Abdul Hadi WM: Tuhan Kita Begitu Dekat
KEMPALAN: Abdul Hadi Widji Muthari (1946–2018) menempati posisi penting dalam sastra Indonesia modern sebagai penyair yang bekerja melalui kedalaman.
Ia lahir di Sumenep, Madura, dan latar budaya itu membentuk sikap estetiknya, hemat kata, tegas, dan berorientasi ke dalam.
Ia tidak membangun puisi dari kebutuhan menyatakan pengalaman batin secara jujur.
Sejak akhir 1960-an, Abdul Hadi sudah hadir dalam lingkaran sastra nasional.
Ia menerima Hadiah Puisi Majalah Horison pada 1968, sebuah warna penting pada masa ketika Horison menjadi pusat wacana sastra Indonesia.
Reputasinya kemudian menguat lewat Hadiah Sastra ASEAN pada 1985, menandai pengakuan lintas negara terhadap konsistensi dan mutu kepenyairannya.
Penghargaan-penghargaan ini sebagai catatan bahwa suara Abdul Hadi dibaca serius dalam rentang waktu yang panjang.
*Puisi sebagai Pernyataan Eksistensial*
Salah satu puisi Abdul Hadi yang paling luas dikenal adalah “Tuhan, Kita Begitu Dekat”. Puisi ini sering dibaca dalam konteks pendidikan, keagamaan, dan sastra. Daya tahannya justru terletak pada kesederhanaan strukturnya.
Puisi ini melukiskan pernyataan langsung. Puisi tersebut berbunyi:
Tuhan,
kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
aku panas dalam apimu
Tuhan,
kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
aku kapas dalam kainmu
Tuhan,
kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Dalam gelap
kini aku nyala
dalam lampu padammu
Puisi ini tidak diawali oleh pencarian, keraguan, atau pertanyaan. Kalimat “kita begitu dekat” dinyatakan berulang sebagai fakta batin.
Abdul Hadi tidak memosisikan manusia sebagai makhluk yang terpisah dan sedang mengetuk pintu Tuhan. Ia menempatkan manusia sudah berada di dalam relasi itu.
Metafora yang digunakan bersifat relasional dan fungsional. Api dan panas, kain dan kapas, angin dan arah, semuanya menunjukkan hubungan yang tidak bisa dipisahkan tanpa kehilangan makna.
Metafora ini tidak berfungsi sebagai hiasan, melainkan sebagai argumen puitik tentang keberadaan. Manusia tidak berdiri di luar Tuhan; manusia bergerak di dalam-Nya.
*Studi Kasus: Mengapa Puisi Ini Bertahan*
Puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” bertahan lintas generasi karena ia bekerja pada wilayah pengalaman dasar manusia.
Banyak puisi religius berubah menjadi slogan atau nasihat moral. Puisi ini tidak melakukan itu. Ia tidak mengarahkan perilaku, tidak menjanjikan ganjaran, dan tidak menakut-nakuti.
Studi kasusnya terlihat pada cara puisi ini diterima. Selama puluhan tahun, puisi ini terus dimuat ulang dalam antologi sastra, buku pelajaran, dan forum diskusi.
Daya tahannya menunjukkan satu hal yang tegas, puisi yang jujur terhadap pengalaman batin memiliki umur yang lebih panjang daripada puisi yang bergantung pada gaya.
Baris penutup, tentang nyala di dalam gelap, tidak berbicara tentang keselamatan di masa depan. Justru Abdul Hadi WM berbicara tentang keteguhan eksistensi saat ini.
Dalam kondisi gelap, manusia tetap menyala karena berada dalam “lampu padam” Tuhan. Ini adalah pernyataan tentang daya hidup, bukan janji metafisik.
Reputasi yang Dibangun oleh Kesetiaan
Abdul Hadi WM membangun reputasinya melalui kesetiaan pada satu jalur estetik.
Ia menulis puisi, esai sastra, dan pemikiran kebudayaan dengan nada yang konsisten. Ia dikenal sebagai penyair sufistik, tetapi kesufian itu tidak jatuh menjadi sesuatu yang kosong. Ia hadir sebagai cara berpikir dan cara memandang hidup.
Dalam iklim sastra yang sering menekankan kebaruan dan kejutan, posisi Abdul Hadi penting sebagai pengingat bahwa puisi tidak harus mencolok untuk bermakna. Ia menunjukkan bahwa bahasa yang tenang bisa membawa beban makna yang berat.
Penutup
Abdul Hadi WM wafat pada 11 Januari 2018, tetapi puisinya tidak berhenti bekerja. Ia meninggalkan warisan berupa sikap, menulis dengan disiplin batin, berbicara tentang Tuhan tanpa kebisingan, dan menjadikan puisi sebagai ruang berpikir yang dalam dan jujur.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Abdul Hadi bukan suara yang paling keras. Ia adalah suara yang tetap terdengar karena tidak pernah meninggalkan kedalaman.
Oleh: M.Rohanudin, praktisi penyiaran







