Indonesia, Surga yang Hilang dan Tidak Pernah Ditemukan Lagi

waktu baca 6 menit

Ada sepotong surga di atas bumi. Begitu konon kisahnya. Surga itu hilang dan tidak bisa ditemukan lagi. Kalau toh bisa ditemukan sekarang kondisinya sudah parah dan mungkin sudah hancur lebur.

Indonesia pernah mengklaim sebagai sepotong surga di dunia. Banyak alasannya, antara lain keindahan wilayahnya, kenyamanan temperaturnya, keramahan penduduknya. Tapi, sekarang apa masih ada yang berani mengklaim seperti itu?

Wilayah Indonesia pasti masih amat banyak yang indah. Tapi sekarang banjir terjadi di mana-mana. Bahkan di wilayah yang selama ini jarang terjadi banjir sekarang tenggelam oleh air bah.

Surga di atas bumi itu di masa lalu disebut berada di wilayah Atlantik. Secara geografis sekarang wilayah itu adalah perairan samudera luas yang memisahkan Eropa dari Amerika.

Pencarian surga yang hilang itu sudah dilakukan puluhan tahun dan bahkan ratusan tahun tapi hasilnya nihil. Jangankan menemukan sisa potongan surga atau remah-remahnya, atau juga sisa-sisa arkeologinya, untuk memastikan lokasinya saja tidak ada yang sepakat.

Tapi perburuan tidak pernah  berhenti. Masih banyak orang yang penasaran memburunya karena yakin bahwa surga itu pernah ada.

Salah satu pemburu paling tekun adalah Prof. Arysio Santos, geolog dan fisikawan dari Brazil yang melakukan riset selama 30 tahun dan menyimpulkan bahwa surga yang hilang itu ada di Indonesia.

Ia menuangkan temuannya dalam buku “Atlantis: The Lost Continent Finally Found” (2015).

Profesor Santos menelusuri sejarah manusia dan peradabannya sejak muncul kali pertama di wilayah Afrika yang kemudian menyebar ke seluruh dunia kira-kira 200 ribu tahun yang lalu.

Kemudian terjadi penyebaran ke berbagai penjuru dunia yang dikenal sebagai gerakan “Out of Africa”

Prof Santos memulai kajiannya sejak Zaman Es ketika hampir seluruh daratan bumi tertutup oleh lapisan es. Salah satu syarat terbangunnya peradaban adalah sebuah tempat di mana manusia bisa hidup tenang, tidak berpindah-pindah, dan tidak menghabiskan waktu untuk bertahan hidup dengan berburu dan mengumpulkan makanan. Karena itu bangsa nomaden tidak bisa menghasilkan peradaban.

Maka kemudian dicarilah wilayah yang lebih moderat cuacanya dan lebih memungkinkan untuk membangun pertanian dan pemukiman. Dicarilah wilayah tropis dengan curah hujan yang cukup dan musim panas yang tidak panjang dan kerontang. Pilihan jatuh ke wilayah yang paling dekat dengan garis katulistiwa.

Garis ini membentang membelah bumi, dan wilayah Indonesia sekarang ini berada pada garis itu. Di situlah peradaban baru itu dibangun.

Ketika itu wilayah daratan masih menyatu menjadi benua besar yang menyatukan Indonesia, Australia, sampai ke India.

Dari sini, peradaban manusia pertama kali pun muncul yang disebut sebagai Atlantis Lemuria  atau Ibu Peradaban. Tetapi, peradaban itu hancur, karena bencana super-erruption, letusan dahsyat Gunung Toba kira-kira 70 ribu atau 90 ribu tahun yang lalu.

Dampaknya dahsyat, membuat peradaban hancur lebur dan memengaruhi iklim dunia sampai terjadi “Malam Nuklir” karena seluruh dunia gelap tertutup awan hitam.

Hampir seluruh peradaban dunia hancur karena ledakan itu. Pengungsian besar-besaran terjadi sampai ke India dan kemudian melahirkan peradaban Hindu yang menjadi salah satu peradaban besar dunia.

Para survivor yang selamat itu kemudian membangun lagi peradaban baru yang mirip Atlantis dan oleh Prof Santos disebut sebagai peradaban Platon yang menjadi induk peradaban yang tersebar ke banyak penjuru dunia.

Kajian Prof Santos adalah perpaduan antara kajian ilmiah berdasar bukti-bukti arkeologi, sejarah, dan juga mitologi. Karena itu ada yang menganggapnya tidak sepenuhnya ilmiah.

Kesimpulan bahwa surga Atlantis yang hilang itu ada di Indonesia banyak dipersoalkan. Tetapi sampai sekarang memang belum ada kajian lain yang komprehensif seperti kajian Prof Santos. Tidak ada ilmuwan yang berani mengklaim kesimpulan seperti Prof Santos.

Kajian paling baru dilakukan oleh ilmuwan sosial dan ekonomi Amerika Serikat, Prof Jeffry Sachs dalam buku “The Agis of Globalization” (2020) yang membagi peradaban menjadi tujuh bagian dimulai sejak peradaban zaman es sampai peradaban zaman digital sekarang ini.

Yang pertama adalah peradaban Paleolithic yang terjadi kira-kira 70 ribu sampai 10 ribu sebelum masehi. Ketika itu manusia pertama muncul di Afrika dengan peradaban batu yang paling sederhana untuk memanipulasi alam dan berburu.

Berikutnya adalah era Neolithic yang diperkirakan terjadi pada 10 ribu sampai tiga ribu tahun sebelum masegi. Saat itu mulai terjadi transisi dari zaman batu menuju peradaban baru berbasis pertanian. Manusia sudah mulai menetap dan mengolah tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jumlah manusia makin banyak karena kawin-mawin dan beranak pinak.

Kekira 3.000 tahun sampai seribu tahun sebelum masehi muncul era Equestrian ketika teknologi manusia sudah semakin canggih dengan kemampuannya menjinakkan hewan-hewan liar terutama kuda, lembu, kambing, dan sejenisnya.
Domistikasi hewan liar ini menghasilkan alat transportasi yang memungkinkan pergerakan manusia ke berbagai wilayah dengan lebih lancar. Pada era itu manusia mulai mengenal huruf alfabetik yang sederhana dan mulai mengerti administrasi.

Selanjutnya lahirlah era Klasik atau The Classical Age sekitar 1.500 sebelum masehi sampai tahun1.000. Ketika itu sudah muncul kerajaan-kerajaan besar di Asia yang saling berebut wilayah-wilayah strategis yang bertemperatur nyaman. Pada era ini peradaban sudah makin canggih dan agama-agama tradisional maupun agama langit terutama Nasrani yang sudah menyebar luas.

Selanjutnya lahir The Ocean Age atau peradaban laut sekitat tahun 1500 sampai 1800. Ilmu pengetahuan sudah menyebar dengan ditemukannya mesin cetak oleh Johan Guttenberg. Kemudian ditemukan mesin uap yang membawa revolusi industri yang menghasilkan kapal dan teknologi navigasi pelayaran. Ekspansi dan kolonialisasi oleh negara kuat terhadap negara lemah mulai terjadi. Eropa menguasai negara-negara Asia dan Afrika.

The Industrial Age muncul pada 1800-2000 ketika teknologi mesin sudah makin canggih dan kapitalisme semakin kuat. Lahirlah negara-negara kuat seperti Inggris di Eropa dan China di Asia. Amerika juga mulai muncul sebagai kekuatan baru.

Era terkini adalah The Digital Age di abad ke-21 ketika teknologi informasi melalui internet melahirkan ekonomi digital yang menghubungkan seluruh antero bumi menjadi satu. Pada era ini kemakmuran dan kemajuan teknologi tersebar secara merata. Amerika menjadi penguasa dunia menggeser Eropa. Dan belakangan China menjadi ancaman bagi dominasi Amerika.

Dibanding Prof Santos telaah Jeffry Sachs lebih kuat dengan data-data ilmiah yang tidak spekulatif. Sachs menyebut bahwa selama era itu peradaban dunia dibentuk oleh geografi, teknologi, dan institusi. Peradaban bisa maju kalau ada perpaduan tiga faktor itu.

Peradaban akan maju kalau letak geografinya berada pada wilayah moderat sampai tropis. Dalam hal ini pandangan Sachs berkesesuaian dengan Santos, dan sangat mungkin peradaban Atlantis berada pada garis Katulistiwa.

Faktor selanjutnya yang menjadi unsur penting kemajuan peradaban adalah teknologi. Negara-negara akan maju dan menguasai peradaban karena teknologi. Sejak zaman batu sampai zaman digital bangsa yang menguasai teknologi akan berjaya.

Di era digital seperti sekarang ilmu pengetahuan dan teknologi bisa tersebar luas nyaris tanpa halangan. Siapa pun punya akses dan kesempatan untuk menguasai teknologi. Tetapi, faktor utama yang membawa kemajuan adalah institusi yang menyangkut sistem politik dan kepemimpinan.

Dalam hal ini pandangan Sachs cocok dengan gagasan Acemoglu dan Anderson mengenai kebijakan inklusif dan ekstraktif. Kebijakan inklusif adalah kebijakan demokratis, merangkul dan melindungi semua orang. Kebijakan ekstraktif, di sisi lain, hanya mementingkan golongan oligarki politik dan ekonomi tertentu saja.

Kalau kita percaya kepada Prof Santos kita boleh bangga bahwa surga Atlantis yang hilang itu ternyata ada di Indonesia. Pertanyaannya sekarang, bisakah Indonesia kembali menjadi Surga Atlantis seperti di masa lalu? Kalau kita mengacu pada Jeffry Sachs dan Acemoglu-Anderson tampaknya surga yang hilang sulit ditemukan lagi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *