’, tidak saya baca dengan njelimet. Dan pilihan saya asal coret. Pikir saya saat itu: banyak atau sedikit nilai saya, toh saya akan lulus juga.
Kurang lebih 10 menit soal dengan jawaban multiple choice itu saya selesaikan. Lantas saya serahkan ke Mas baju biru, ganteng dan masih muda. Selintas saya berpikir, ‘mungkin dia seorang psikolog’.
Setelah jawaban saya diperiksa, saya lirik terdapat angka 26 dalam tulisan bolpoin di bagian bawah kertas jawaban itu. Berarti saya cuma salah 4.
Lantas ditanya:
“Bapak masih nyetir luar kota?”
Saya jawab:
“Tidak”.
“Masih nyetir malam hari?”
Saya jawab :
“Tidak”
Dia tanya lagi:
“Tapi siang hari masih nyetir?”
“Ya, masih. Tidak lebih dari 10 kilometer”.
Dalam usia 71 tahun, rasanya sudah tidak kuat nyetir jauh-jauh. Kadang-kadang melintas memori yang mengadegankan peristiwa-peristiwa seputar 25-35 tahun lalu, antara lain masih kuat nyetir dari Surabaya ke Jakarta dengan beberapa kali berhenti. Bahkan lebih kurang enam tahun lalu, saya ditemani Bu Istri, masih kuat menjalankan mobil tua saya keluaran 2004 : Surabaya – Sampang pulang pergi. Padahal sekali jalan jaraknya 80 kilometer.
Makin tua kekuatan jantung dan otot makin berkurang. Saya harus sadari itu. Memang ada beberapa orang teman yang kuat nyetir jarak jauh meski usianya di atas saya.
Apapun,
saya harus mewaspadai keterbatasan energi fisik saya. Juga kapasitas pikiran. Jika tidak, risiko negatif siap menyergap.
Seperti saya duga sebelumnya, saya lulus psikotes. Dan saya yakin, semua peserta psikotes hari itu lulus semua.
Akhirnya sampailah saya kembali ke “kantor berjalan”, dari lokasi pemeriksaan kesehatan dan psikotes yang jaraknya lebih kurang 150 meter.
Setelah menunggu 1menit giliran beberapa peserta perpanjangan dipanggili satu per satu. Kami pun masuk ke “kantor berjalan” itu. Untuk apa? Untuk difoto.
Menunggu lagi sekitar 10 menit. Dua SIM saya pun, akhirnya saya terima. Saya amati foto saya di SIM itu. ‘Waduh wis tuwek, rek. Kedua mata nampak cekung,’ saya membatin.
Hari itu saya menghabiskan waktu kurang lebih 90 menit untuk ngurus perpanjangan SIM. Saya membatin, saat menunggu panggilan di “tiga seksi” tadi rasanya gak terlalu lama. Tapi kalau ditotal 1,5 jam. Kok bisa ya?
Proses pelayanan termasuk cekatan, tapi saya membatin ‘Itu para petugas apa gak bisa senyum dikit aja, supaya cuaca Surabaya yang menyengat bisa sedikit adem…’
Total biaya perpanjangan ngurus dua SIM itu : Rp. 405.000. Rinciannya: pemeriksaan kesehatan Rp. 100.000; psikotes Rp. 150.000; foto dan cetak dua SIM Rp. 155.000.
Terpaksa untuk nyicil lukisan kaligrafi, saya tunda dulu.
Uangnya kepakai untuk perpanjangan SIM A dan SIM C. (Amang Mawardi).