Asal Usul DRM dan DAB di Indonesia: Transformasi Radio Terestrial Era Digital, Bukan Daring

waktu baca 4 menit
Ilustrasi radio (*)

KEMPALAN: Digitalisasi radio terestrial di Indonesia adalah upaya menegakkan kembali broadcasting radio, bukan menggesernya ke ranah daring. Radio adalah medium siaran, dan digitalisasinya secara hakiki berada pada Digital Audio Broadcasting (DAB) dan Digital Radio Mondiale (DRM) sebagai sistem terestrial.

‎Di sanalah sejatinya orang radio bermain. Gagasan pengembangan DAB dan DRM ini diinisiasi penulis saat menjabat sebagai Direktur Teknologi dan Media Baru RRI pada 2013–2016 sebagai bagian dari strategi menjaga radio siaran tetap hidup.

‎Inisiasi ini dilakukan dengan arahan dari dari senior Sunarya Ruslan, waktu itu jadi  Ketua Dewas Pengawas RRI. Digitalisasi radio dipandang sebagai kebutuhan publik, bukan semata adopsi teknologi baru.

‎Sejak awal ditegaskan bahwa digitalisasi radio tidak dimaksudkan memindahkan radio ke internet.

‎Yang dibangun adalah penguatan radio terestrial berbasis gelombang elektromagnetik, agar radio tetap berada pada posisinya sebagai media yang mudah diakses, murah, dan andal, bahkan ketika jaringan digital lain tidak tersedia.

‎DAB dan DRM menawarkan kualitas audio digital yang memukau, bebas dari gangguan noise atau statis, sehingga pengalaman mendengarkan radio menjadi lebih menyenangkan dan informatif.

‎DAB untuk Perkotaan, DRM untuk Mitigasi Bencana

‎Pertumbuhan masyarakat digital menuntut peningkatan kualitas layanan, tanpa menghilangkan karakter dasar radio. Radio digital menjawab kebutuhan ini dengan kualitas audio yang lebih stabil, layanan informasi tambahan, serta efisiensi penyiaran.

‎Dalam konteks inilah DAB dan DRM dikembangkan RRI sebagai dua pendekatan yang berbeda, , luas dan kemampuan untuk membawa sistem peringatan dini.

‎Siaran DRM telah mulai ditempatkan di wilayah-wilayah rawan bencana,sekaligus memperkuat sistem mitigasi bencana nasional.

‎Transmiter DRM dilengkapi dengan teknologi Early Warning System (EWS) dan instrumen digital yang, saat akan terjadi bencana, memberikan peringatan cepat kepada warga agar segera mencari jalan aman.

‎Sementara itu, ke depan, konsorsium DAB juga dipersiapkan untuk dilengkapi dengan teknologi EWS, sehingga selain berfungsi sebagai media hiburan dan informasi perkotaan, DAB dapat turut mendukung mitigasi bencana.

‎Penempatan ini mencerminkan fungsi strategis kedua sistem sebagai sarana komunikasi darurat dan peringatan dini.

‎Dalam konteks ini, RRI sejatinya menjadi motor penggerak Early Warning System (EWS), yang berfungsi besar dalam menyampaikan informasi kritis secara cepat kepada masyarakat. Oleh karena itu, siaran mitigasi bencana RRI wajib menggunakan transmiter cerdas sebagai instrumen mutlak bagi keberhasilan penyampaian informasi publik.

‎Implementasi kedua teknologi ini sudah mulai terlihat di lapangan, khususnya melalui Radio Republik Indonesia (RRI).

‎Siaran DRM telah mulai ditempatkan di wilayah-wilayah rawan bencana, seperti Painan Padang, Pelabuhan Ratu, Labuan Banten, Larantuka–Labuan Bajo, hingga Cilacap. Sekaligus memperkuat sistem mitigasi bencana nasional. Penempatan ini mencerminkan fungsi strategis DRM sebagai sarana komunikasi darurat dan peringatan dini.

‎Sementara itu, DAB mulai hadir di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang, memberikan pengalaman audio digital yang memukau dan memungkinkan multi-stasiun berbagi satu kanal secara efisien.

‎Perlu ditegaskan bahwa RRI saat ini melakukan uji coba siaran DAB untuk perkotaan dan DRM untuk Early Warning System (EWS) di daerah rawan bencana, berdasarkan izin sementara dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

‎Tahap uji coba ini menjadi proses penting untuk menguji kesiapan teknologi, infrastruktur, regulasi, serta penerimaan masyarakat sebelum kebijakan diterapkan secara lebih luas.


‎Pengalaman Internasional dan Peluang Radio Digital di Indonesia

‎Kabar baiknya, Komisi I DPR RI sudah lama membahas radio digital terestrial, yang memang merupakan ranah Komisi I untuk mengkonstruksi dalam RUU Penyiaran. Semoga pembahasan ini dapat segera selesai, sehingga regulasi pendukung DAB dan DRM dapat diperkuat.

‎Pendekatan bertahap ini menunjukkan kehati-hatian negara dalam melakukan transformasi penyiaran. Digitalisasi radio tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan melalui pengujian dan evaluasi yang mempertimbangkan kepentingan publik.

‎Dalam proses ini, RRI berperan sebagai laboratorium nasional bagi pengembangan radio digital terestrial Indonesia.

‎Studi kasus internasional menunjukkan perbedaan adaptasi DAB dan DRM di berbagai negara. Di India, DRM dimanfaatkan secara luas untuk jangkauan nasional dan sistem peringatan dini, terutama di wilayah rawan bencana. DRM juga digunakan di negara-negara seperti Rusia, China, dan Afrika Selatan untuk menjangkau wilayah luas dengan infrastruktur terbatas.

‎Sementara itu, negara-negara Eropa, Australia, Jepang, dan Korea Selatan mengembangkan DAB untuk siaran perkotaan dan regional. Di Eropa, DAB justru menjadi pilihan dan kesenangan publik, terutama bagi penggemar musik, karena kualitas audio digital yang memukau serta kemampuan menampung banyak stasiun sekaligus.

‎Kasus ini menunjukkan bahwa pengembangan radio digital harus disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan masyarakat masing-masing negara.

‎DAB dan DRM tidak untuk dipertentangkan. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda, namun bergerak menuju tujuan yang sama, yakni menjaga keberlangsungan radio sebagai media penyiaran strategis.

‎DAB memperkuat industri radio di wilayah perkotaan dengan kualitas audio digital memukau, sementara DRM memastikan kehadiran negara melalui radio di wilayah luas dan rawan bencana.

‎Pada akhirnya, digitalisasi radio melalui DAB dan DRM adalah investasi jangka panjang bagi Indonesia. Radio tidak sedang ditinggalkan oleh zaman. Radio sedang dipersiapkan untuk masa depan.\

‎Oleh M. Rohanudin, Praktisi Penyiaran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *