Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, Emil Dardak: Bangun Awareness, Kurangi Stigma, dan Sebarkan Pesan Positif

waktu baca 3 menit
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak menaruh perhatian khusus kepada pentingnya membangun awareness bagi masyarakat untuk mencegah tindakan bunuh diri. Hal ini disampaikan pada peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia atau World Suicide Prevention Day.

Surabaya-KEMPALAN: Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak menaruh perhatian khusus kepada pentingnya membangun awareness bagi masyarakat untuk mencegah tindakan bunuh diri. Hal ini disampaikan pada peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia atau World Suicide Prevention Day.

Agenda ini diselenggarakan oleh International Association Suicide Prevention) Perwakilan Indonesia bekerjasama dengan Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FK-UNAIR dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Cabang Surabaya.

“Kami (Pemprov Jatim) memenuhi undangan dari Fakultas Kedokteran Unair dan hadir sebagai wujud dukungan, malam ini adalah peringatan World Suicide Preventions Day dan satu hal yang perlu kita bangun sebuah kesadaran dan pemahaman bahwa ini adalah medical issue,” ucap Emil di Halaman Depan Aula FK Unair Surabaya, Sabtu (10/9/2022).

Menurut IASP (International Association Suicide Prevention), setiap 40 detik, seseorang melakukan bunuh diri di seluruh dunia. Hal ini sama dengan sekitar 800 ribu kejadian bunuh diri setiap tahunnya.

Sementara itu, berdasarkan data Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJN) 2019, Kementerian Kesehatan RI menyatakan di Indonesia terdapat lebih dari 16 ribu kasus bunuh diri setiap tahunnya. Ini artinya pada tahun tersebut, ada 2,6 kasus bunuh diri per 100 ribu orang dan tingkat bunuh diri pria 3 kali lebih banyak dari wanita.

“Ini adalah sebuah health conditions, bukan sesuatu yang kemudian diberikan stigma dan sesuatu yang kemudian di judge secara sepihak, kita harus peka bahwa ada perbedaan antara depresi dan situasi sedang tidak happy,” ungkap Emil.

“Saat orang tidak tau batasnya dan merasa orang disekitarnya tidak mengapreasiasi, itu sulit, dia tidak akan menemukan sandaran apapun, inilah maka pentingnya kemudian ada awareness,” sambungnya.

Emil mengajak kepada civitas akademika Fakultas Kedokteran Unair untuk dapat menyebarkan pesan positif dan informatif kepada populasi umum akan kepekaan terkait permasalahan ini.

“Harapannya awareness ini dapat terbangun dari lingkaran terdekat dulu, kadang kita punya teman kemudian cerita dan butuh pertolongan, entah itu hanya sekedar lagi sedih atau menjurus ke depresi setidaknya segera akses pertolongan dulu,” ucapnya.

“Teman bisa jadi penolong utama, saya mengapresiasi bahwa awareness ini dilakukan kepada seluruh civitas akademika di Fakultas Kesehatan Unair, karena rekan-rekan sekalian disini adalah role model bukan hanya didunia kesehatan tapi juga role model bagi seluruh masyarakat,” sambungnya.

Emil juga menuturkan bahwa perlunya peningkatan kapasitas penyedia layanan kesehatan serta fasilitasi diskusi terbuka tentang kesehatan mental.

“Beberapa waktu lalu, saya juga berkesempatan berdiskusi, waktu itu ada startup namanya riliv di Surabaya yang fokus bagaimana memberikan akses online health conceling dan ini menjadi sangat penting,” ujarnya.

Sebagai penutup dalam sambutannya, Emil mengapresiasi FK Unair dan PDSKJI Cabang Surabaya yang menjadi bagian dari IASP untuk memberikan harapan bagi mereka yang sedang berjuang.

“Mudah-mudahan tentunya kalau yang memiliki awareness ini adalah temen-temen sekalian yang merupakan the highly intelectual generation, masyarakat luas juga akan lebih mudah untuk teredukasi,” pungkasnya.

Sementara itu, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) sekaligus perwakilan dari IASP Nalini Muhdi, dr. SpKJ (K) mengutarakan bahwa kasus bunuh diri perlu menjadi bagian penting dari undang-undang kesehatan di Indonesia.

“UU Kesehatan masih mengatakan bahwa suicide itu ilegal, maka di semua rumah sakit di Indonesia, suicide itu tidak dijadikan diagnosis karena tidak di cover oleh sistem asuransi kesehatan apapun, itu yang jadi masalah dan itu sudah saya laporkan,” tuturnya.

“Kita adalah teman mereka, kita harus menjadi orang yang empati, supportif dan menimbulkan harapan bagi mereka, bukan menghakimi,” tutupnya.

Editor: Freddy Mutiara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *