Ngobrol dengan Ita Siti Nasyi’ah Penulis Buku-Buku Best Seller

waktu baca 6 menit
Bersama Mbak Ita Siti Nasyi'ah penulis buku-buku biografi best seller.

KEMPALAN : Beberapa hari lalu saya ngobrol dengan penulis buku-buku best seller : Siti Nasyi’ah. Saya biasa memanggil dengan : Mbak Ita.

Jujur, sebetulnya saat jumpa itu bukan sekadar ngobrol sesama alumni AWS (Akademi Wartawan Surabaya), atau sesama jurnalis. Intinya, sudah lama saya pingin menimba ilmu dari beliau.

Ilmu apa ?
Ya, ilmu literasi.

Literasi apa?
Ya, jurnalistik.

Jurnalistik apa? Jurnalistik yang berkaitan dengan penulisan buku biografi.

Barangkali buku solo yang saya tulis lebih banyak dibanding buku perorangan yang ditulis oleh Mbak Ita — maksud saya bukan buku yang ditulis keroyokan, dengan cara kolektif.

Meski yang ditulis ibu dari seorang putri dan istri dari suami yang juga berprofesi sebagai jurnalis ini 11 judul, tetapi semua bergenre biografi.

Sedangkan 18 judul buku-buku karya saya : “gado-gado”. Ada yang bergenre sosial budaya, jurnalistik, perjalanan, dan beberapa genre lainnya, termasuk dua buku kumpulan puisi tunggal dan dua buku biografi.

Sedangkan buku-buku karya Mbak Ita semuanya bergenre biografi. Beberapa yang jumlahnya lebih sedikit bersub-genre monografi.

Buku-buku itu ada yang ditulis karena pesanan, ada juga karena mengikuti naluri kewartawanannya bahwa sosok yang begitu menarik yang menyangkut jejak hidupnya, memang layak untuk dibukukan.

Sebelumnya, saat jumpa online maupun offline, sering saya katakan : “Ayo, Mbak. Kapan ya, kita bisa ngobrol gayeng?”

Kebetulan kami sama-sama tergabung dalam tiga grup WA yang nuansanya dunia literasi, salah satu di antara itu khusus beranggotakan wartawan yang sudah dianggap senior.

Atau kalau tidak begitu, jumpa darat di Taman Budaya, di Balai Wartawan Surabaya, di sela-sela acara konser musik, atau di lokasi lain di kota yang saat kemarau teriknya bukan main ini.

Dua hari sebelum Kamis 12 Desember lalu, kami janjian untuk ketemu di salah satu spot kuliner di Jalan Raya Jemursari, Surabaya.

“Ayo, ngendikane (katanya) mau ngobrol. Jam 10 ya …,” begitu penggalan ucapan Mbak Ita kepada saya via ponsel.

Maka, Kamis sehari sebelum sosok energik ini terbang ke Bali untuk serangkaian liputan, pagi pukul sepuluh kurang 5 menit saya sudah sampai di lokasi janjian. Eladalah, lha kok Honda Brio merah sudah ada di lahan parkir dekat pintu masuk rumah makan itu. ‘Keduluan aku, rek …,’ saya membatin.

Padahal rumah Mbak Ita lebih jauh ke lokasi janjian, masuk wilayah Sidoarjo, sekira 10 kilometer. Sedangkan rumah saya cuma berjarak 3 kilometer dari spot kuliner itu.

Saya –maaf– jika janjian lebih suka tepat waktu. Eh, ternyata Mbak Ita lebih disiplin. Jambu !

Dari percakapan lebih kurang satu jam di spot kuliner itu, saya simpulkan jika menulis buku biografi yang bukan karena dipesan : momen harus tepat; timing jangan sampai meleset. Kalau “dua poin” ini lewat, kesempatan buku yang ditulis yang membahas riwayat hidup seseorang untuk sekiranya menjadi best seller, lewat pula.

Sedangkan untuk penulisan buku biografi berdasarkan pesanan, bisa melibatkan team dengan personel cukup banyak, termasuk sejumlah reporter untuk menggali nara sumber. Bisa juga, cukup diri sendiri sebagai penulis, ditambah editor, fotografer, dan team artistik (desain kover, layout halaman isi).

                 *

Sebagai jurnalis sudah lama saya mengenai sosok ini, persisnya ketika awal-awal Mbak Ita memulai kariernya sebagai wartawan Jawa Pos, yang lantas sebagai koresponden Majalah Kartini. Kalau tidak salah, pada tahapan berikut menjadi kepala perwakilan majalah tersebut untuk Biro Jatim.

Di balik sosoknya yang tegas, terselip kesantunan tinggi. Tata etika dijaga betul.

Namun, di balik itu, sesekali ditimpali dengan verbalitas sebagai sosok yang mencerminkan kuat memegang prinsip. Mencuatkan idealisme, sekaligus menjunjung kode etik wartawan. Tetapi ya itu tadi, ketegasan sikapnya senantiasa dibarengi dengan kesantunan.

Misalnya, ia memanggil saya bukan dengan ‘sampeyan’, tapi ‘panjenengan’.

‘Panjenengan’ adalah kosakata Bahasa Jawa yang artinya dalam Bahasa Indonesia : anda.

Sebagaimana kita tahu, dalam Bahasa Jawa beberapa kosakata masuk dalam lingkaran strata. Misalnya, mula-mula ‘kowe’, lantas ‘sampeyan’, selanjutnya yang tertinggi ‘panjenengan’.

Dalam percakapan tertulis pun, beberapa kali Mbak Ita menyatakan ‘sakwangsule’ saat saya menulis, misalnya : Terima kasih, Mbak.

Maka dijawab dengan kosa kata itu, yang artinya : sama-sama.

Itulah pantulan tata etika tersebut.

Mbak Ita ceritakan, obsesinya untuk menjadi wartawan begitu tinggi. Maka, pilihan untuk memasuki perguruan tinggi tegak lurus dengan masa depan profesinya nanti, yaitu dengan kuliah di AWS.

Sebagai calon wartawan di Jawa Pos, pada saat itu ia secara psikologis berada pada posisi dianggap “sepele”. Sebab calon wartawan lainnya berasal dari hasil rekrutmen ribuan pelamar yang hasilnya tinggal beberapa orang. Mereka yang rata-rata S1 itu masih dianggap “calon wartawan” untuk sekian bulan lagi harus berjibaku di lapangan jurnalistik agar benar-benar bisa lolos menjadi wartawan Jawa Pos.

Sementara Mbak Ita waktu itu “cuma” mahasiswi berstatus praktik kerja lapangan. Kesempatan relatif pendek ini, ia gunakan seefektif mungkin dengan melaksanakan tugas-tugas liputan dari para senior di Jawa Pos yang dianggap cukup berat. Maka, selanjutnya, sekira 10 tahun ia menjalani profesi sebagai wartawan di koran yang dipimpin oleh Dahlan Iskan ini.

Mungkin timbul pertanyaan, kenapa ia beralih dari koran nomor dua terbanyak tirasnya di Indonesia sesudah Harian Kompas, ke Majalah Kartini?

Pada salah satu tulisan saya di Facebook sekira 4 tahun lalu, suami Mbak Ita yaitu Mas Jusak Sunaryo
menjelaskan alasannya bahwa ia yang menyarankan untuk resign karena beberapa kali Mbak Ita keguguran.

Selang kemudian Mbak Ita bergabung dengan Majalah Kartini yang tugas-tugasnya tak seberat dibanding saat berkarier di koran harian.

                   *

Lantas apa saja buku-buku yang ditulis oleh Siti Nasyi’ah yang sebagian besar diterbitkan oleh penerbit dalam lingkup grup Gramedia? Yaitu : Mami Rose ; Haji Kok Nunut ; Haji Bonek ; Dahlan Juga Manusia ; Tangis Dahlan, Niat Mengabdi Berbuntut Bui ; Strategi Nalendra, Ubah Ancaman Menjadi Peluang; Ucok Aka Harahap – Antara Rock, Wanita & Keruntuhan ; dan ada beberapa lagi — termasuk yang berjudul : Saleh Sang Pendobrak.

Tentu saja, yang saya gali dari Mbak Ita bukan melulu berkaitan strategi penulisan buku biografi, melainkan juga cara mendekati konsumen, termasuk bagaimana sebaiknya menentukan honor.

Mbak Ita secara tersirat tidak menjelaskan berapa honor terendah. Tetapi dijelaskan bahwa honor tertinggi yang pernah diperolehnya sebagai penulis buku biografi sebesar Rp 125 juta. Kenapa bisa begitu tinggi? “Ya, salah satu faktor karena team saya cukup banyak,” papar Mbak Ita pelan.

Sedangkan buku terlaris judulnya : Dahlan Juga Manusia.

Buku yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo pada tahun 2012 itu, sering mengakibatkan bagian kosong di rak-rak toko buku. Ludes terjual.

“Kalau misalnya dikonversi, senilai mobil Avanza baru,” begitu Mbak Ita menjelaskan finansial yang diperolehnya dari hasil menulis buku tersebut.

Menuansakan mengingatkan, Mbak Ita menjelaskan bahwa menulis buku biografi, terutama yang karena pesanan, wajib waspada. Awas trap! Jebakan? Maksudnya?

“Lantaran duitnya gede, maaf — lantas main sambar aja !” tutur Mbak Ita yang lantas disusul senyum kecilnya.

Ia katakan itu berdasarkan pengalamannya seputar 10 tahun lalu. Salah seorang sosialita yang suaminya dituduh korupsi menghubunginya. Wanita kaya ini memintanya untuk menulis buku biografi tentang dirinya. Intinya kekayaan yang diperolehnya karena murni dari hasil bisnisnya.

“Ya, saya tolak,” kata Mbak Ita seraya memperlihatkan layar HP-nya, berisi chatting sosialita tadi dengan Mbak Ita. Dan menyebut nominal Rp 500 juta sebagai imbalan.

Saya memperkirakan bahwa sosialita tadi tidak ada niat untuk menjebak. Niatnya –boleh jadi– sekadar membersihkan diri. Tapi jika penulis tidak hati-hati, bisa memelesetkan dan masuk perangkap.

Bisa saja kalau misalnya ada yang mau menerima order ini, menuliskannya dengan sehalus mungkin. Semacam pledoi bertopeng epik. Tapi Mbak Ita tetap menolak.

Akhirnya saya berpikir begini : sejak dulu upaya menjadikan buzzeRp ternyata sudah ada. (Amang Mawardi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *