Imperialisme All England

waktu baca 6 menit
Marcus Fernaldi Gideon / Kevin Sanjaya Sukamuljo saat menghadapi Matthew Clare / Ethan Van Leeuwen pada laga babak pertama All England 2021 di Utilita Arena Birmingham, Rabu (17/3/2021) malam WIB. (Badmintonphoto)


KEMPALAN:
All England adalah turnamen bulu tangkis paling tua di dunia yang usianya sudah 120 tahun, dan sudah digelar secara rutin sejak akhir abad ke-19. Indonesia termasuk pendatang baru di arena itu karena pebulutangkis Indonesia baru ikut main pada 1950-an.

Meski begitu reputasi Indonesia sangat tinggi di All England karena pada 1959, untuk kali pertama, atlet Indonesia menjadi juara tunggal putra yang bergengsi melalui Tan Joe Hok. Kemenangan ini sekaligus mengakhiri dominasi pebulutangkis Eropa, terutama Denmark dan tuan rumah Inggris yang selalu merajai turnamen.

Kemenangan Tan Joe Hok bukan sekadar kemenangan olahraga, tapi lebih dari itu, kemenangan ini adalah kemenangan diplomasi politik internasional Indonesia. Kemenangan ini dianggap sebagai kemenangan nasionalisme Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme Eropa.

Pada tahun-tahun itu Presiden Sukarno tengah galak-galaknya membangun nasionalisme bangsa melalui revolusi mental
dengan semboyan “character and nation building”, membangun negara dan membangun karakter bangsa.

Bung Karno tengah gencar membangun koalisi dunia ketiga melalui gerakan non-blok untuk menciptakan aliansi baru diluar dominasi negara-negara imperialis yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dua negara itu muncul sebagai raksasa baru pemenang Perang Dunia Kedua dan membagi-bagi pampasan perang dengan bagi-bagi wilayah kekuasaan. Soviet dapat bagian wilayah Eropa Timur dan Amerika bersama sekutunya Inggris mendapat bagian Eropa Barat.

Bung Karno juga menantang Belanda yang sudah keenakan menjajah Indonesia dan mau balik lagi, “Ini dadaku mana dadamu”. Begitu tantangan Bung Karno kepada Juliana of the Netherlands, ratu Belanda. Tentu saja Juliana tidak berani menerima tantangan Bung Karno karena Juliana tidak mungkin membuka dada di depan Bung Karno.

LEGENDA ALL ENGLAND: Rudy Hartono dan Liem Swie King di Final All England 1976. Rudy pemegang rekor 8 kali juara All England. Sedangkan King juara 3 kali.

Bung Karno mengobarkan semangat revolusi dengan semboyan “revolusi tiada henti” ala Trotsky. Di arena diplomasi internasional revolusi dikobarkan. Di arena olahraga pun revolusi berkobar. Dan atlet-atlet Indonesia terbukti punya semangat tanding yang revolusioner di arena internasional. Di ajang Olimpiade internasional tim sepakbola Indonesia yang mewakili Asia berhasil maju ke perempat final pada Olimpiade ke-15 di Melbourne, Australia.

Sebagai juara Asia Indonesia menantang Rusia di perempat final dan berhasil menahan imbang 0-0 sampai babak perpanjangan waktu 2×15 menit. Pertandingan kemudian diulang 36 jam kemudian. Atlet Indonesia sudah lumpuh kehabisan tenaga dan menyerah 0-4.

Kalah, tapi sejarah itu tercatat, betapa semangat nasionalisme yang membuncah bisa menjadi energi besar menghadapi lawan-lawan yang lebih superior. Bela negara di arena perang sama saja dengan bela negara di arena olahraga. Penjaga gawang Indonesia Maulwi Saelan adalah prajurit TNI ketika itu. Ia yang pensiun dengan pangkat kolonel mengabadikan momen sejarah itu dalam biografinya “Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 1966”.

Ia menggambarkan luapan nasionalisme rekan-rekan satu timnya ketika menghadapi Rusia. Ia menggambarkan dirinya sebagai prajurit terakhir yang menjaga benteng pertahanan dari gempuran dahsyat lawan.
Tan Joe Hok juga punya semangat revolusi ala Maulwi Saelan. Ia peranakan China yang dipertanyakan nasionalismenya karena tidak mau mengubah namanya menjadi nama Indonesia.

Bung Karno sendiri ketika itu mendorong komunitas China peranakan agar mengganti nama untuk menunjukkan identitas nasional Indonesia. Tan Joe Hok menolak mengubah nama, karena baginya nama adalah identitas budaya yang menunjukkan kebhinekaan Indonesia. Nasionalisme bukan ada di nama tapi dalam sikap dan semangat perjuangan di arena pertandingan. Joe Hok membuktikan nasionalismenya, dan Bung Karno mengizinkan Joe Hok tetap memakai nama Tionghwa.

Pada 1955 Bung Karno menggalang dukungan negara-negara Asia-Afrika dan mengumpulkan mereka di Bandung dalam Konferensi Asia-Afrika pertama. Para pemimpin revolusioner kelas dunia seperti Jawahral Nehru dari India, Chou Enlai dari China, Gamal Abdel Nasser dari Mesir, Kwame Nkrumah dari Ghana, bersama total 29 negara sepakat untuk membuat gerakan Non-Blok yang tidak memihak Barat maupun Timur. Gerakan

Susi Susanti juara All England 4 kali dan peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992.

ini semakin kuat karena Yugoslavia di bawah kepemimpinan Josip Broz Tito bergabung dalam gerakan ini.

Bung Karno sadar betul bahwa olahraga bisa menjadi senjata diplomasi yang ampuh. Kemenangan Joe Hok meyakinkan Bung Karno bahwa olahraga bisa menumbuhkan nasionalisme dan solidaritas bersama dalam menghadapi tantangan dari luar. Bung Karno pun menggagas even olahraga multi-ajang sebagai tandingan ajang Olimpiade ciptaan Barat. Maka pada 1962 Jakarta menjadi tuan rumah pertama pekan olahraga Ganefo, Games of New Emerging Forces, pekan olahraga negara-negara kekuatan baru. Bung Karno membangun Gelora Senayan yang berstandar internasional, lalu membangun Monumen Nasional dan Masjid Istiqlal, ketiga-tiganya menjadi monumen nasional berkelas internasional yang menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam percaturan politik dunia.

Legacy Bung Karno  dilanjutkan oleh Pak Harto yang juga menyadari pentingnya olahraga dalam membangun solidaritas bangsa. Pak Harto memperkenalkan strategi olahraga nasional dengan semboyan “Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat”. Jargon khas otoritarianisme Orde Baru ini terbukti ampuh mendorong prestasi dan prestise olahraga nasional. Ajang olahraga antar-negara Asia Tenggara, SEA Games yang digagas pada zaman Bung Karno pada 1959 terbukti menjadi arena dominasi Indonesia. Selama Orde Baru Indonesia menjadi juara SEA Games tujuh kali. Sebuah prestasi yang nyaris mustahil terulang.

Di masa Pak Harto Indonesia mengalami masa keemasan prestasi bulu tangkis di arena internasional. Di All England Rudy Hartono menjadi legenda pemegang rekor juara delapan kali. Sebuah rekor yang menakjubkan dan sulit ditandingi. Rudy Hartono kemudian melahirkan generasi juara All England di era 1980-an seperti Liem Swie King dan Icuk Sugiarto yang menjadi juara dunia pada 1983, dan Susi Susanti menjadi atlet Indonesia pertama yang memenangkan medali emas pada Olimpiade Barcelona 1992.

Para pebulutangkis Indonesia menggetarkan semua even pertandingan bulu tangkis dunia. Setiap atlet pasti akan gemetar menghadapi Indonesia. Wibawa Indonesia begitu besar dan disegani di semua ajang kejuaraan bulu tangkis dunia.

Tapi, yang terjadi di turnamen All England Kamis (18/3) kali ini benar-benar tragis dan bisa menjadi cermin kemerosotan wibawa Indonesia. Atlet Indonesia dilarang melanjutkan pertandingan di All England dan dipaksa melakukan isolasi karena berada pada satu pesawat yang sama dengan penumpang yang positif Covid 19.

Sikap panitia All England ini mendegradasikan reputasi Indonesia dan mempermalukan citra Indonesia di kancah internasional. Atlet Indonesia bukan hanya dilarang bermain tapi juga ditelantarkan oleh panitia sehingga harus jalan kaki menuju hotel.

Sejarah kejayaan bulu tangkis Indonesia sudah terkubur menjadi kenangan masa lalu. Strategi pembangungunan olahraga nasional acak adut, tidak ada panduan dari  pemimpin yang visioner yang mampu memahami posisi strategis olahraga dalam percaturan politik dunia yang masih dicengkeram oleh imperialisme gaya baru. Tragedi  All England ini mencerminkan semua itu.

Dulu kita teriak “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis”. Sekarang kita meratap, “Kepada Amerika kita setia, di Inggris kita menangis”. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *