Darurat, Bajak Laut Topi Jerami Menyerang!
Oleh: Sultoni Fikri (Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Direktur Eksekutif di Nusatara Center for Social Research)
KEMPALAN — Di sebuah negeri yang katanya demokratis, rupanya ancaman terbesar bangsa bukan lagi korupsi, pelanggaran HAM, atau ketimpangan sosial, melainkan bendera bajak laut dari anime Jepang. Ya, rupanya gambar tengkorak tersenyum dengan topi jerami kini dianggap cukup berbahaya untuk memecah belah bangsa. Sungguh, Karl Marx mungkin akan terbahak-bahak di alam sana: “Sejarah terjadi dua kali, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai komedi.”
Kita tahu, teori simbolisme politik menjelaskan bahwa simbol hanyalah medium ekspresi, bukan ancaman fisik. Antonio Gramsci bahkan mengingatkan bahwa hegemoni kekuasaan sering mempertahankan diri dengan mengatur narasi, bahkan sampai ke hal-hal sepele seperti bendera anime. Atau pengibaran bendera One Piece ini persis contoh cultural resistance yang dibahas James C. Scott yakni rakyat menggunakan simbol non-konvensional untuk menyampaikan perlawanan tanpa bentrok langsung. Generasi muda memilih simbol ini bukan karena ingin “menaklukkan” negara, tapi karena bahasa kartun lebih efektif menjangkau hati dan pikiran sesama rakyat. Namun, di negeri ini, pemerintah seakan lupa bahwa Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 menjamin kebebasan berekspresi. Tampaknya pasal itu hanya berlaku selama ekspresi rakyat tidak mengganggu perasaan penguasa.
Lucunya, para pejabat buru-buru menyebut bendera One Piece sebagai potensi makar. Makar? Dalam KUHP, makar berarti upaya menggulingkan pemerintahan dengan kekerasan bersenjata. Sejauh yang kita tahu, Monkey D. Luffy tidak memimpin pasukan marinir bersenjata di Jakarta. Dia bahkan fiktif. Atau jangan-jangan pemerintah benar-benar percaya Luffy akan menjarah Istana Negara dari kapal Thousand Sunny?
Pandangan sosiologi politik, pengibaran bendera ini hanyalah cultural resistance yakni perlawanan berbasis budaya populer. Generasi muda tidak lagi tertarik berorasi di jalan sambil mengibarkan spanduk lusuh. Mereka memilih simbol-simbol pop culture yang relatable. Persis seperti yang dijelaskan Stuart Hall dalam teori representasi, rakyat memberi makna baru pada simbol, menjadikannya bahasa politik alternatif. Tapi tampaknya bahasa ini gagal dipahami oleh para pejabat yang lebih fasih membaca teks undang-undang daripada memahami meme. Rakyat memberi makna baru pada bendera bajak laut yaitu, bukan ajakan menjarah, tapi sindiran pada “bajak laut politik” yang nyata, yang mana merampas uang rakyat, menggadaikan sumber daya, dan merampok masa depan bangsa. Mungkin inilah yang sebenarnya membuat para pejabat gelisah karena bukan gambarnya, tapi cerminnya.
Ironinya, pemerintah yang sering menyerukan nasionalisme malah ketakutan melihat rakyat memakai simbol imajinasi untuk mengkritik ketidakadilan. Padahal, dalam teori kontrak sosial Rousseau, negara ada karena rakyat, dan kritik adalah bagian dari perjanjian itu. Tapi di sini, kritik dibaca sebagai ancaman, aspirasi dianggap provokasi, dan budaya pop diperlakukan seperti senjata pemusnah massal. Ketika kritik diartikan sebagai ancaman, berarti pemerintah mulai mengkhianati kontrak itu.
Dan tentu saja, ancaman ini dianggap “mencederai kehormatan bendera negara”. Pernyataan ini terdengar lucu ketika kita tahu bahwa di waktu yang sama, kasus pembakaran hutan, korupsi bansos, atau jual beli pasal di DPR tidak menimbulkan kehebohan serupa. Rupanya, kehormatan negara lebih rapuh daripada kita kira. Cukup goyah oleh selembar kain hitam dengan gambar kartun.
Kalau persatuan bangsa memang bisa runtuh hanya karena bendera fiksi, masalah kita bukan pada rakyatnya, tapi pada betapa tipisnya fondasi persatuan itu sendiri. Demokrasi yang sehat tumbuh dari kebisingan (from the noise), kata Alexis de Tocqueville, bukan dari ketenangan palsu yang dijaga dengan represi simbol. Jika pemerintah ingin bendera Merah Putih tetap berkibar di hati rakyat, sebaiknya berhenti memposisikan diri sebagai musuh imajinasi. Karena membungkam simbol hanyalah cara paling cepat untuk membuat rakyat semakin kreatif dan semakin sinis.
Dan jangan lupa, tokoh politik tertentu yang kini duduk di kursi Wakil Presiden juga pernah bangga berfoto dengan atribut One Piece. Bedanya, waktu itu dianggap keren dan “anak muda banget”. Kini, ketika rakyat melakukannya, mendadak dianggap subversif. Sungguh contoh sempurna dari double standard politics, yang dilakukan penguasa disebut “inovasi”, yang dilakukan rakyat disebut “provokasi”.
Mungkin, bendera Luffy ini bukan ancaman bagi NKRI, tapi cermin yang memantulkan wajah kekuasaan yang terlalu takut pada rakyatnya sendiri. Dan kalau itu benar, maka kita sedang berlayar menuju lautan absurd, di mana bajak laut fiksi dianggap lebih berbahaya daripada bajak laut politik di dunia nyata. Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika imajinasi rakyat mulai dibatasi, sementara imajinasi penguasa untuk mengakali hukum dan menguasai sumber daya negara tetap bebas berkibar. Dan kalau ini terus berlanjut, kita bukan lagi bangsa merdeka, tapi bangsa yang rela ditaklukkan oleh rasa takut pada selembar bendera fiksi.*









