Hanura Jatim dan Bayangan Pemilu 2029

waktu baca 4 menit
Partai Hanura

KEMPALAN : Di tengah pusaran hiruk pikuk politik nasional yang masih meninggalkan banyak tanda tanya, langkah Partai Hanura Jawa Timur dengan mengusung gerakan “Selamatkan Bangsa dan Remaja” menjadi sebuah manuver yang menarik perhatian.

Tidak hanya karena partai ini selama beberapa tahun terakhir seolah berada di pinggiran percaturan politik nasional, melainkan juga karena isu yang diangkat langsung menyasar inti persoalan bangsa

Instabilitas politik, kesenjangan ekonomi, lemahnya penegakan hukum, dan masa depan generasi muda.

Pertanyaannya kemudian, apakah gerakan ini lahir dari kesadaran tulus terhadap krisis multidimensi yang sedang melanda Indonesia, atau sekadar strategi untuk menyiapkan pijakan dalam kontestasi menuju Pemilu 2029?

Sekretaris DPD Hanura Jatim, KH. Akhmad Nurkholis, dengan tegas menggambarkan bahwa Indonesia sedang berada di persimpangan jalan yang penuh tantangan.

Diagnosis itu sejatinya bukan hal baru. Namun, yang membuatnya relevan adalah timing peluncuran gerakan tersebut ketika partai-partai besar tengah sibuk dengan konsolidasi pasca pemilu terakhir dan manuver untuk merebut ruang di lingkar kekuasaan.

Hanura mencoba menghadirkan narasi berbeda, tidak sekadar berkutat pada urusan elite, melainkan menyentuh isu populis yang dekat dengan keresahan rakyat, terutama generasi muda.

Generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, memang tengah menjadi kunci sekaligus misteri dalam politik Indonesia.

Mereka memiliki jumlah yang signifikan dalam daftar pemilih, tetapi di sisi lain tingkat apatisme politik juga tinggi.

Ironisnya, kelompok ini justru paling rentan menjadi korban disinformasi dan propaganda politik yang marak tersebar di media sosial.

Di sinilah Hanura mencoba masuk dengan positioning sebagai “kekuatan yang menenangkan” sekaligus pelindung moral bangsa.

Namun, dalam lanskap politik Indonesia yang kian terfragmentasi, muncul pertanyaan besar: apakah masih ada ruang bagi politik moderat yang mengedepankan jalan tengah, ataukah wacana semacam itu hanya menjadi romantisisme yang terlambat hadir?

Kredibilitas tetap menjadi tantangan paling nyata. Ketika Hanura berbicara lantang soal pemberantasan korupsi dan penguatan hukum, publik tidak bisa begitu saja melupakan rekam jejak dunia politik Indonesia yang penuh skandal dan kekecewaan.

Publik telah terlalu sering mendengar jargon penyelamatan bangsa, reformasi moral, hingga komitmen kebangsaan yang berakhir sebagai slogan tanpa implementasi nyata.

Jika Hanura ingin membuktikan keseriusannya, maka konsistensi dalam langkah konkret jauh lebih penting daripada sekadar retorika.

Gerakan yang melibatkan berbagai sektor memang terdengar menjanjikan, tetapi tanpa peta jalan yang realistis, ia hanya akan menjadi bagian dari teater politik Indonesia yang penuh drama namun minim substansi.

Dalam konteks persiapan menuju Pemilu 2029, gerakan Hanura Jatim ini bisa dibaca sebagai strategi positioning. Partai-partai besar akan terus terjebak dalam pertarungan internal, perebutan sumber daya, dan pengaruh dalam pemerintahan.

Celah inilah yang bisa dimanfaatkan oleh partai yang lebih kecil untuk membangun kedekatan emosional dengan publik, terutama kelompok pemilih muda yang merasa tidak terwakili.

Sejarah menunjukkan bahwa dalam politik Indonesia, momentum sering kali lebih menentukan dibanding kekuatan struktur.

Jika Hanura mampu menjaga konsistensi gerakan ini hingga 2029, bukan tidak mungkin mereka dapat kembali menemukan relevansinya.

Namun, konteks politik nasional tidak bisa dilepaskan dari dinamika global. Dunia kini berada pada fase ketidakpastian geopolitik: rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok, krisis energi dan pangan yang berulang akibat konflik regional, serta perubahan iklim yang kian menekan ekonomi global.

Situasi ini berimplikasi langsung pada Indonesia. Harga pangan, arus investasi, hingga stabilitas politik domestik bisa terguncang sewaktu-waktu.

Dalam kondisi semacam ini, partai politik dituntut bukan hanya menjual slogan moral, melainkan juga menawarkan solusi konkret yang adaptif terhadap gejolak internasional.

Seorang pakar politik internasional, Francis Fukuyama, pernah menekankan bahwa keberlangsungan demokrasi modern tidak hanya bergantung pada institusi formal, tetapi juga pada kapasitas aktor politik untuk membangun kepercayaan publik.

Tanpa trust, demokrasi akan kehilangan legitimasi dan pada akhirnya rentan digantikan oleh politik populis yang dangkal.

Jika ucapan ini kita kaitkan dengan konteks Indonesia, maka langkah Hanura Jatim baru bisa dianggap serius apabila mereka sanggup menanamkan kepercayaan, bukan sekadar meminjam simpati sesaat.

Pada akhirnya, gerakan “Selamatkan Bangsa dan Remaja” dari Hanura Jatim bisa menjadi refleksi atas krisis kepercayaan yang tengah melanda demokrasi kita.

Ia bisa dipandang sebagai upaya revitalisasi nilai kebangsaan, atau sebaliknya, sebagai romantisme politik yang hanya hidup di atas panggung retorika.

Jalan mana yang akan dipilih, akan ditentukan oleh konsistensi langkah mereka di lapangan, kemampuan mengawal aspirasi rakyat, dan kesanggupan menghadirkan solusi nyata atas problem struktural bangsa.

Pemilu 2029 akan menjadi ujian sebenarnya. Jika Hanura mampu melewati fase ini dengan kerja konkret, mereka mungkin bisa mencatatkan diri kembali dalam peta politik nasional.

Tetapi jika tidak, publik hanya akan menempatkannya sebagai episode lain dalam drama panjang politik Indonesia yang penuh janji, namun miskin bukti.

Oleh Bambang Eko Mei

              ********

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *