Puisi Rohanudin: Sungai yang Mengajarkan Sujud

waktu baca 3 menit
Ilustrasi banjir bandang di Sumatera Utara

KEMPALAN’ Dalam senyap yang tak pernah benar-benar diam, Sumatera dan Aceh kembali diterpa deras air yang turun bagai beban yang tak tertahan.

‎Dari langit yang gelap, terdengar gema yang hanya dapat disimak oleh hati yang mau mendengarkan: sebuah percakapan lirih tentang malapetaka, tentang hidup yang seketika berubah menjadi kisah kehilangan.

‎Banjir bukan lagi sekadar musim yang berganti, melainkan penanda tergesernya keseimbangan yang dulu dijaga oleh hutan, akar, tanah, dan kehati-hatian manusia.

‎Di tepian sungai yang meluap, jejak kehidupan mengambang bersama lumpur yang menguasai halaman rumah.

‎Ada mereka yang ditemukan dalam kesunyian terakhir, dan ada pula yang belum pulang, seakan ditelan oleh arus yang terlalu terburu. Korban-korban itu bukan angka; mereka adalah cerita yang terputus, doa yang mendadak terhenti, dan pelukan yang tak sempat kembali.

‎Dalam benak masyarakat, luka itu mengendap menjadi duka yang sulit terucap, seolah bumi menghela napas panjang memandang apa yang terjadi atas dirinya.

‎Bagi sebagian orang, musibah ini terasa seperti ajakan untuk menundukkan kepala. Bukan karena kalah, melainkan karena menyadari betapa rapuhnya manusia di hadapan perubahan yang mereka ikut ciptakan sendiri.

‎Dalam kacamata psikologi bencana, tragedi seperti ini sering menjadi cermin yang memantulkan konsekuensi dari tindakan yang terus diulang tanpa jeda.

‎Pembakaran di hulu, penebangan yang tak mengenal batas, dan perusakan yang diam-diam menyiapkan panggung bagi air untuk mengamuk tanpa kendali.


‎—

‎Kesedihan itu tumbuh seperti kabut yang turun dari lereng. Di hulu, manusia dulu begitu asyik dengan kebiasaan yang tampak remeh: membuka lahan dengan api, menggusur pepohonan dengan cepat, mengabaikan akar yang seharusnya menahan tanah dari hanyutnya harapan.

‎Dari batang-batang yang tumbang itu, lahirlah puisi yang getir:
‎Hutan yang pergi adalah payung yang patah,
‎Sungai yang keruh adalah air mata bumi yang terlalu lama diam.

‎Ketika daun tak lagi memecah derasnya hujan, dan tanah kehilangan genggaman, air hanya menjadi saksi yang setia.

‎Datang bukan sebagai musuh, melainkan sebagai pesan yang tak pernah manusia sempat baca. Maka banjir bukan semata bencana; ia adalah catatan panjang tentang kebiasaan yang keliru, yang dibiarkan tumbuh menjadi ancaman.

‎Di tengah itu semua, percakapan dalam hati berdesir kembali:
‎Berapa banyak lagi yang harus hilang agar kita belajar membaca tanda-tanda yang telah lama diberikan oleh alam?

‎Dan pada akhirnya, setelah duka mengendap di antara lumpur, di celah reruntuhan, dan di balik hujan yang perlahan mereda, kita hanya mampu menyalakan sebaris harapan:
‎Semoga esok lebih jernih daripada hari ini.

‎Agar hutan kembali bernapas, sungai kembali mengenali jalannya, dan manusia menapaki bumi dengan langkah yang lebih penuh rasa.

‎Harapan itu kecil, tetapi tetap menyala, laksana cahaya terakhir yang bertahan meski angin berulang kali ingin memadamkannya.

M.Rohanudin


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *