History atau His Story?

waktu baca 5 menit
Prabowo (foto: IG Prabowo Subianto)

Sejarah ditulis oleh para pemenang. Para pemenang akan menentukan mana yang menjadi sejarah dan mana yang harus dihapus atau disembunyikan. Setiap rezim yang berkuasa akan mempunyai versi sejarahnya masing-masing.

Rezim Prabowo Subianto juga ingin punya versi sendiri mengenai sejarah. Maka dia menugaskan Menteri Kebudayaan Fadli Zon (atau inisitaif Fadli sendiri) untuk menulis ulang sejarah Indonesia. Tentu saja, sesuai dengan versi yang diinginkan oleh Prabowo.

Sejarah bukan sekadar kumpulan kronologis peristiwa. Sejarah adalah proses untuk ‘’menjadi’’. Sebuah dialektika antar sintesa dan antitesa yang menghasilkan puncak sejarah. Itulah yang diyakini oleh Francis Fukuyama ketika ia memproklamasikan ‘’The End of History’’, sejarah telah berakhir dengan kemenangan liberalisme-kapitalisme.

Bagi Fukuyama, ambruknya rezim Uni Soviet pada 1989 adalah puncak sejarah yang menandai kemenangan liberalisme-kapitalisme atas komunisme. Liberalisme dan kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat menjadi pemenang tunggal dalam perebutan hegemoni dunia.

Fukuyama mengadopsi dialektika Hegel yang meyakini bahwa sejarah akan sampai pada ujung yang bersifat langggeng. Bahwa hegemoni Amerika di dunia tidak akan berubah. Bahwa sekarang Amerika terancam oleh kekuatan China, itu hanya bagian dari dialektika. Pada akhirnya pemenangnya adalah liberalisme-kapitalisme.

Ibnu Khaldun tidak percaya pada akhir sejarah. Dalam pandangan Khaldun dunia berputar seperti roda pedati, kadang di atas kadang di bawah. Panta Rei, atau Cakra Manggilingan dalam terminologi Jawa. Kemenangan, kekuasaan, akan berputar di antara bangsa-bangsa, sebagaimana tersurat dalam Al-Quran.

Rezim Prabowo mungkin lebih memilih pandangan dialektika Hegel, supaya kekuasaannya langgeng. Penulisan ulang sejarah nasional merupakan upaya pelanggengan itu.

Melalui penulisan ulang sejarah itu rezim Prabowo ingin mengontrol pengetahuan bangsa Indonesia mengenai sejarah. Episteme, dalam istilah Michael Foucault, adalah cara seseorang atau sekelompok orang berpikir, memandang, menguraikan dan memahami kenyataan. Siapa yang bisa mengontrol episteme dia akan memperoleh kekuasaan.

Knowledge and Power, pengetahuan dan kekuasaan adalah dua wajah dari satu mata uang logam. Tidak ada power tanpa knowledge. Sebaliknya, knowledge akan menghasilkan power. Karena itu rezim-rezim penguasa selalu mengontrol knowledge untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaannya.

Itulah yang dilakukan oleh Soeharto ketika berkuasa. Ia menulis ulang sejarah Indonesia menurut versinya sendiri. Di zaman itu sejarawan Noegroho Notosusanto ditugasi untuk menulis sejarah Indonesia versi Soeharto, Maka Soeharto tampil sebagai hero, dan Sukarno sebagai villain, si orang jahat.

Foucault tidak melihat sejarah sebagai sebuah kontinuitas. Menurut Foucault, sejarah adalah diskontinuitas. Segala sesuatu yang berhubungan dengan hidup manusia senantiasa terjadi diskontuitas, fragmentatif, dan acak.

Foucault menolak konsep sejarah yang selalu mengandaikan rangkaian peristiwa yang terjalin secara berkesinambungan, tertata dengan prinsip kausalitas, dan mengandaikan adanya satu pusat yang merupakan titik tolak ataupun titik tuju. Dalam perspektif ini kekuasaan rezim Prabowo pun bagian dari fragmen yang acak yang akan digantikan oleh fragmen yang lain.

Salah satu episode sejarah yang akan ditulis ulang oleh Fadli Zon adalah periodesasi penjajahan Belanda di Indonesia. Buku-buku sejarah di sekolah mengajarkan bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Tentu menimbulkan pertanyaan, karena Indonesia baru lahir menjadi negara-bangsa pada 1945.

Lain lagi kalau yang dimaksud adalah penjajahan terhadap wilayah Hindia Belanda yang kemudian menjadi Indonesia setelah kemerdekaan. Secara total wilayah Hindia Belanda baru menyerah total setelah berakhirnya Perang Aceh pada 1904. Belanda kemudian hengkang dari Hindia setelah dikalahkan oleh Jepang pada 1942.

Gagasan untuk menggugat sejarah penjajahan Belanda bukan ide baru. Gagasan itu sudah bergulir lama sejak era 1990-an. Tokoh yang paling vokal ialah sejarawan Taufik Abdullah. Menurutnya penjajahan 350 tahun hanya mitos. Yang terjadi justru Belanda memerlukan lebih dari 300 tahun untuk menaklukkan beberapa daerah di Hindia Belanda.

Jika Fadli Zon menulis ulang episode ini dia bisa mendapatkan apresiasi. Tetapi, di balik penulisan ulang itu muncul banyak kecurigaan bahwa Fadli ingin menulis ulang sejarah menurut versi rezim Prabowo.

Salah satu yang paling disorot adalah peran Prabowo dalam proses Reformasi 1998. Salah satu episode paling krusial adalah peran Prabowo dalam operasi Tim Mawar yang diyakini terlibat dalam penculikan dan penghilangan sejumlah mahasiswa dan aktivis demokrasi.

Episode itu menjadi salah satu yang paling kelam dalam sejarah reformasi Indonesia. Prabowo dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat pada periode itu. Sampai sekarang penyelesaian kasus itu masih mengambang.

Para orang tua aktivis yang hilang sampai sekarang tetap menuntut agar Prabowo bertanggung jawab. Di bagian lain, Prabowo sudah berhasil merangkul para mantan korban penculikan dan memberinya konpensasi sebagai wakil menteri di kabinetnya sekarang.

Wakil menteri Komdigi Nezar Patria dan wakil menteri perindustrian Faisol Reza, dan Budiman Sudjatmiko adalah korban penculikan yang sekarang menjadi pendukung kabinet Prabowo. Sebelumnya sudah ada almarhum Desmon Mahendra yang menjadi angota DPR dari Partai Gerindra.

Episode penting lainnya yang banyak ditunggu adalah episode pemerintahan Soeharto. Banyak yang mencurigai penulisan ulang ini akan membersihkan nama Soeharto. Ujungnya akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Ini akan menjadi ironi karena Fadli Zon pernah menjadi aktivis reformasi 1998.

Proyek penulisan ulang ini akan menjadi ujian integritas bagi Zon. Selama ini ia dianggap sebagai genre politisi yang intelek dan berintegritas. Tetapi ketika menjadi bagian dari rezim Prabowo ternyata Fadli Zon tidak ada bedanya dari politisi pada umumnya.

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini akan menjadi bukti apakah Prabowo akan benar-benar menulis ‘’history’’ (sejarah), atau sekadar menulis ‘’his story’’ cerita versi dirinya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *