Puisi Rohanudin: Sungai yang Mengajarkan Sujud
KEMPALAN’ Dalam senyap yang tak pernah benar-benar diam, Sumatera dan Aceh kembali diterpa deras air yang turun bagai beban yang tak tertahan.
Dari langit yang gelap, terdengar gema yang hanya dapat disimak oleh hati yang mau mendengarkan: sebuah percakapan lirih tentang malapetaka, tentang hidup yang seketika berubah menjadi kisah kehilangan.
Banjir bukan lagi sekadar musim yang berganti, melainkan penanda tergesernya keseimbangan yang dulu dijaga oleh hutan, akar, tanah, dan kehati-hatian manusia.
Di tepian sungai yang meluap, jejak kehidupan mengambang bersama lumpur yang menguasai halaman rumah.
Ada mereka yang ditemukan dalam kesunyian terakhir, dan ada pula yang belum pulang, seakan ditelan oleh arus yang terlalu terburu. Korban-korban itu bukan angka; mereka adalah cerita yang terputus, doa yang mendadak terhenti, dan pelukan yang tak sempat kembali.
Dalam benak masyarakat, luka itu mengendap menjadi duka yang sulit terucap, seolah bumi menghela napas panjang memandang apa yang terjadi atas dirinya.
Bagi sebagian orang, musibah ini terasa seperti ajakan untuk menundukkan kepala. Bukan karena kalah, melainkan karena menyadari betapa rapuhnya manusia di hadapan perubahan yang mereka ikut ciptakan sendiri.
Dalam kacamata psikologi bencana, tragedi seperti ini sering menjadi cermin yang memantulkan konsekuensi dari tindakan yang terus diulang tanpa jeda.
Pembakaran di hulu, penebangan yang tak mengenal batas, dan perusakan yang diam-diam menyiapkan panggung bagi air untuk mengamuk tanpa kendali.
—
Kesedihan itu tumbuh seperti kabut yang turun dari lereng. Di hulu, manusia dulu begitu asyik dengan kebiasaan yang tampak remeh: membuka lahan dengan api, menggusur pepohonan dengan cepat, mengabaikan akar yang seharusnya menahan tanah dari hanyutnya harapan.
Dari batang-batang yang tumbang itu, lahirlah puisi yang getir:
Hutan yang pergi adalah payung yang patah,
Sungai yang keruh adalah air mata bumi yang terlalu lama diam.
Ketika daun tak lagi memecah derasnya hujan, dan tanah kehilangan genggaman, air hanya menjadi saksi yang setia.
Datang bukan sebagai musuh, melainkan sebagai pesan yang tak pernah manusia sempat baca. Maka banjir bukan semata bencana; ia adalah catatan panjang tentang kebiasaan yang keliru, yang dibiarkan tumbuh menjadi ancaman.
Di tengah itu semua, percakapan dalam hati berdesir kembali:
Berapa banyak lagi yang harus hilang agar kita belajar membaca tanda-tanda yang telah lama diberikan oleh alam?
Dan pada akhirnya, setelah duka mengendap di antara lumpur, di celah reruntuhan, dan di balik hujan yang perlahan mereda, kita hanya mampu menyalakan sebaris harapan:
Semoga esok lebih jernih daripada hari ini.
Agar hutan kembali bernapas, sungai kembali mengenali jalannya, dan manusia menapaki bumi dengan langkah yang lebih penuh rasa.
Harapan itu kecil, tetapi tetap menyala, laksana cahaya terakhir yang bertahan meski angin berulang kali ingin memadamkannya.
M.Rohanudin









