Diskusi Adalah Jembatan, Bukan Ajang Debat
Oleh:
Dinda Dwimanda
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi
Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta
BUDAYA diskusi di lingkungan keluarga bukan hanya soal berbicara, melainkan tentang bagaimana kita menciptakan ruang yang aman untuk saling mendengarkan dan tumbuh bersama. Dalam dinamika keluarga Indonesia masa kini, budaya ini semakin penting, terutama ketika dunia anak dan orangtua terbentuk oleh nilai-nilai, teknologi, serta cara pandang yang berbeda. Perbedaan ini acap kali menjadi penyebab miskomunikasi yang berujung pada renggangnya relasi keluarga.
Melalui pendekatan teori komunikasi antar budaya yang dikenalkan oleh Edward T. Hall, yakni teori High Context dan Low Context, kita bisa memahami lebih dalam tentang akar persoalan komunikasi yang kerap terjadi antara generasi orangtua dan anak-anak mereka.
Budaya komunikasi konteks tinggi (high-context) cenderung tidak langsung, mengandalkan isyarat non-verbal, serta menjunjung tinggi harmoni sosial. Gaya ini umum digunakan oleh generasi yang lebih tua dan berkembang dalam masyarakat Asia, termasuk Indonesia. Sebaliknya, budaya konteks rendah (low-context), yang banyak dianut oleh generasi Z dan Alpha, lebih terbuka, langsung, dan eksplisit. Hal ini dipengaruhi oleh paparan budaya global dan digital.
Perbedaan ini berdampak besar dalam keseharian. Misalnya, orangtua bisa saja menganggap diam sebagai bentuk setuju, sementara anak justru merasa perlu menyampaikan ketidaksetujuannya secara terbuka. Tak jarang, perbedaan ini disalahartikan sebagai sikap tidak sopan dari anak, padahal mereka hanya mengekspresikan diri dalam gaya komunikasi yang berbeda.
Sebuah laporan dari Komnas Perempuan tahun 2022 menyebutkan bahwa 63% remaja di Indonesia merasa tidak bebas berdiskusi dengan orangtuanya, terutama dalam hal nilai, pilihan pendidikan, hingga pergaulan. Angka ini menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang menjadikan relasi komunikasi sebagai sesuatu yang bersifat hierarkis, bukan dialogis. Budaya diskusi yang sehat idealnya bersifat horizontal: tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam hak untuk berbicara dan didengar. Namun, dalam realitas banyak keluarga, status orangtua sebagai “pemberi keputusan mutlak” menjadikan diskusi terasa seperti penilaian sepihak.
Perbedaan gaya komunikasi sering kali terasa paling tajam ketika membahas isu-isu sensitif seperti kesehatan mental, seksualitas, atau pilihan gaya hidup. Dalam keluarga dengan pola konteks tinggi, isu-isu tersebut sering dianggap tabu dan tidak pantas dibahas. Padahal, generasi muda saat ini justru menganggapnya penting dan perlu diomongkan secara terbuka.
Dampak dari minimnya ruang diskusi ini sangat nyata. Anak-anak merasa tidak dipahami, bahkan tak jarang menarik diri dari orangtua. Penelitian UNICEF Indonesia (2021) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki komunikasi terbuka dengan orangtua memiliki tingkat kebahagiaan dan ketahanan mental 38% lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak.
Lalu bagaimana solusi agar keluarga bisa menjembatani jurang komunikasi ini? Pertama, penting untuk memahami bahwa orangtua tidak harus meninggalkan seluruh nilai yang mereka yakini. Yang perlu diubah adalah pendekatannya dari reaktif menjadi reflektif.
Misalnya, alih-alih langsung menolak pandangan anak, orangtua bisa bertanya: “Mengapa kamu berpikir seperti itu?” atau “Ceritakan lebih banyak biar ayah/ibu bisa paham.”
Kedua, membiasakan adanya forum keluarga secara berkala dapat menjadi langkah konkret. Forum ini bukan ruang menghakimi, melainkan tempat untuk saling bercerita tanpa interupsi gadget. Bahkan percakapan santai saat makan malam pun bisa menjadi benih tumbuhnya budaya diskusi yang sehat.
Ketiga, perlu ada pendidikan komunikasi yang bersifat inklusif, baik untuk anak maupun orangtua. Keterampilan mendengarkan aktif, empati, serta kemampuan menyampaikan pendapat secara sopan tapi tegas, adalah bekal penting dalam membangun dialog keluarga yang bermakna.
Diskusi dalam keluarga bukan tentang siapa yang lebih benar atau lebih tua. Diskusi adalah jembatan yang menyatukan perbedaan pandangan agar kita saling memahami. Anak-anak yang diberi ruang untuk bicara, bukan hanya tumbuh dengan kepercayaan diri lebih baik, tapi juga memiliki daya kritis dan empati yang tinggi.
Perbedaan generasi memang tidak bisa dihindari. Dunia yang membentuk orangtua tentu berbeda dari dunia yang membentuk anak-anak mereka. Tapi perbedaan bukan penghalang. Justru di sanalah kesempatan untuk saling belajar dan tumbuh bersama. Orangtua belajar untuk lebih fleksibel, sementara anak belajar untuk lebih menghargai.
Budaya diskusi dalam keluarga tidak lahir dalam semalam. Ia tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan kecil: mendengarkan tanpa menginterupsi, bertanya tanpa menghakimi, dan menghargai walau tidak sepakat. Semua itu bermula dari niat untuk saling mengerti, bukan saling mengubah.
Ketika keluarga menjadi ruang aman untuk bertanya, mengemukakan pendapat, dan bahkan berbeda pendapat, maka di sanalah fondasi sebuah masyarakat yang lebih kritis, toleran, dan inklusif sedang dibangun. Karena pada akhirnya, membangun budaya diskusi bukan hanya urusan komunikasi, tapi juga urusan cinta. Cinta yang tidak hanya ingin didengar, tetapi juga ingin mendengarkan. (*)