Mural yang Mustahil Dihentikan, Itu Seperti Mustahil Menginjak Bayangan Diri Sendiri

waktu baca 5 menit
Ilustrasi bayangan.

KEMPALAN: Mural sebagai pesan sosial, itu hal biasa. Sebagai bentuk protes sosial, tentu mural bukan sumber masalah. Mural hanyalah faktor yang mengikuti sumber masalah yang sebenarnya. Jika sumber masalah ditemukan, mural dengan sendirinya akan terkubur. Masalahnya apakah ada niat mencari untuk menemukan sumber masalahnya. Itu dulu yang mestinya dijawab.

Jadi mengapa mesti memusuhi maraknya mural yang muncul bertebaran. Munculnya mural merupakan fenomena yang tidak perlu disikapi berlebihan. Terima saja apa adanya, mural akan terus hadir dan bisa jadi akan diproduksi massal atas nama kemiskinan, ketidakadilan dan hal lain yang menyengsarakan.

Mural itu bentuk protes secara terbuka, bisa muncul berupa gambar dan lalu siapa saja yang melihatnya akan mengerti maknanya. Ada pula mural yang berupa gambar, dan perlu diberi penekanan kata-kata agar maksud yang terkandung bisa ditangkap lebih jelas lagi. Tapi ada pula mural yang hanya sepotong kalimat tanpa perlu diberi gambar. Misal, “Tuhan Aku Lapar”.

Apapun pilihannya, mural muncul karena ketidakpuasan pribadi, atau bisa muncul sebagai suara rakyat atas kondisi yang ada, dan lalu dimuntahkannya lewat gambar atau kalimat pada dinding mana saja yang ditemui, yang sekiranya pesan itu bisa sampai dan terbaca.

Mural dalam bentuk protes itu akan terus bermunculan tidak mungkin bisa dibendung atau ditakut-takuti dengan penangkapan segala, sebelum apa yang diikhtiarkan lewat protesnya tercapai. Alangkah tidak bijaknya, jika mural dalam bentuk protes dipermasalahkan. Diburu pelakunya, seperti layaknya teroris.

Berbagai mural mengkritik kebijakan penanganan pandemi dan Jokowi (kolase Kempalan)

Mural-phobia, itu seperti melihat bayangan sendiri, takut pada bayangan sendiri (sciophobia) lalu ingin bayangan itu tidak tampak. Maka upaya menghapus mural protes sosial itu terus diupayakan, berharap agar tidak banyak mata melihatnya. Tapi zaman sudah berubah, mural yang coba dihapus itu sudah menyebar lewat medsos, dan itu mustahil bisa dihapus.

Setiap dihapus di sini, maka di sana mural bertumbuh dan terus bertumbuh, seolah jamur di musim hujan. Produsen cat akan panen dengan banyaknya mural yang dibuat, dan yang lalu dihapus. Perlawanan rezim menghapusnya, sekali lagi, sia-sia. Pesan mural itu sudah melanglang buana, tidak berhenti di tembok lokasi dan lalu dihapus,

Fenomena mural muncul bertebaran, itu pertanda suara rakyat tidak terwakili. Wakil rakyat di parlemen dan penguasa tidak hadir mewakili, maka mural jadi bentuk pilihan protes atas tidak hadirnya pihak lain mendengarnya. Maka lewat mural ekspresi dimunculkan.

Mural sebagai bentuk protes tentu bukan barang baru, ini barang lama, bahkan sejak zaman van Mook, zaman kolonial dulu, yang terus di-update. Dan jika mural muncul menyasar orang yang mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang matanya ditutup, dan tertulis di sana: 404: Not Found, tentu punya alasannya sendiri.

Mural yang menyasar orang mirip Jokowi yang ramai itu, maknanya memang dalam. Tidak semua orang memahaminya. Tapi karena diramaikan, maka semua lalu mencari tahu, yang maknanya lebih kurang, “tidak hadir saat dibutuhkan”. Setidaknya itu yang dirasakan pembuat mural itu, dan bisa jadi yang dirasakan publik luas.

Jika lalu banyak pihak merasakan hal yang sama dalam memaknai mural itu, maka sebenarnya itu suara rakyat sebenarnya, yang mustahil bisa dibendung, dan lalu dimunculkan dalam bentuk mural.

Van Mook, Picasso, … dan Jokowi

Mural sebagai kritik sosial atau pesan moral, itu bukan barang baru. Sejak zaman dulu kala pun, sekitar 31.500 tahun lalu, pada masa pra sejarah, setidaknya mural sudah dibuat. Sebuah lukisan di sebuah gua di Lascaux, sebuah tempat di Selatan Prancis, bisa sebagai bukti. Tentu tidak dengan media cat, tapi melukis dengan menggunakan buah-buahan yang berwarna. Prancis dianggap awal munculnya mural art.

Mari melompat pada abad ke-20, Pablo Picasso, lahir di Spanyol tapi hidup berkarya dan mati di Prancis, pun membuat lukisan yang dianggap sebagai mural, “Guernica” (1937). Sebuah “mural art” hanya saja dibuat di atas kanvas, sebagai protes antiperang seorang Picasso.

Guernica, sebuah daerah di Spanyol, yang dibombardir tentara Nazi Jerman. Penduduk sipil warga Spanyol terbantai dengan jumlah tidak sedikit. Itulah bentuk protes, dimana Picasso melukisnya dengan warna hitam dan coklat, tampak redup warna sebagai perwujudan hati gulana pelukisnya. Tapi Guernica dianggap salah satu karya besar Picasso.

Mural “Guernica” karya Pablo Picasso (Wikimedia)

Juga mural muncul saat Hubertus Johannes van Mook (1944-1948), yang dikenal sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir. Di masa van Mook, mural pun tampak menyeruak dibanyak tempat, meski hanya mural dengan sepotong kalimat bentuk protes, “Toehan, Akoe Lapar !”, “Merdeka Ataoe Mati”… dan seterusnya.

Itulah mural, yang menghiasi tembok-tembok di mana saja bisa dijumpai. Dan jika banyak yang melihat gambar atau membaca kalimat yang ada, khususnya rezim yang berkuasa, mestinya hidup akan berubah, itu jika rezim benar-benar ingin mural tidak lebih merebak lagi.

Jika saat ini muncul warna-warni mural sosial bentuk protes, tentu itu suara rakyat melihat rezim yang tidak bekerja sesuai dengan ekspektasi yang diharap. Rezim yang dianggap dusta atas janji-janji masa kampanye dulu, lalu rakyat memberontak dengan caranya, dan mural menjadi pilihan.

Protes atas Rezim yang dianggap lalai, tidak hadir saat rakyat menghadapi kesulitan hidup, maka 404: Not Found, itu dikirim sebagai protesnya. Dan tentu mural-mural lain muncul dimana-mana. Di era medsos ini, jangkauan mural tidak sebatas ada di dinding sebuah kecamatan atau kabupaten/kota kecil, tapi menyebar di seantero negeri, bahkan mancanegara.

Janganlah lalu sensi saat mural “ditonjokkan” pada penguasa negeri ini, lalu pembuat mural dikejar-kejar guna disumpal pikirannya. Hal mustahil, yang itu serupa ingin menghilangkan bayangan diri yang mengikuti gerak tubuh sendiri. Silahkan injak bayangan itu sesuka hati, itu hal mustahil bisa menghilangkan bayangan, seperti juga hal mustahil bisa menghentikan pikiran dan hati rakyat bergejolak meminta hak-haknya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *