Zaim Saidi, Kemakmuran Berketuhanan, dan UU Positif Kita
Apa yang kita bawa saat kita ke warung untuk ngopi di warung kopi, atau kafe? Berbelanja ke pasar, atau ke supermarket? Tentu jawabannya adalah uang. Tidak hanya untuk kepentingan tersebut, uang kita perlukan untuk bersekolah, bertamasya, dan bermain, membayar keringat karyawan, dan sebagainya.
Uang tersebut beredar di masyarakat, di perusahaan; untuk konsumsi maupun untuk investasi; untuk kepentingan ekspor dan impor dan pengeluaran pemerintah. Yang secara keseluruhan kemudian dijadikan untuk mengukur Produk Domestic Bruto (PDB). PDB ini bisa dijadikan sebagai pengukur kemakmuran. PDB ini yang setiap tahun diukur dengan standar satuan uang. PDB diukur untuk mengetahui bagaimana peningkatan dan kemakmuran perekeonomian suatu negara.
Namun, dari perspektif ekonomi, sebagai orang beragama, bagi seorang muslim, tentu dihadapkan pada pilihan yag dilematis. Mengapa? Karena PDB tersebut tidak mencerminkan kemakmuran Islami komunitas muslim. Komunitas Muslim tentu akan sangat selektif untuk memilih apa yang dikonsumsi, apa yang dinvestasikan, apa yang diperdagangkan atau diperjualbelikan. Ini mengingat kehidupan akhiratnya adalah ditentukan oleh bagaimana ia bermuamalah, berinteraksi secara ekonomi, selama hidup di dunia.
Seorang muslim terikat dengan keyakinannya untuk menjalankan semua perintah Tuhannya. Bahwa Tuhannya mengharuskan dirinya untuk meniti jalan suci untuk bisa kembali kepadaNya. Meniti jalan ini perlu kehati-hatian (ketakwaan). Dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi semua harus terikat aturanNya yakni harus berlaku halal, thayib dan barakah. Inilah perekonomian seorang Muslim. Sedangkan untuk mengukur perekonomian suatu tempat atau negara yang popular adalah menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun, bagaimana konsep halal, thayib dan barokah yang merupakan konsep perekonomi muslim itu tidak tercermin dalam pengukuran PDB. PDB menghitung semua konsumsi, investasi, perdagangan, pengeluaran, dsb., tetapi tidak peduli halal maupun haramnya. Halal caranya, halal dzatnya; halal distribusinya, dan harus halal dari produksinya. Sehingga, untuk mengetahui kemakmuran suatu komunitas muslim tidak bisa kemudian menggunakan PDB tersebut. Kalaupun bisa, maka harus melalui screening kehalalan yang memerlukan proses panjang. Dan tentunya akan tecermin PDB yang mengemukakan kekuatan kehalanan dan keharaman ekonomi. Dan jika diperbandingkan mana yang lebih besar dantara PDB yang halal dan yang haram, baru diketahui indeks ekonomi Islamnya.
Pencapaian Indonesia: Problem Trust
Alhamdulillah, kini telah digalakkan industry halal di Indonesia. Industri dalam pengertian luas. Pemerintah Indonesia pun secara umum telah menyelenggarakan gerakan halal untuk Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin dalam Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani pun sebelumnya telah menjadi ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI). Dan yang terbaru Menteri BUMN Erick Tohir menjadi ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES); ditambah lagi politisi Dr. (H.C) Puan Maharani dan H. Bambang Soesatyo, S.E., MBA sebagai dewan pembinanya.
Meski tidak ada yang memiliki background ekonomi syariah, namun diharapkan para pemimpin gerakan ekonomi Islam ini tidak hanya memberikan komitmen an sich, namun juga realisasi dari komitmen tersebut. Mewujudkan apa yang menjadi milestone dalam roadmad ekonomi Syariah Indonesia yang komprehensif.
Dan tentunya berkaca pada para pemimpin muslim di masa lalu yang rela menyedekahkan hartanya atau mewakafkan sebagian harta dan asetnya bahkan keseluruhan hartanya ketika menjabat sebagai pemimpin, para pemimpin gerakan ekonomi syariah di Indonesia sepatutnya memberi teladan yang kurang lebih setara atau di bawah mereka sebagai wujud komitmen keagaman, keumatan, dan kebangsaanya. Dan, tidak hanya menjadikan ekonomi Islam sebagai alternatif karena kondisi ekonomi kini sedang merosot. Jika ekonomi pulih, ekonomi islam akan ditinggalkan. Sepatutnya ekonomi Islam menjadi mainstream perekonomian Indonesia. Dengan teladan itu, bisa dipastikan bahwa seluruh umat Islam akan sami’na wa atho’na pada para pemimpinnya. Mereka akan mendengarkan dan mematuhi kata-kata pera pemimpin. Dengan inilah krisis kepercayaan itu bisa diatasi.
Problem Kedaulatan Uang
Salah satu aspek yang masih menjadi ganjalan adalah tentang penggunaan uang. Kasus terakhir terkait penangkapan seorang aktivis sosial yang juga sosok intelektual Zain Saidi. Pasar Muamalahnya menjadi sorotan karena dinilai melakukan pelanggaran penggunaan mata uang Republik Indonesia: Rupiah. Zaim Saidi hanya menjalankan Sunnah Rasulullah, bahwa sebuah pasar adalah ruang publik yang mana tidak boleh di pasar itu ditarik uang sewa tempat, atau bahkan pajak. Zaim Saidi mempraktikkan itu di pasar muamalahnya.
Selain itu, Zaim Saidi juga meyakini bahwa uang kertas itu adalah riba. Ini karena “Uang (money) adalah harta nyata yang digunakan sebagai alat tukar. Alat perdagangan. Nilainya tetap, berfungsi sebagai alat takar nilai, hakim yang adil. Sedangkan mata uang (currency) adalah nota kredit berbunga yang digunakan sebagai alat tukar. Alat riba. Merupakan pengkhianatan atas nilai, merusak takaran nilai, penjahat yang curang,” ungkap Zaim Saidi dalam cuitan twitternya. Zaim Saidi meyakini bahwa uang yang benar adalah Dinar (uang berbahan emas) dan Dirham (uang berbahan perak) karena lebih real dan anti inflasi.
Namun terlepas dari kebenaran keyakinan tersebut, karena beberapa sarjana ekonomi Islam pun masih berbeda pendapat mengenai penggunaan uang sebagai alat riba, Zaim Saidi mempercayai bahwa Dinar dan Dirham adalah mata uang yang direstui oleh Tuhan untuk digunakan seperti tertulis dalam Alquran. Dan ini pun telah dipraktekkan oleh Rasululah semasa hidupanya ketika bermuamalah. Kemudian, dijadikanlah uang itu oleh Zaim Saidi untuk bertransaksi namun dalam konteks terbatas. Dalam pasar muamalah itu hanya berlaku uang Dinar dan Dirham. Bagi yang memiliki rupiah, bisa menukarkan dengan dengan dinar dan dirham yang disediakan panitia. Dan dinar dan dirham tersebut akan bisa ditukarkan kembali dengan Rupiah ke panitia setelah selesai bertransaksi di pasar.
Praktik tersebut tak ubahnya perbelanjaan bazaar yang ada di masyarakat. Pada menjelang acara perayaan 17 agustus atau pun perayaan-perayaan hari besar lainnya, suatu kampung menyelenggarakan bazaar, yakni pasar dadakan yang di dalamnya terjadi transaksi jual beli antar warga RT dan RW setempat. Dan transaksi jual belinya wajib menggunakan kupon yang disediakan panitia di lokasi atau pun kupon tersebut telah diperjualbelikan ke warga kampung sehari atau seminggu sebelumnya. Uang rupiah pun tidak berlaku dalam bazaar tersebut. Yang berlaku adalah kupon bazar. Pasca penjualan, para pedagang kemudian menukarkan kupon bazaar hasil transaksinya ke pantia untuk ditukarkan kembali dengan rupiah. Bahkan panitia atau pun para pedagang bisa ambil untung dari transaksi menggunakan kupon yang “anti rupiah” itu.
Namun, persoalannya, mengapa kemudian pasar muamalah yang mencoba menerapkan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW dengan Dinar dan Dirham itu ditahan oleh pihak kepolisian dengan dalih melanggar kedaulatan rupiah di Indonesia. Padahal mekanisme transaksinya tidak ubahnya sama seperti transaksi dia bazaar yang ada di kampung tadi, yang juga “anti rupiah”?
Perjuangan konsititusional
Boleh jadi apa yang dilakukan oleh Zaim Saidi adalah suatu proses penyadaran bagi masyarakat tentang keyakinanya untuk menggunakan uang emas dan uang perak sebagai bagian dari praktik keyakianan keagamaan. Melalui pasar muamalah yang dilakukan secara terbatas adalah proses untuk pembelajaran dengan cara praktik langsung.
Jika melirik pada konteks hukum ekonomi Indoensia, kita tahu bahwa hukum Indonesia adalah hukum positif warisan kolonial Belanda. Demikian juga praktek keuangannya mengadopsi pola-pola negara modern dengan menggunakan uang kertas yang tidak lagi diback-up oleh emas yang merupakan hasil perjanjian internasional Amerika Serikat dengan negara pemenang perang pasca Perang Dunia II. Dalam konferensi Bretton Woods di tahun 1942 secara demokrasi negara-negara adikuasa menyatakan bahwa setiap mata uang negara di dunia harus di back up dengan dollar AS, sementara dollar amerika akan di back up dengan Emas.
Namun berkaca pada bagaimana perjuangan umat Islam Indonesia untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia cukuplah menggembirakan. Kita lihat bagaimana hukum pernikahan Islam kemudian diatur sedmikian rupa dalam Undang-Undang Pekawinan tahun no 1 tahun 1974 yang dikelola oleh kementerian agama. Demikian juga dalam bidang muamalah seperti pembayaran zakat, infaq dan shadaqah telah masuk dalam hukum positif dalam UU No23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dan ada badan khusus untuk menanganinya seperti Badan Amil Zakat Nasional. Demikian juga dengan wakaf telah menjadi bagian dari hukum positif dalam pengelolaannya dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dan kini semua telah menjadi gerakan nasonal ekonomi Syariah.
Tentunya penggunaan Dinar dan Dirham untuk masuk dalam konteks hukum positif di Indonesia perlu dipahamkan secara masif, dan lebih khusus menyeragamkan pemahaman ahli ekonomi Islam (yang masih meyakini mata uang tergantung dari kebiasaan setempat (‘urf)) untuk satu suara atau setidaknya mayoritas para pakar ekonomi di Indonesia untuk menggolkan wacana penggunaan uang emas dan perak atau setidaknya uang yang di back uap emas dalam praktik berkeuangan di NKRI. Jika ini sudah tejadi, tentu akan mudah untuk menjadikannya sebagai undang-undang di negeri ini dan permberlakuannya dilindungi hukum. Seperti halnya yang disampaikan oleh Presiden RI pertama, bahwa kita bisa menjadikan Republik Indonesia dengan bentuk apa pun asalkan bisa menggolkannya di Dewan Perwakilan Rakyat selaku legislator di Indonesia. Tentu perjuangan masih panjang. Wallahu’alam..
Penulis: Kumara Adji Kusuma (Dosen Ekonomi Islam pada Universtas Muhammadiyah Sidoarjo)
Editor: KAK