PBNU dan Perebutan Aset: Pandangan Mahfud MD
KEMPALAN: Menurut Mahfud MD, benturan di PBNU bukan sekadar soal jabatan. Ini adalah konflik yang menguak perebutan kepentingan atas aset bernilai miliaran rupiah.
Publik kini menyaksikan ada kabar baru: tarik-menarik dua kutub—mandat muktamar yang dipegang Gus Yahya versus otoritas ulama yang digerakkan Gus Ipul—muncul ke permukaan, menegaskan bahwa pertarungan PBNU bukan hanya soal legitimasi, tapi juga tentang sumber daya strategis.
Mahfud menekankan bahwa kontrol atas aset ekonomi bernilai tinggi menjadi pertaruhan strategis kedua kubu.
PBNU memiliki konsesi batubara seluas sekitar 25.000 hektar di Kalimantan Timur, dikelola melalui PT Berkah Usaha Muamalah Nusantara, yang belum sepenuhnya dieksploitasi karena masih menunggu investor.
Jika diasumsikan 1 hektar menghasilkan 1.000 ton batubara per tahun dengan harga US$100 per ton, potensi nilai ekonominya bisa mencapai sekitar US$2,5 miliar per tahun.
Pemerintah memberikan konsesi tambang kepada PBNU melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, yang membuka peluang bagi ormas keagamaan memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Untuk PBNU, izin ini diberikan atas kawasan seluas 25.000–26.000 hektar di Kalimantan Timur, bekas lahan konsesi PT Kaltim Prima Coal (KPC).
PBNU membentuk badan usaha PT Berkah Usaha Muamalah Nusantara melalui koperasi internal sebagai pengelola resmi konsesi tersebut.
Hingga kini, tambang belum beroperasi karena perusahaan masih mencari investor dan menuntaskan proses operasional, termasuk eksplorasi dan reklamasi, sesuai aturan lingkungan dan pertambangan.
Peluang bagi ormas‑ormas lain seperti Muhammadiyah juga dibuka lewat PP 25/2024. Setelah kajian internal, pada Juli 2024 PP Muhammadiyah menyatakan menerima tawaran tersebut dengan catatan pengelolaan harus sesuai hukum, lingkungan, dan tanggung jawab sosial.
Namun hingga Februari 2025 belum ada kejelasan bahwa pemerintah menerbitkan izin resmi atau konsesi konkret atas nama Muhammadiyah.
Dengan kata lain, peluang diberikan, niat sudah dinyatakan, tapi realisasi di lapangan — izin, konsesi, atau pengelolaan tambang — tetap belum terbukti.
Situasi terakhir
Kedua kubu sama-sama keras bertahan. Gus Yahya menegaskan haknya karena mandat muktamar dianggap sebagai legitimasi konstitusional tertinggi, sementara Gus Ipul bergerak atas logika otoritas ulama dan moral organisasi, menuntut keputusan cepat agar arah NU tetap sesuai prinsip dan ajaran.
Setiap manuver mencerminkan kekhawatiran dan kepentingan yang saling bertabrakan, sehingga konflik terlihat tidak hanya politik internal, tetapi juga perebutan pengaruh nyata di tubuh organisasi.
Kronologis, Gus Yahya menolak mundur dari jabatan Ketua Umum karena mandat muktamar dianggap konstitusional tertinggi.Sementara Syuriyah dan struktur sekretariat yang digerakkan Gus Ipul menuntut tindakan cepat untuk menjaga arah dan moral organisasi.
—
Lirboyo: Rem Menghentikan Eskalasi
Rencana pertemuan para kiai di Lirboyo sudah ditunggu-tunggu oleh publik dan internal PBNU.
Suara para kiai sepuh dianggap final dan menentukan arah organisasi, namun hingga saat ini pertemuan Lirboyo belum juga terlaksana.
Pertemuan di Lirboyo menjadi titik penting untuk menghentikan eskalasi. Para kiai sepuh memegang otoritas untuk menginjak rem di tengah laju dua kutub yang saling mendorong sampai batas bahaya.
Tensi sudah melampaui batas wajar. Tarik-menarik antara mandat muktamar dan otoritas ulama, yang kini semakin diperparah oleh isu tambang, bisa merobek tubuh organisasi jika dibiarkan. Di titik inilah hanya suara kiai yang bisa memutus dan merapikan keretakan.
Dengan posisi moral yang tak bisa ditawar, Lirboyo dapat mengambil alih kendali di saat organisasi kehilangan kendali diri. Dari sanalah, eskalasi harus berhenti—tanpa kecuali. ()
Oleh: Rohanudin (praktisi penyiaran)







